Mereka Ikhlas dihapus dari Peta
Tidak lama lagi, air Bendungan Kuningan, yang dibangun sekitar setengah triliun rupiah, bakal menenggelamkan Desa Kawungsari di Kecamatan Cibeureum dan Desa Tanjungkerta, Kecamatan Karangkancana, Kabupaten Kuningan
Masyarakat mengaku ikhlas kampungnya dihapus dari peta. Namun, pemerintah hendaknya segera menyelesaikan sejumlah hal agar masa depan warga tak ikut tenggelam.
Awan mendung pada Rabu (19/2/2020) seperti teror bagi warga Kawungsari. Hujan deras tidak hanya membasahi tanah, tetapi bisa membuat air Sungai Cikaro meluap. Dua tahun lalu, luapannya mewujud petaka. Saat itu, banjir sanggup merobohkan tembok sejumlah rumah warga.
Rumah Suryati (60) adalah salah satunya. Dinding bagian depan rumahnya, yang sepanjang sekitar 4 meter, bolong. Banjir besar pada 2018 membobolnya. Akibatnya, dua televisi dan padi hasil panen seberat 1 ton hancur.
Kini, terpal abu-abu dan sofa bekas lusuh terpasang di depan tembok jebol itu. Selain belum punya uang untuk memperbaikinya, Suryati, janda dua anak, ingin menyembunyikan kenangan atas petaka itu. ”Setelah kebanjiran, bapak (suami) banyak melamun. Hingga akhirnya tak lama meninggal dunia,” ujar Suryati menduga-duga penyebab kematian Tarjuki, suaminya.
Waktu itu, bapak (Kaswanta) saya dibopong karena sakit. Dua minggu setelah itu, meninggal dunia. Ibu akhirnya pindah ke rumah anaknya di desa lain.
Kini, untuk menyambung hidup, Suryati hidup dari warung kecil dan hasil kerja serabutan anaknya. Berbeda dengan Suryati, Kartono (50) membiarkan tembok pagar sepanjang lebih dari 4 meter dan tinggi 1 meter teronggok di samping rumahnya. ”Saya enggak mau pindahin temboknya. Ini bukti banjir hingga setinggi 1,5 meter. Mobil hanyut ke kebun. Alhamdulillah, enggak ada korban jiwa,” kenangnya.
Untuk mengantisipasi dampak banjir, Tono, sapaannya, memasang tiga batang bambu seadanya di langit-langit kamar. Dokumen dan barang berharga yang sudah dilapisi plastik disimpan di atas bambu. Jadi, jika banjir datang lagi, ia dan keluarga tak perlu repot lagi menyelamatkan barang-barang.
Lain lagi dengan Darsitih (75) yang memilih mengosongkan rumah keluarga berukuran sekitar 140 meter persegi setelah banjir. ”Waktu itu, bapak (Kaswanta) saya dibopong karena sakit. Dua minggu setelah itu, meninggal dunia. Ibu akhirnya pindah ke rumah anaknya di desa lain,” ujar Nining Cartini (48), anak Darsitih.
Banjir juga merusak kulkas, televisi, dan perabot rumah Nining. Katanya, tidak ada biaya penggantian karena banjir dianggap bencana. Padahal, Nining, Kartono, dan Suryati mengatakan, banjir saat itu merupakan yang terparah sepanjang mereka tinggal di Kawungsari.
Kini, banjir bisa menjadi kenangan di Kawungsari. Desa ini masuk dalam kawasan pembangunan Bendungan Kuningan, yang dibangun sejak tahun 2013. Kawungsari bisa jadi tak ada lagi di peta. Sebanyak 1.156 warganya harus angkat kaki.
Mengaku ikhlas, semuanya tidak semudah membalikkan telapak tangan bagi mereka. Ribuan warga galau dan masih tinggal di sana. Alasannya, mereka belum mendapat biaya penggantian lahan. Tak hanya menimbulkan tanya warga, rencana proyek Bendungan Kuningan yang sebelumnya ditargetkan bakal rampung pada 2018 pun molor.
”Penggantian sawah warga sudah dibayar 2015, tetapi permukiman belum,” kata Tono. Padahal, pembangunan fisik bendungan dengan biaya lebih dari Rp 509 miliar itu sudah mencapai 97,5 persen. Hanya tersisa pembangunan kantor, pengaspalan jalan, dan beberapa pengerjaan lain sebelum air menggenangi desa.
