Kurang Lahan Resapan, Kota Cirebon Makin Didominasi Permukiman
Sekitar 70 persen lahan di Kota Cirebon, Jawa Barat, berupa perumahan dan kawasan perdagangan serta jasa. Sebaliknya, ruang terbuka hijau yang berfungsi sebagai daerah resapan masih minim. Banjir pun mengancam.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·3 menit baca
CIREBON, KOMPAS — Lahan di Kota Cirebon sebagai kota perdagangan dan jasa semakin didominasi oleh perumahan dan kawasan industri. Luasnya mencapai sekitar 70 persen. Sebaliknya, ruang terbuka hijau yang berfungsi sebagai daerah resapan masih minim. Tanpa pengaturan air dan tata ruang yang memadai, banjir semakin mengancam.
Kebutuhan akan lahan perumahan dan aktivitas penduduk di kota seluas 3.700 hektar itu meningkat seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk. Jumlah penduduk di Kota Cirebon pada 2018 tercatat 316.277 orang. Angka ini melonjak dibandingkan dengan 2010, yakni 296.389 orang.
”Sementara luas lahan begitu-begitu saja, tidak berubah. Ini dilematis. Saat ini, sekitar 70 persen lahan di Kota Cirebon berupa permukiman,” ujar Kepala Seksi Pemanfaatan Ruang Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Yusuf Wirahadi di Cirebon, Rabu (26/2/2020).
Sebagai kota perdagangan dan jasa di wilayah III Cirebon, hampir seluruh pusat perkantoran perbankan hingga pemerintah pusat berada di Kota Cirebon. Lebih dari 100 hotel berbagai kelas juga tercatat berdiri di Cirebon. ”Ini sudah sesuai Perda RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) 2011-2031,” ujarnya.
Dalam aturan itu, kawasan perumahan dengan kepadatan tinggi mencapai 869 hektar, sedangkan kepadatan sedang seluas 848 hektar. Adapun kepadatan rendah berkisar 217 hektar. Untuk kawasan perdagangan dan jasa mencapai 568 hektar.
Dengan demikian, total luas lahan untuk perumahan dan kawasan perdagangan dan jasa tercatat 2.502 hektar atau hampir 70 persen dari area Kota Cirebon. Daerah tersebut tersebar di Kelurahan Kesambi, Kalijaga, Pegambiran, Drajat, Pekiringan, dan Sukapura. Wilayah itu juga kerap terendam banjir.
Sebaliknya, kawasan ruang terbuka hijau (RTH) yang salah satu fungsinya sebagai daerah resapan air masih minim. Dari target 20 persen luas wilayah untuk RTH publik, saat ini baru terpenuhi 11 persen.
”Kendalanya, untuk menambah RTH harus ada tanah yang dibebaskan. Sementara lahan di Kota Cirebon sangat sulit didapatkan karena sudah berubah menjadi permukiman,” ungkap Yusuf.
Pihaknya mendorong masyarakat aktif menyiapkan RTH sekitar 10 persen dari kawasan permukiman. Begitu pula dengan pihak swasta yang membangun mal dan hotel. Apalagi, kawasan resapan air di Argasunya menjadi lokasi galian pasir.
Pihaknya mendorong masyarakat aktif menyiapkan ruang terbuka hijau sekitar 10 persen dari kawasan permukiman.
Dia mengakui, minimnya ruang terbuka hijau memicu banjir, selain karena sedimentasi sungai dan tingginya curah hujan. Banjir setinggi 10 sentimeter hingga lebih dari 1 meter, misalnya, merendam sekitar 200 rumah, pertengahan Januari. Tidak ada korban jiwa dalam kejadian tersebut.
Banjir berasal dari luapan Sungai Cikalong dan Sungai Kalijaga yang saat itu diguyur hujan deras beberapa jam. Sungai selebar 5 meter itu menyempit karena sedimentasi setebal hingga 2 meter. Di sekitar sungai, setidaknya terdapat enam perumahan.
Bambang (64), warga RT 008 RW 003 Kelurahan Kalijaga, mengatakan, dalam empat tahun terakhir, pembangunan perumahan masif di Kalijaga. ”Dulu, daerah perumahan itu kebun bambu. Sekarang enggak lagi. Perumahan dibangun, tapi enggak mikirin saluran airnya dulu,” katanya.
Secara terpisah, Ketua Real Estat Indonesia (REI) Wilayah III Cirebon Gunadi menampik tudingan perumahan menyebabkan banjir di Kota Cirebon. ”Pada saat kami membangun, semua advice sudah terpenuhi, termasuk saluran pembuangan yang sesuai ketentuan dan bukan di titik banjir. Pemkot Cirebon harus mengevaluasi penataan kawasannya, termasuk jalan,” ucapnya.
Wakil Wali Kota Cirebon Eti Herawati mengatakan, pihaknya bersama Balai Besar Wilayah Sungai Cimanuk-Cisanggarung tengah menormalisasi Sungai Cikalong dan Sungai Kedung Pane yang kerap meluap. ”Kami tengah menertibkan sekitar 400 bangunan liar di daerah Sungai Kedung Pane. Sekarang, tahap sosialisasi,” ujarnya.
Prakirawan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Stasiun Meteorologi Kertajati, Ahmad Faa Izyin, berharap masyarakat waspada dengan curah hujan tinggi yang mencapai lebih dari 50 milimeter per hari. Padahal, normalnya 20 milimeter per hari. ”Hujan deras di Cirebon diprediksi masih berlangsung hingga sepekan ke depan,” ucapnya.