Wali Kota Yogyakarta Bantah Minta dan Terima Uang Terkait Proyek
Wali Kota Yogyakarta Haryadi Suyuti dan istrinya membantah terlibat dalam kasus korupsi proyek saluran air di Yogyakarta.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·4 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Wali Kota Yogyakarta Haryadi Suyuti dihadirkan sebagai saksi dalam sidang lanjutan kasus dugaan korupsi proyek saluran air hujan, Rabu (26/2/2020). Dalam kesempatan itu, Haryadi membantah pernah meminta dan menerima uang terkait proyek tersebut. Haryadi juga membantah informasi bahwa istrinya terlibat dalam upaya memenangi proyek itu.
”Saya sampaikan, saya tidak pernah meminta dan menerima (uang),” ujar Haryadi saat memberi kesaksian di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Yogyakarta.
Sidang tersebut menghadirkan dua terdakwa, yakni jaksa di Kejaksaan Negeri (Kejari) Yogyakarta, Eka Safitra, serta jaksa di Kejari Surakarta, Satriawan Sulaksono. Sidang dipimpin oleh majelis hakim yang diketuai Asep Permana dengan anggota Samsul Hadi dan Rina Listyowati.
Seperti diberitakan, Eka dan Satriawan ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 19 Agustus 2019. Keduanya didakwa menerima suap sebesar Rp 221.740.000 dari pengusaha asal Solo, Gabriella Yuan Anna Kusuma. Dalam persidangan terpisah, Gabriella telah divonis dengan 1,5 tahun penjara dan denda Rp 100 juta subsider tiga bulan kurungan.
Suap dari Gabriella itu terkait proyek rehabilitasi saluran air hujan di Jalan Supomo, Yogyakarta, dan sekitarnya. Proyek di Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan, dan Kawasan Permukiman (PUPKP) Kota Yogyakarta itu memiliki pagu anggaran Rp 10,8 miliar. Namun, setelah dilakukan lelang, nilai kontrak proyek tersebut hanya Rp 8,3 miliar.
Dalam persidangan itu, Haryadi antara lain ditanyai ihwal jatah fee atau imbalan sebesar 0,5 persen dari nilai proyek yang disebut akan diberikan pada dirinya. Namun, Haryadi mengaku tak tahu-menahu tentang jatah fee tersebut.
”Saya tidak tahu hal itu. Orang menggunakan nama saya itu, kan, saya juga enggak tahu. Nama saya ini bisa dipakai dan dijual untuk memengaruhi orang lain,” ujar Haryadi yang memberi kesaksian di bawah sumpah.
Informasi ihwal jatah fee 0,5 persen itu disampaikan oleh Gabriella Yuan Anna Kusuma, pengusaha yang memenangi proyek rehabilitasi saluran air hujan di Jalan Supomo dan sekitarnya, saat memberi kesaksian dalam sidang tanggal 22 Januari 2020.
Gabriella mengaku pernah diminta memberikan fee sebesar 0,5 persen dari nilai proyek oleh pejabat Dinas PUPKP Kota Yogyakarta. Menurut Gabriella, sang pejabat mengatakan bahwa fee 0,5 persen itu akan diberikan kepada Haryadi. Namun, Gabriella menyebut, fee 0,5 persen itu belum jadi diberikan.
Saat memberi kesaksian, Gabriella juga menyebut dugaan keterlibatan istri Haryadi, Tri Kirana Muslidatun. Menurut Gabriella, dirinya pernah mendapat informasi bahwa salah satu perusahaan peserta lelang proyek saluran air hujan di Jalan Supomo dibawa oleh istri Haryadi.
Namun, Haryadi membantah keterlibatan istrinya. Menurut Haryadi, dirinya sudah mengklarifikasi isu tersebut kepada istrinya serta kepada pimpinan Bagian Layanan Pengadaan (BLP) Sekretariat Daerah Kota Yogyakarta. Berdasarkan klarifikasi itu, Haryadi menyebut, isu keterlibatan istrinya tersebut tidak benar.
”Saya sekaligus mengklarifikasi, kebetulan saya yang dipanggil sebagai saksi di bawah sumpah. Saya dan istri saya tidak pernah terlibat dalam persoalan ini,” kata Haryadi.
Saat dikonfirmasi secara terpisah, Tri Kirana juga membantah terlibat dalam upaya pemenangan proyek saluran air hujan di Jalan Supomo. ”Ini fitnah. Saya tidak pernah tahu proyek itu lho,” ucapnya.
Inisial H
Selain oleh Gabriella, nama Haryadi juga disebut oleh Kepala Bidang Sumber Daya Air Dinas PUPKP Kota Yogyakarta, Aki Lukman Nor Hakim, saat bersaksi dalam sidang tanggal 12 Februari 2020. Dalam kesaksiannya, Aki mengatakan, sempat ada rencana pemberian uang sebesar Rp 150 juta dari Dinas PUPKP kepada Haryadi pada 2019.
Uang Rp 150 juta itu direncanakan dikumpulkan dari uang ucapan terima kasih yang diberikan oleh sejumlah perusahaan pemenang proyek pada Dinas PUPKP Kota Yogyakarta. Saat sidang tanggal 12 Februari 2020, jaksa penuntut umum KPK sempat menunjukkan kertas berisi tulisan tangan Aki. Dalam kertas itu terdapat inisial H dengan angka 150 di sampingnya.
Menurut Aki, inisial H itu merujuk pada Haryadi, sementara angka 150 merujuk pada nominal Rp 150 juta. Namun, rencana pemberian uang itu belum direalisasikan.
Saat ditanyai perihal informasi itu, Haryadi membantah. Dia lagi-lagi menyatakan tidak pernah meminta dan menerima uang dari Dinas PUPKP. ”Saya sampaikan sekali lagi, saya tidak pernah meminta dan menerima seperti yang disampaikan oleh saksi itu,” ujarnya.
Saya sampaikan sekali lagi, saya tidak pernah meminta dan menerima seperti yang disampaikan oleh saksi itu.
Jaksa penuntut umum pada KPK, Luki Dwi Nugroho, mengatakan, Haryadi dipanggil sebagai saksi untuk mengklarifikasi keterangan beberapa saksi sebelumnya. Luki menambahkan, sebelum menjadi saksi di persidangan, Haryadi sudah bersumpah akan memberi keterangan yang sebenar-benarnya.
Oleh karena itu, Luki menyebut, apabila keterangan tersebut ternyata tidak benar, akan ada konsekuensi hukum. ”Beliau sebelum memberi kesaksian, kan, disumpah sesuai dengan agama. Kalau apa yang beliau sampaikan bukan merupakan keterangan yang benar, akan ada konsekuensi hukumnya,” ujarnya.