Bakamla Zona Maritim Tengah, yang bertugas menjaga wilayah perairan di 12 provinsi, beroperasi di tengah keterbatasan personel, sarana, serta prasarana.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MINAHASA UTARA, KOMPAS — Badan Keamanan Laut Zona Maritim Tengah, yang bertugas menjaga wilayah perairan di 12 provinsi, beroperasi di tengah keterbatasan personel, sarana, dan prasarana. Di sisi lain, ragam ancaman terhadap keamanan laut semakin banyak dan jumlah kasusnya tidak menyurut.
Kepala Bidang Operasi Badan Keamanan Laut (Bakamla) Zona Maritim Tengah Kolonel Bakamla Ahmad Muharam mengatakan, pihaknya melaksanakan 1.023 pemeriksaan terhadap aktivitas kapal asing ataupun domestik yang mencurigakan selama 2015-2019. Dari jumlah itu, sebanyak 27 kasus berakhir dengan penangkapan disusul proses peradilan.
”Segala jenis kapal yang kami tangani seperti tongkang, kargo, dan kapal nelayan. Ada pelanggar WNI (warga negara Indonesia), ada juga yang asing, seperti Filipina,” kata Muharam, Kamis (27/2/2020), setelah mengikuti simulasi penanganan kapal asing pencuri ikan di Serei, Minahasa Utara, Sulawesi Utara (Sulut).
Ancaman utama yang dihadapi di Sulut adalah penangkapan ikan yang ilegal, tidak teregulasi, dan tidak tercatat (IUUF).
Jenis pelanggaran pun beragam, mulai dari pencurian ikan oleh nelayan yang tidak memiliki surat izin penangkapan ikan (SIPI), penyusupan orang asing, penyelundupan narkoba, hingga perdagangan manusia. Salah satu lokasi titik panas pelanggaran tersebut yaitu Laut Sulawesi di utara Pulau Sulawesi, tepatnya perairan di sekitar Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Kepulauan Talaud.
Menurut Kepala Kantor Bakamla Zona Maritim Tengah Laksamana Pertama Bakamla Leonidas Braksan, ancaman utama yang dihadapi di Sulut adalah penangkapan ikan yang ilegal, tidak teregulasi, dan tidak tercatat (IUUF). Ia tidak ingin pencurian ikan oleh nelayan China yang dikawal penjaga pantai di Natuna, Kepulauan Riau, terjadi di Sulut.
Namun, Bakamla Zona Maritim Tengah yang berpusat di Manado masih kekurangan personel dan sumber daya yang dibutuhkan. Hanya ada dua kapal negara dan empat kapal kecil yang digunakan untuk mengamankan 12 provinsi yang mencakup wilayah dari Jawa Tengah hingga Nusa Tenggara Timur, sebagian besar Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. Jumlah personel pun hanya 39 orang.
”Personel kita memang kurang dari yang ditetapkan prosedur standar. Kami membekali satu orang dengan dua atau lebih kemampuan operasi untuk menyiasati kekurangan itu. Melihat wilayah yang sangat luas, kami masih sangat jauh dari cukup. Namun, itulah kemampuan negara dan kami harus beradaptasi,” tutur Leonidas.
Di sisi lain, suplai bahan bakar minyak yang diterima Bakamla, kata Leonidas, terbatas. Untuk itu, kapal pun digunakan seefisien mungkin. Misalnya, alih-alih patroli, Bakamla mendeteksi aktivitas yang tidak biasa di perairan Indonesia dengan radar kapal sebelum menuju lokasi. ”Radar bisa mendeteksi aktivitas hingga di area ZEE (zona ekonomi eksklusif). Kalau ada anomali, baru kami gerak,” kata Leonidas.
Kendati begitu, menurut Leonidas, yang tak kalah penting adalah kesiapan petugas. Simulasi penanganan kapal asing pencuri ikan, pada hari Kamis, merupakan upaya memastikan personel Bakamla mampu bertindak sesuai prosedur, terutama dalam menindak nelayan asing. Latihan pun dilaksanakan dengan berbagai skenario, mulai dari deteksi kapal asing, persuasi dalam bahasa Inggris, hingga penyergapan kapal.
”Menurut saya, para personel yang terlibat di latihan ini sudah memahami prosedur yang benar. Latihan ini harus terus dilakukan agar kami tidak tergopoh-gopoh saat menghadapi nelayan asing. Latihan akan saya adakan setidaknya satu bulan sekali,” kata Leonidas.
Di lain pihak, Kepala Pangkalan Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Bitung Donny Muhammad Faisal mengatakan, pencurian ikan oleh nelayan asing terus terjadi, termasuk yang dilakukan oleh nelayan-nelayan kecil dari Filipina. Selama 2019, setidaknya ada sembilan penangkapan oleh PSDKP Bitung yang berujung pada peradilan.
Sepanjang 2015-2019, sebanyak 808 anak buah kapal (ABK) ditangkap karena mencuri ikan. Sebanyak 735 orang merupakan warga negara Filipina, sisanya WNI. Tujuh nelayan asal Filipina telah ditahan sejak September 2019. Mereka adalah nelayan tradisional berperahu kayu kecil.
Untuk menangkal lebih banyak kasus pencurian ikan, pada tahun ini PSDKP Bitung akan mengutamakan patroli di seluruh perairan Sulut hingga ZEE dengan prioritas area perbatasan. Patroli ditopang empat kapal pengawas dan dua kapal cepat (speedboat).
”Pengawasan kami maksimalkan dengan memantau VMS (vessel monitoring system/sistem pengawasan kapal) dan Radarsat. Dari situ dapat kelihatan informasi pergerakan kapal asing,” kata Faisal.
Sebelumnya, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana mengatakan perlu perpanjangan tangan negara untuk menegakkan hukum di perairan terluar Nusantara. Kapal-kapal Bakamla serta Kementerian Kelautan dan Perikanan memegang peranan penting (Kompas, 7 Januari 2020).