Kemiskinan masih membelenggu sebagian besar warga eks pengungsi Timtim salah satunya berdampak pada pemenuhan hak-hak anaknya dalam mengakses pendidikan.
Oleh
Kornelis Kewa Ama/Frans Pati Herin/Nobertus Arya Dwiangga Martiar
·4 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Penghapusan status pengungsi pada 2005 tidak serta-merta menghapus tanggung jawab pemerintah untuk menuntaskan persoalan warga eks pengungsi Timor Timur yang masih menggantung. Di luar problem ketiadaan rumah layak huni dan lahan, masa depan ribuan anak-anak warga eks pengungsi Timtim sepatutnya diperhatikan.
Kemiskinan yang masih membelenggu sebagian besar warga eks pengungsi Timtim salah satunya berdampak pada pemenuhan hak-hak anaknya dalam mengakses pendidikan. Anak-anak yang turut mengungsi pada 1999 itu rata-rata tidak bisa melanjutkan pendidikan hingga ke jenjang yang lebih tinggi karena kondisi politik, sosial, ataupun ekonomi yang tidak mendukung.
Mereka yang kini berusia 21-40 tahun sebagian hanya mengantongi ijazah SD dan SMP. Akibatnya, generasi muda eks pengungsi Timtim itu tidak bisa mendapat pekerjaan dengan penghasilan yang layak. ”Mereka yang berusia 21 hingga 40 tahun banyak yang tidak memiliki pekerjaan tetap. Dampaknya begitu luas, seperti pengangguran, perkelahian, dan kriminalitas,” kata Aderito da Cruz (36), warga eks Timtim yang kini tinggal di Perumahan Oebelo Permai, Desa Oebelo, Kecamatan Kupang Timur, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur, Senin (24/2/2020).
Kondisi serupa dialami oleh anak-anak keturunan warga eks Timtim yang lahir setelah tahun 1999. Kelompok ini pun sulit mengakses pendidikan ke jenjang SMA dan perguruan tinggi. Hanya anak PNS, TNI, dan guru yang bisa meraih kesempatan mengenyam pendidikan tinggi. Mariano do Santos (56), warga Desa Raknamo Kecamatan Amabi Oefeto, Kabupaten Kupang, merupakan potret nyata kondisi itu.
Dari delapan anaknya, hanya satu yang berkesempatan mengenyam pendidikan hingga tingkat SMA, tetapi itu pun tidak sampai lulus. Sementara tiga anaknya hanya tamat SD dan empat lainnya tidak tamat SD. ”Hanya tujuh anak yang lulus sarjana di desa ini setelah orangtua berjuang dengan berbagai upaya menyekolahkan anaknya. Itu pun mereka tidak dapat kerja sampai hari ini,” kata Mariano.
Kenyataan itu membuat warga eks pengungsi Timtim lainnya enggan berjuang untuk menyekolahkan anak mereka. Mereka beranggapan, kuliah ataupun tidak, nyatanya tidak mendapat pekerjaan layak. Di tengah kondisi yang tidak mendukung, Agusto da Crus (13), siswa SMPN 1 Kabupaten Kupang, pesimistis bisa menggapai cita-citanya untuk menjadi dokter.
Agusto, yang tinggal bersama orangtuanya di kamp pengungsian Tuapukan, menyadari keterbatasan ekonomi keluarganya. Adapun kamp Tuapukan masih menampung warga eks pengungsi Timtim yang jumlahnya 358 keluarga atau sekitar 1.000 jiwa (Kompas, 24/2/2020). ”Uang transportasi ke sekolah saja tidak punya, apalagi uang jajan. Setiap hari saya jalan kaki ke sekolah sejauh 5 kilometer,” kata Agusto.
Nasib lebih baik dialami Liliana Lopes (21), mahasiswi di Sekolah Tinggi Ilmu Keperawatan St Carolus Jakarta. Ia bersyukur dibantu seorang bapak angkat dari Jakarta sehingga bisa mengenyam pendidikan tinggi. ”Saya ingin berjuang sampai wisuda di sekolah ini,” kata Liliana.
Intervensi pemerintah
Anggota DPRD NTT dari Fraksi PKB, Ana Kolin, mengatakan, anak-anak dari keluarga eks Timtim yang rata-rata miskin membutuhkan intervensi kebijakan dari pemerintah. Hal ini penting untuk memutus mata rantai kemiskinan serta menghadirkan harapan akan masa depan yang lebih baik lewat pendidikan. ”Ribuan anak eks Timtim harus diberi akses pendidikan sampai perguruan tinggi. Kartu Indonesia Pintar (KIP) bisa diprioritaskan bagi mereka,” katanya.
Ia menyarankan agar pemerintah mendata ulang warga eks Timtim. Pendataan dilakukan dengan tatap muka secara langsung sehingga hasilnya bisa menjadi acuan program yang tepat sasaran. ”Jika data itu ada, pemerintah lebih mudah menangani eks pengungsi ini. Mereka butuh pemberdayaan ekonomi, perumahan layak huni, lahan bertani, dan perhatian setara dari pemerintah,” kata Kolin.
Jika pemerintah menganggap persoalan eks pengungsi Timtim sudah selesai, sementara kenyataannya belum, suatu ketika akan menjadi beban bagi pemerintah juga.
Ia berpandangan, penghapusan status pengungsi pada tahun 2005 tidak otomatis menghapus tanggung jawab negara. Butuh waktu dalam periode tertentu untuk mengevaluasi kebijakan penghapusan status pengungsi. Dari evaluasi itu akan diketahui apakah mereka sudah hidup layak dan mampu mandiri atau masih butuh dukungan pemerintah.
”Jika pemerintah menganggap persoalan eks pengungsi Timtim sudah selesai, sementara kenyataannya belum, suatu ketika akan menjadi beban bagi pemerintah juga. Bagaimanapun dan kapan pun mereka akan terus bertambah jumlahnya. Pertambahan itu sebanding dengan pertambahan kemiskinan, bahkan kemiskinan yang semakin mendalam,” kata Kolin.
Peneliti Bidang Politik Kebijakan Publik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Syafuan Rozi, berpandangan, untuk membantu warga eks pengungsi Timtim, pemerintah mesti menerapkan pendekatan kesejahteraan. Warga perlu didampingi, terutama dalam pemberdayaan ekonomi dan membuka akses pasar untuk produk pertanian ataupun kerajinan yang dihasilkan.