Program Pencegahan Korupsi yang terselenggara di Provinsi Papua belum berjalan optimal. Komisi Pemberantasan Korupsi memberikan rapor merah kepada 12 kabupaten dalam pelaksanaan program tersebut.
Oleh
FABIO COSTA
·3 menit baca
JAYAPURA, KOMPAS — Program Pencegahan Korupsi yang terselenggara di Provinsi Papua belum berjalan optimal. Komisi Pemberantasan Korupsi memberikan rapor merah kepada 12 kabupaten dalam pelaksanaan program tersebut hingga 31 Desember 2019.
Hal itu disampaikan Koordinator Program Pencegahan Korupsi di Provinsi Papua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Maruli Tua saat dihubungi dari Jayapura, Rabu (26/2/2020). Adapun 12 kabupaten yang mendapat rapor merah dari KPK yaitu Kabupaten Waropen dengan persentase 11 persen, Nduga 12 persen, Tolikara 13 persen, Mamberamo Raya 14 persen, dan Deiyai 14 persen. Selain itu Mamberamo Tengah 18 persen, Pegunungan Bintang 18 persen, Lanny Jaya 19 persen, Yahukimo 20 persen, Puncak 20 persen, Intan Jaya 22 persen, dan Kabupaten Puncak Jaya 24 persen.
Penilaian menggunakan skala 0-100 persen. Angka 0-25 persen masuk kategori sangat rendah (merah), 25-50 persen cukup rendah (kuning), 50-75 persen baik (hijau muda), dan di atas 75 persen sangat baik (hijau tua).
Selain itu, terdapat enam kabupaten yang mendapat nilai yang baik-sangat baik, yaitu Kota Jayapura 76 persen, Kabupaten Jayapura 65 persen, Keerom 64 persen, Jayawijaya 61 persen, Asmat 59 persen, dan Merauke 53 persen.
Adapun di tingkat provinsi, Provinsi Papua menempati peringkat ke-33 dari 34 daerah yang melaksanakan program pencegahan korupsi. Nilai rata-rata pencegahan korupsi Provinsi Papua yaitu 34 persen, sedangkan Papua Barat 32 persen.
Kurangnya komitmen kepala daerah menjadi faktor utama program pencegahan korupsi belum berjalan serius dan optimal.
Maruli memaparkan, indikator penilaian dalam program pencegahan korupsi itu meliputi penggunaan aplikasi e-government, penguatan kapasitas inspektorat dan aparatur sipil negara, serta optimalisasi pendapatan daerah, seperti pajak. E-government merupakan aplikasi yang terdiri dari tiga sistem, yakni perencanaan dan penganggaran, perizinan investasi, dan pendapatan daerah.
”Pemda di belasan daerah yang masih mendapat nilai merah dapat berpotensi terjadi tindak pidana korupsi. Sebab, tidak adanya perubahan dalam kegiatan pencegahan korupsi,” kata Maruli.
Menurut Maruli, penyebab rendahnya persentase program aksi pencegahan korupsi di Papua antara lain belum adanya komitmen kepala daerah, masalah ketersediaan infrastruktur seperti layanan kelistrikan yang belum memadahi, dan kompetensi aparatur sipil negara yang juga belum memadai.
”Dari hasil penilaian kami, kurangnya komitmen kepala daerah menjadi faktor utama program pencegahan korupsi belum berjalan serius dan optimal,” kata Maruli.
Asisten II Setda Pemerintah Provinsi Papua Muhammad Musaad mengaku, pihaknya telah mengimplemtasikan aplikasi e-planning dan e-budgeting demi tercipta pengelolaan anggaran yang transparan dan tepat sasaran. ”Aplikasi e-government biasanya juga diterapkan dalam rencana penganggaran dana otonomi khusus. Hal ini merupakan wujud sinergi Pemerintah Provinsi Papua bersama KPK,” kata Musaad.
Musaad pun menambahkan, Gubernur Lukas Enembe dengan 28 bupati dan seorang wali kota telah menandatangani kesepakatan terkait komitmen bersama dalam pelaksanaan program pencegahan korupsi di tanah Papua. ”Seharusnya komitmen ini dilaksanakan semua kepala daerah di 28 kabupaten dan satu kota. Sebab, program sangat fundamental untuk menciptakan pengelolaan yang efektif,” katanya, menambahkan.