Konflik Gajah Dispersal di Jambi Butuh Penanganan Cepat
Karena takut akan terjadi korban jiwa, warga delapan desa dan satu kelurahan meminta agar seekor gajah sumatera dispersal yang kini berada di Kabupaten Tanjung Jabung Barat segera dipindahkan.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·3 menit baca
JAMBI, KOMPAS — Kedatangan seekor gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) dispersal mulai meresahkan masyarakat delapan desa dan satu kelurahan di wilayah Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi. Masyarakat khawatir pergerakan gajah selama hampir empat bulan terakhir, selain merusak tanaman kebun dan pertanian, juga mengancam nyawa warga setempat.
Terkait itu, delapan kepala desa dan satu lurah pada dua kecamatan di Kabupaten Tanjung Jabung Barat mengirim surat pernyataan bersama terkait keresahan masyarakat. Mereka mendesak aparat terkait mengupayakan penanganan cepat.
”Karena takut akan terjadi korban jiwa, masyarakat meminta agar gajah dapat segera dipindahkan,” kata Rahmad Saleh, Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jambi, di Jambi, Selasa (25/2/2020).
Surat itu ditandatangani Kepala Desa Pelabuhan Dagang, Gemuruh, Taman Raja, Pematang Tembesu di Kecamatan Tungkal Ulu, serta Kelurahan Dusun Kebun, Desa Lubuk Bernai, Desa Kampung Baru, Desa Tanjung Bojo, dan Desa Lubuk Lawas di Kecamatan Batang Asam.
Kepala Desa Taman Raja Pirdaus mengatakan, masyarakat resah karena gajah berada di sawah dan kebun. ”Warga jadi tidak berani ke kebun,” ujarnya.
Gajah jantan berusia 12 tahun itu, tambah Rahmad, sebelumnya menjelajah di ekosistem Bukit Tigapuluh. Gajah ini diketahui dalam fase dispersal, yakni memisahkan diri dari kelompok untuk mencari wilayah jelajah baru.
Wilayah yang dijelajahi saat ini, kata Rahmad, merupakan ekosistem yang saling terhubung di masa lalu. Ekosistemnya mencakup wilayah Tebo dan Tanjung Jabung Barat. Pembukaan budidaya monokultur skala besar maupun kecil telah memecah ekosistem itu.
Hampir tidak ada lagi tempat memadai bagi gajah menjelajah di wilayah Tanjung Jabung Barat. ”Di masa lalu, wilayah ini merupakan jalur lama kawanan gajah,” katanya.
Pembukaan budidaya monokultur skala besar maupun kecil telah memecah ekosistem itu.
Keberadaan gajah pun mulai meresahkan karena satwa itu sering berada di sawah dan kebun tebu warga. Demi menghindari dampak kerusakan kebun dan korban nyawa, pihaknya akan mengembalikan gajah ke tempat menjelajahnya yang terdahulu di Tebo.
Relokasi direncanakan pada pekan kedua Maret. Gajah jantan itu akan menjalani pemulangan dengan menempuh perjalanan darat 60 kilometer. Setelah itu, ia akan dibantu gajah penggiring dari Riau untuk kembali masuk ke dalam hutan di penyangga Taman Nasional Bukit Tigapuluh, Tebo.
Koordinator Masyarakat Mitra Konservasi Kabupaten Tebo, Sigir, mengatakan relokasi gajah membutuhkan dukungan kuat dari masyarakat sekitar. Jangan sampai upaya relokasi malah menuai protes dari masyarakat di lokasi pemulangan gajah.
Karena itu, pihaknya berupaya terus memberikan sosialisasi kepada para petani. ”Sebelum gajah dibawa ke wilayah ini, masyarakatnya harus siap lebih dahulu untuk menerima. Jangan sampai nantinya malah menimbulkan konflik baru,” katanya.
Kawasan ekosistem esensial
Dengan makin meningkatnya konflik satwa dan manusia, kebutuhan akan kawasan khusus satwa dilindungi juga kian mendesak. Pekan lalu, Gubernur Jambi Fachrori Umar telah mengesahkan pembentukan Forum Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Ekosistem Esensial (KEE) Koridor Hidupan Liar di Bentang Alam Bukit Tigapuluh di Kabupaten Tebo.
Dengan terbentuknya forum, lanjut Rahmad, langkah berikutnya adalah menyusun rencana aksi. Perlu segera ditetapkan batas-batas KEE dan diikusi dengan pemasangan pagar listrik.
Forum juga akan menindaklanjuti rencana pembangunan pusat pelatihan dan pendidikan gajah di Desa Muara Sekalo, serta sejumlah pengembangan pariwisata berbasis alam di Muara Kilis.