Jatuh Bangun demi Sang Buaya ”Berkalung” Ban
Upaya berbagai pihak di Palu, Sulawesi Tengah, menyelamatkan seekor buaya muara yang terjerat ban sepeda motor di lehernya terus dilakukan. Kenapa upaya ini menjadi penting?
Penderitaan buaya muara yang terjerat ban di lehernya di Sungai Palu, Kota Palu, Sulawesi Tengah, hingga kini masih berlanjut. Berbagai upaya penyelamatan belum membuahkan hasil selama 3,5 tahun. Sebenarnya, seberapa penting seekor buaya diselamatkan?
Jumat (14/2/2020) pukul 21.40 Wita. Seekor buaya muara (Crocodylus porosus) berenang pelan mengikuti arah cahaya senter. Itulah sasaran yang ditunggu-tunggu, sang buaya ”berkalung” ban. Pada jarak 3 meter, Matthew N Wright melempar tombak. Harpun (mata tombak bergerigi) mengenai kepala buaya. Sontak, satwa liar itu ”salto” di dalam air. Harpun tak menancap di kepala buaya.
Matthew bergegas mengarahkan senter di kepalanya mencari jejak buaya. Ia menemukan buaya itu lagi pada jarak 50 meter dari lokasi penombakan semula. Tombak kembali melayang. Kali ini, harpun meleset. Buaya pun menghilang hingga Matthew dan tim penyelamatan meninggalkan sungai untuk beristirahat jelang pergantian hari.
Kami khawatir buaya mengalami perubahan perilaku signifikan setelah diburu.
Itulah sebagian kisah tim penyelamatan buaya muara yang terjerat ban sepeda motor di lehernya. Tim terdiri dari petugas Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulawesi Tengah; ahli penanganan buaya dari Australia, Matthew Wright; serta anggota Direktorat Kepolisian Perairan dan Udara Kepolisian Daerah Sulteng.
Upaya penyelamatan selama seminggu bersama Matthew, pembawa program Outback Wrangler di saluran National Geographic itu, tak berhasil menangkap sang buaya guna menyelamatkannya dari jeratan ban. Seminggu sebelumnya, operasi digelar BKSDA Sulteng tanpa Matthew.
Setelah dua minggu dikejar-kejar, tim penyelamatan memutuskan menghentikan operasi. Buaya muara itu perlu waktu untuk pemulihan. ”Kami khawatir buaya mengalami perubahan perilaku signifikan setelah diburu,” kata Kepala Seksi Konservasi Wilayah I BKSDA Sulteng, yang juga ketua tim penyelamatan buaya, Haruna, di Palu, Senin (17/2/2020).
Salah satu perubahan perilaku itu mulai tampak, yakni jarangnya buaya kembali ke salah satu titik favoritnya, yaitu di sekitar Jembatan II, Kelurahan Tatura Selatan, Kecamatan Palu Selatan. Terakhir kali buaya tersebut berenang ria di situ adalah pada Selasa (11/2/2020) kala tim memulai operasi dengan memasang perangkap berupa kerangkeng besi apung.
Namun, Haruna menyebutkan, perubahan perilaku itu belum signifikan. Buaya muara masih tetap di habitatnya, yakni Sungai Palu. Kalau satwa dilindungi itu lari ke habitat lain, itu baru masalah.
Baca juga: Buaya yang Terjerat Ban di Palu Masih Belum Berhasil Diselamatkan
Untuk menebus ”kegagalannya”, Matthew yang selalu sukses menangkap buaya di habitatnya berencana datang lagi. Ia berjanji menyiapkan sumber daya atau metode lain untuk menyelamatkan buaya tersebut. Pada Jumat-Sabtu (28-29/2/2020) ini, Matthew menyempatkan singgah di Palu untuk mengupayakan penangkapan buaya itu sekali lagi sebelum bertolak ke Amerika Serikat.
Matthew menyebutkan, tak ada kendala berarti dalam penanganan buaya muara tersebut. Tak bisa ditangkapnya reptil besar itu murni karena karakter satwa liar yang selalu menjauh saat didekati atau menghindar kala terancam.