Kepala Desa Kawungsari Kusto juga menunggu jawaban. ”Warga sudah rela lahannya digunakan untuk kepentingan umum, pembuatan bendungan. Namun, sampai saat ini, belum ada uang pengganti untuk permukiman,” tutur Kusto.
Belum tuntas
Perumahan untuk warga Kawungsari yang akan direlokasi juga belum tuntas. Areal relokasi berjarak lebih dari 11 kilometer dari Kawungsari jika mengitari bendungan. Di sana, terdapat 25 rumah dengan tipe bangunan 27, balai desa, masjid, dan bangunan sekolah dasar. Padahal, target rumah untuk warga itu 361 unit.
Warga berharap pembayaran lahan segera diselesaikan untuk modal usaha dan membangun rumah. Apalagi, rumah relokasi merupakan aset Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kuningan, bukan milik warga terdampak. ”Bahkan, beberapa warga telanjur meminjam ke bank sampai Rp 700 juta dan akhirnya macet karena uang pengganti lahan belum dibayarkan,” ungkap Kusto.
Masih ada dua atau tiga rumah tangga yang belum pindah.
Kegalauan juga menyergap 40 rumah tangga atau sekitar 200 warga Desa Tanjungkerta, Kecamatan Karangkancana, yang terdampak pembangunan bendungan. Hampir seluruhnya sudah pergi menempati rumah relokasi yang disediakan pemerintah.
”Masih ada dua atau tiga rumah tangga yang belum pindah. Sebanyak 40 rumah tangga juga belum mendapatkan uang pengganti lahan. Saya pusing. Setiap hari ditanya warga soal pencairan uang. Itu, kan, bukan wewenang kami,” kata Iwan Febri Suwandi (34), yang baru menjabat Kepala Desa Tanjungkerta dua bulan terakhir.
Dari total 294,88 hektar, kebutuhan lahan untuk bendungan yang belum bebas sekitar 28,9 hektar atau 586 bidang tanah. Lahan itu tersebar di Desa Tanjungkerta dan Desa Cihanjaro (Kecamatan Karangkancana) masing-masing 14,3 hektar dan 2,08 hektar serta Desa Randusari dan Desa Kawungsari (Kecamatan Cibeureum) dengan luasan 1,37 hektar dan 11,8 hektar.
”Kami harapkan semuanya selesai akhir Juni. Kami terus berkoordinasi dengan Pemkab Kuningan dan BPN (Badan Pertanahan Nasional) Kuningan. Kami berupaya mengganti untung lahan warga, bukan ganti rugi,” kata Kepala Satuan Kerja Non-Vertikal Tertentu Pembangunan Bendungan Balai Besar Wilayah Sungai Cimanuk-Cisanggarung Asrul Pramudya.
Padahal, jika semua tuntas, bendungan mampu mereduksi debit banjir 213 meter kubik per detik dari Sungai Cikaro. Pada musim kemarau, bendungan berdaya tampung 25,9 juta meter kubik air diharapkan mengairi 1.000 hektar sawah di Kuningan dan 2.000 hektar di Brebes, Jawa Tengah.
Diandalkan
Bendungan juga mampu menyediakan air baku 300 liter per detik untuk 300.000 warga Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, serta potensi produksi listrik 500 kilowatt. Bendungan ini termasuk dalam program infrastruktur yang diandalkan Presiden Joko Widodo. Ketika meninjau bendungan dua tahun lalu, Presiden menargetkan proyek itu tuntas akhir 2018.
Dia mengatakan, tidak ada masalah terkait relokasi karena sebagian rumah telah siap dihuni (Kompas, 26/5/2018). Saat itu, Presiden menargetkan delapan bendungan rampung pada 2018. Selain Kuningan, ada juga Rotiklot di Nusa Tenggara Timur, Tanju dan Mila (Nusa Tenggara Barat), Gondang dan Logung (Jawa Tengah), Sindangheula (Banten), dan Sei Gong (Kepulauan Riau).
Sejauh ini, Presiden sudah meresmikan Rotiklot pada Mei 2019. Sebulan kemudian giliran Bendungan Gondang di kaki Gunung Lawu, Kabupaten Karanganyar, yang ia resmikan. Tetap tinggal di dalam lokasi waduk jelas bukan pilihan bagi warga. Namun, semuanya tak sederhana. Hidup di tempat baru butuh persiapan matang. Pemerintah wajib menjamin semua itu.