Usut Tuntas Kasus Jual Beli Hutan Lindung di Batam
Ribuan warga miskin menjadi korban penipuan PT Prima Makmur Batam yang menjual hutan lindung sebagai kavling siap bangun di Batam, Kepulauan Riau. Penegak hukum diminta menyelidiki kasus ini hingga tuntas.
Oleh
PANDU WIYOGA
·4 menit baca
BATAM, KOMPAS — Ribuan warga miskin menjadi korban penipuan PT Prima Makmur Batam yang menjual hutan lindung sebagai kavling siap bangun di Batam, Kepulauan Riau. Penegak hukum diminta menyelidiki hingga tuntas karena diduga masih banyak kasus serupa yang belum terungkap.
Pembeli kavling siap bangun (KSB) sebagian besar adalah warga miskin yang tinggal di rumah liar. Mereka tergiur tawaran PT Prima Makmur Batam (PMB) yang menjual kavling dengan harga murah, yakni Rp 7 juta-Rp 24 juta untuk sebuah petak berukuran 96 meter persegi.
Salah satu pembeli, Sujianto (47), menebus kavling Rp 7 juta pada 2017. Menurut rencana, secara bertahap ia akan membangun rumah di lahan tersebut. ”Saya dan keluarga tinggal di rumah liar, jadi sudah lama sekali ingin punya rumah layak,” katanya, Rabu (26/2/2020).
Hal serupa dialami Sukardi (33) yang membeli kavling seharga Rp 14 juta pada 2018. Harga petak yang dibeli Sukardi dua kali lebih mahal dibandingkan milik Sujianto karena letaknya lebih dekat dengan akses jalan. Demi membeli kavling itu, ia menggadaikan tanah di kampung halamannya.
Pada Jumat (21/2/2020), Tim Gabungan Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menangkap Komisaris PT PMB, Z (39). Lahan KSB seluas 28 hektar di Kelurahan Batu Besar, Kecamatan Nongsa, itu ternyata masuk kawasan Hutan Lindung Sei Hulu Lanjai. Lebih dari 2.700 pembeli terkena imbasnya.
”Kami pernah diminta membayar biaya tambahan lagi Rp 35 juta untuk pengurusan izin. Namun, kami menolak karena sudah mulai merasa ada yang tidak beres,” ujar Sujianto.
Kasus perambahan hutan lindung untuk dijadikan KSB bukan hal baru di Batam. Selama setahun terakhir, KLHK menetapkan tiga perusahaan sebagai tersangka perusakan hutan lindung, yaitu PT Kayla Alam Sentosa (KAS), PT Alif Mulya Jaya Batam (AMJB), dan PT PMB.
Sebelumnya, Direktur PT KAS Indra May mengatakan, total ada 41 proyek KSB milik 26 perusahaan yang wilayahnya tumpang-tindih dengan kawasan hutan lindung di Batam. Ia meminta aparat bertindak tegas tanpa tebang pilih untuk menertibkan semua aktivitas ilegal itu.
Hal senada disampaikan Ketua Komisi I DPRD Kota Batam Budi Mardiyanto. ”Kita buka-bukaan saja kasus seperti itu banyak sekali. Kasus hutan lindung yang dirambah jadi kavling itu merajalela di Batam,” ucapnya.
Menurut dia, DPRD Kota Batam sudah berulang kali meminta Badan Pengusahaan (BP) Batam menyerahkan data lokasi hutan yang dirambah untuk dijadikan KSB. Ia meminta BP Batam agar bersikap terbuka terkait kasus itu agar aparat penegak hukum bisa terbantu ketika akan menindak.
”Terus terang data itu belum pernah disampaikan, padahal sudah sering diminta dalam rapat dengar pendapat. Jangan sampai ada anggapan BP Batam tutup mata, mereka pegang hak pengelolaan lahan, tetapi terkait hutan lindung lepas tangan, seharusnya tidak boleh begitu,” kata Budi.
Wakil Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) Rolas Budiman Sitinjak mengatakan, ada 800 laporan warga terkait kasus KSB yang tumpang-tindih dengan hutan lindung. Diperkirakan lebih dari 330 hektar hutan lindung di Batam telah dirambah untuk dijadikan KSB.
Terkait hal itu, Direktur Pengelolaan Lahan BP Batam Ilham Eka Hartawan menyatakan, Direktorat Pengamanan BP Batam menggelar patroli secara rutin untuk mengawasi wilayah yang rawan perambahan, salah satunya di Kecamatan Nongsa.
KSB mulanya diperuntukkan sebagai tempat relokasi warga yang tinggal di pemukiman liar. Sebenarnya program itu telah dihentikan pada 2016, tetapi sampai sekarang masih ada oknum yang memperjualbelikan lahan secara ilegal berkedok KSB.
Terus terang data itu belum pernah disampaikan, padahal sudah sering diminta dalam rapat dengar pendapat. Jangan sampai ada anggapan BP Batam tutup mata, mereka pegang hak pengelolaan lahan, tetapi terkait hutan lindung lepas tangan, seharusnya tidak boleh begitu.
Sekretaris Dewan Pengurus Daerah Real Estate Indonesia Khusus Batam Robinson Tan mengatakan, persoalan KSB yang mencaplok hutan lindung menyebabkan tata kota menjadi berantakan. Pembangunan rumah bersubsidi seharusnya diperbanyak agar warga tidak tergoda membeli KSB.
”Kami sudah beberapa kali sampaikan hal ini kepada BP Batam, tetapi selalu dijawab lahan habis. Padahal, menurut hitungan kami, sebenarnya masih ada ruang yang cukup,” ujar Robinson.
Direktur Jenderal Penegakan Hukum KLHK Rasio Sani memastikan, kasus perambahan hutan lindung untuk dijadikan KSB itu akan ditangani secara serius. Selain berdampak ekonomi, kasus itu dikhawatirkan juga akan memengaruhi cadangan air sejumlah waduk buatan di Pulau Batam.
Sebagai pulau yang tidak memiliki sungai sebagai sumber air baku, Batam mengandalkan enam waduk buatan untuk memenuhi kebutuhan air baku. Namun, sekarang, alih fungsi hutan lindung di daerah tangkapan air menjadi salah satu faktor yang membuat cadangan air baku di sejumlah waduk menipis.
Presiden Direktur PT Adhya Tirta Batam—pengelola air bersih di Batam—Benny Andrianto mengatakan, Waduk Duriangkang yang memasok 80 persen kebutuhan air warga Batam kondisinya mengkhawatirkan. Permukaan air berada sekitar 2,76 meter di bawah katup pelimpah air (spillway). Jika intensitas hujan tidak kunjung meningkat, diperkirakan dua atau empat bulan lagi Batam akan mengalami kekeringan.