Buaya muara yang panjangnya mencapai 4 meter itu diketahui terjerat ban sepeda motor sejak pertengahan 2016. Sejak saat itu, berbagai upaya telah dilakukan untuk menangkapnya, tetapi selalu tak berhasil. Sebelum operasi ini, tim BKSDA Sulteng pernah menggelar operasi serupa pada 2017.
Pada tahun sama, selebritas pencinta satwa Panji dan seorang ahli satwa dari Australia juga melakukan misi serupa. Selain buaya ”berkalung” ban, BKSDA Sulteng mendata ada 36 buaya muara lain di Sungai Palu. Ada yang berukuran besar dan ada juga yang kecil.
Soal ban yang menjerat leher buaya muara, ada dua pandangan yang berkembang. Pandangan pertama, ban secara tak sengaja masuk ke leher buaya saat dia berada di dalam air. Ban terhanyut di sungai seperti juga berbagai jenis sampah lainnya.
Buaya-buaya sering berdampingan dengan orang yang memancing ikan di sungai atau muara.
Pendapat lain yang diyakini BKSDA Sulteng, buaya muara tersebut awalnya dipelihara orang di Kabupaten Donggala. Orang itu menandainya dengan mengalungkan ban tersebut. Namun, buaya lalu terlepas dari tempat pemeliharaan.
Metode penombakan yang dilakukan tim BKSDA Sulteng diperbincangkan warga di pinggir sungai saat operasi berjalan. Warga menilai metode perburuan tak tepat. Hampir semua buaya muara di Sungai Palu ”jinak”.
Buaya-buaya sering berdampingan dengan orang yang memancing ikan di sungai atau muara. Nelayan yang menghela jala di Teluk Palu, tak jauh dari muara, jarang diserang buaya.
Safrudin (60), warga Kelurahan Besusu Barat, Kecamatan Palu Timur, berpendapat, salah satu cara menangkap buaya adalah dengan menggunakan jaring. ”Lokasi berenangnya tak jauh-jauh di sekitar muara ini. Kalau lokasi itu dipasang jaring yang kuat, mungkin buayanya terjerat untuk lalu dikeluarkan bannya,” ujarnya.
Apa pun metode penangkapan, tujuannya tetap sama, yakni membebaskan buaya dari jeratan ban tersebut. Tubuh buaya yang terus membesar dikhawatirkan membuat ban itu makin kencang mencekik lehernya.
Baca juga: Penyelamatan Buaya ”Berkalung” Ban di Palu Kembali Dilanjutkan
Kondisi itu bisa membuat stres satwa liar tersebut. Akibatnya, buaya itu bisa mengamuk dan warga di pinggiran sungai atau nelayan yang mencari ikan di sekitar muara menjadi sasaran.
”Tujuan kita mengeluarkan ban dari leher buaya untuk mencegah kemungkinan buruk itu. Sejauh ini memang belum terlihat adanya konflik, tapi bisa saja dia stres dan menyerang manusia,” kata Kepala BKSDA Sulteng Hasmuni Hasmar.
Meskipun tak tercatat dengan baik, konflik antara buaya muara dan manusia di Sungai Palu pernah terjadi. Salah satunya pada 28 September 2017 saat seorang pemancing diserang buaya. Pemancing lebih dahulu menyerang buaya dengan melemparkan batu. Buaya lalu menyerang balik sehingga pemancing itu tewas.
Kasus lainnya, seekor buaya masuk ke permukiman di Kelurahan Nunu, Kecamatan Tatanga, pertengahan 2018. Tak ada serangan buaya terhadap warga. Buaya tersebut lalu ditangkap tim BKSDA Sulteng untuk dilepasliarkan di Sungai Palu.
Lebih jauh lagi, Lembaga Kajian Asia Tenggara, Pasifik dan Karibia Belanda (KITLV) mendokumentasikan, pada era kolonialisme Belanda, konflik buaya muara dengan manusia juga pernah terjadi di Palu pada 1935. Seekor buaya muara besar memangsa warga di muara Sungai Palu.
