Baru Sumba Timur, Kabupaten yang Sudah Cairkan Dana Desa 2020 di NTT
Sejak dana desa dikucurkan di NTT tahun 2015 hingga kini, kesejahteraan masyarakat masih rendah. Selain masalah kemiskinan, problem anak gagal tumbuh (tengkes) masih tinggi. Total dana dana di NTT Rp 13,6 triliun.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·4 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Tahun ini, baru Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, yang sudah mencairkan dana desa tahap pertama di provinsi itu. Tujuh belas kabupaten lain baru mendapat peraturan bupati tentang pengalokasian dan rincian dana desa per desa, sedangkan tiga kabupaten lainnya belum berproses sama sekali di tingkat kabupaten. Total dana desa tahun 2020 di NTT senilai Rp 3,090 triliun untuk 3.026 desa.
Sekretaris Daerah NTT Benediktus Polomaing dalam rapat kerja percepatan penyaluran dan pengelolaan dana desa tahun 2020 bersama 500 kepala desa dan 200 camat se-NTT di Kupang, Rabu (26/2/2020), mengatakan, dana desa seluruh NTT periode 2015-2020 senilai Rp 13,662 triliun. Meski begitu, dana itu belum mengangkat kesejahteraan masyarakat. NTT masih menempati urutan ketiga nasional kemiskinan.
”Tahun 2020 baru satu kabupaten dari total 21 kabupaten penerima dana desa mulai mencairkan dana, yakni Sumba Timur. Itu pun baru 15 desa dari total 140 desa,” kata Polomaing. Sepanjang lima tahun dana desa digulirkan, pemerintah kabupaten, camat, dan kepala desa selalu diingatkan agar selalu bekerja cepat memberi laporan akurat dan sesuai ketentuan untuk setiap tahapan. Hal itu belum terealisasi.
Jangan sampai dana desa meningkat, tetapi kemampuan aparat desa dari tahun ke tahun tetap sama.
Sebanyak 17 kabupaten baru pada tahap proses penetapan peraturan bupati tentang tata cara pengelolaan dan rincian alokasi dana desa per desa, setelah itu dilanjutkan pemindahbukuan dana desa dari rekening daerah ke rekening desa. Tiga kabupaten sedang menunggu pengajuan APBDes, RKPDes, RPJMDes, dan pertanggungjawaban dana desa tahap terakhir tahun 2019 ke pemda untuk dibahas.
Persoalan keterlambatan selalu terjadi di tingkat desa, berupa penyusunan APBDes, penyusunan RKPDes, dan RPJMDes oleh desa. Keterlambatan ini bermula dari sumber daya aparatur desa yang kurang memadai, jaringan internet belum terkoneksi, dan rendahnya penguasaan teknologi internet aparatur desa.
Selain itu, perilaku korup menguat di jajaran aparatur desa. Saat ini, 25 kepala desa sudah divonis bersalah dan menjalani hukuman penjara, delapan kepala desa dalam status tersangka, dan empat kepala desa berstatus terdakwa. Saat kepala desa terlibat kasus korupsi, proses pencairan dana desa dan pembangunan di desa itu tersendat sampai beberapa bulan.
Deputi Pengelolaan Wilayah Perbatasan Negara Kementerian Dalam Negeri Robert Simbolon mengatakan, keterlambatan pencairan dana desa itu menghambat pembangunan di desa. Tujuan dan sasaran pemerintah dengan mengalokasikan dana desa terganggu hanya karena hal-hal teknis di lapangan.
Manajemen pengelolaan dana desa yang amburadul berdampak pada sejumlah persoalan di lapangan. Pengelolaan dana desa berbasis daring di NTT harus terealisasi 100 persen sehingga lebih transparan dan akuntabel. Dari 3.026 desa penerima dana, baru 2.967 desa yang sudah menggunakan sistem dalam jaringan.
Ia melanjutkan, total dana desa secara nasional meningkat dari Rp 72 triliun pada tahun 2019 menjadi Rp 74 triliun tahun 2020. Khusus NTT, juga terjadi peningkatan, yakni dari Rp 3,060 triliun pada tahun 2019 menjadi Rp 3,090 triliun pada tahun 2020.
Peningkatan dana itu mestinya diikuti dengan peningkatan sumber daya aparatur desa dalam mengelola dan mengembangkan dana di lapangan. ”Jangan sampai dana desa meningkat, tetapi kemampuan aparat desa dari tahun ke tahun tetap sama. Peningkatan dana mestinya diimbangi dengan kreativitas dan inovasi aparatur desa,” kata Robert.
Pendamping desa tidak hanya berusaha mencairkan dana desa, tetapi juga harus mampu memastikan pendampingan menambah pengetahuan aparatur desa. Mereka bisa mencari terobosan-terobosan baru, membangun desa dengan mengelola dana yang ada.
Pembangunan fisik
Pada 2019-2020, rata-rata alokasi dana desa untuk setiap desa Rp 1 miliar. Namun, mayoritas desa hanya bisa membangun jalan di desa, rehabilitasi kantor desa, dan pertemuan desa. Aparatur desa belum berkreasi dan berinovasi mengelola potensi sumber daya alam di desa itu.
Kondisi wilayah khas NTT sebenarnya bisa dicarikan solusi, di antaranya dari dana desa. Contohnya, kekeringan rutin di sejumlah daerah, seperti saat ini. Ancaman rawan pangan pun tinggi. Dana desa bisa mengantisipasi ancaman itu dengan memberdayakan ekonomi masyarakat desa masing-masing.
Jika ancaman rawan pangan ini tidak diantisipasi dini, angka anak dengan gangguan pertumbuhan (tengkes) yang saat ini berada di posisi 42,46 persen bisa meningkat. NTT sudah menempati nomor satu tengkes nasional.
Kepala Desa Baki, Kecamatan Amanuban Tengah, Kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT, Asrit Taneo mengakui sumber daya aparatur desa yang rendah. Pendamping pun belum mampu menggerakkan aparatur desa untuk berkreasi dan berinovasi.
Alokasi dana untuk Desa Baki sebesar Rp 1 miliar tahun ini belum cair. Taneo masih fokus pada pembangunan jalan desa serta rehabilitasi kantor desa dan rumah warga.
”Sumber daya aparatur desa menjadi faktor utama keterlambatan pencairan dana desa. Pemkab membentuk tim asistensi dana desa ke setiap kecamatan untuk terus melakukan penjelasan dan pendampingan langsung terhadap aparatur desa,” kata pria lulusan paket B tahun 2009 ini.