Buaya itu lalu ditangkap dan dibelah perutnya untuk mengambil jenazah korban. Setelah ditangkap, orang Belanda duduk di punggung buaya besar itu disaksikan warga lokal.
Secara legal, buaya muara berstatus dilindungi sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1997 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar. Buaya muara disebut dalam lampiran regulasi itu bersama dengan buaya air tawar irian (Crocodylus novaeguineae) dan buaya siam (Crocodylus siamensis).
Dalam catatan lembaga konservasi alam internasional IUCN, status buaya muara berisiko rendah akan kepunahan. Sungai-sungai dekat laut di Indonesia umumnya merupakan habitat buaya muara, terutama di Sulawesi dan Kalimantan.
BKSDA Sulteng dan pemerhati satwa liar berupaya menyelamatkan buaya muara ”berkalung” ban karena perintah ketetapan tersebut meskipun habitatnya bukan berada dalam wilayah konservasi, seperti suaka margasatwa.
Kalau itu terjadi, hal-hal yang tak diinginkan, termasuk bencana bagi manusia, mungkin terjadi.
Alasan lain, meskipun ”hanya” satu ekor, buaya muara perlu diselamatkan karena erat kaitannya dengan keseimbangan ekosistem. Buaya muara merupakan bagian penting dari ekosistem Sungai Palu.
”Kehilangan satu satwa liar dalam konteks ekosistem dan konservasi bisa menimbulkan ketidakseimbangan. Kalau itu terjadi, hal-hal yang tak diinginkan, termasuk bencana bagi manusia, mungkin terjadi. Satu buaya diselamatkan karena ia indikator keseimbangan ekosistem,” kata Haruna.
Dalam rantai makanan, buaya muara termasuk predator ”kelas atas”. Posisinya turut membantu keseimbangan populasi ekosistem di bawahnya. Haruna mencontohkan, salah satu makanan buaya muara adalah tikus. Jika populasi buaya muara berkurang, populasi tikus di bantaran Sungai Palu akan meningkat pesat. Itu bisa menjadi masalah bagi warga. ”Jangan lihat seekor buayanya saja, tetapi konteks keseimbangan ekosistemnya,” ucapnya.
Posisi sedemikian penting itu masih perlu dipertegas lagi. Tak hanya menyelamatkan buaya yang sedang malang itu, tapi juga keseluruhan ekosistemnya. Sungai Palu sejauh ini masih menjadi bagian dari tempat pembuangan sampah warga di sekitar bantaran. Tumpukan sampah terlihat di sejumlah titik di pinggir tanggul yang dibangun membatasi permukiman warga dan sungai.
Baca juga: Buaya ”Berkalung” Ban dan Sampah di Sungai Palu
Dengan kondisi itu, buaya muara dan satwa lainnya di Sungai Palu tak aman. Jika dugaan ihwal ban di leher buaya berasal dari sampah yang dibuang ke sungai, ancaman serupa masih akan terus membayangi kalau lingkungan Sungai Palu tak diurus.
Ancaman lainnya, menyusutnya tempat bertelur (nesting ground) buaya muara. Anggota tim penyelamatan buaya BKSDA Sulteng yang menulis tesis tentang buaya muara di Sungai Palu, Andi Ma’ruf Saehana, menyebutkan, dari empat tempat bertelur buaya, dua di antaranya sudah beralih fungsi menjadi bagian permukiman.
Jika dua tempat yang tersisa ”dicaplok” lagi, buaya muara mungkin akan bermigrasi ke tempat lain yang lebih aman. Sungai Palu pun akan kehilangan salah satu penopang penting ekosistemnya.
Salah satu siasat agar ekosistem Sungai Palu dan buaya muara terjaga adalah mengembangkan potensi wisata. Atraksi wisata yang bisa dikemas adalah menghitung jumlah buaya pada malam hari dengan senter (spotlight) dan memberi makan pada buaya. ”Tentu ini harus ditangani secara profesional. Kami siap membantu,” ujar Haruna.
Baca juga: Penyelamatan Habitat Satwa Mendesak
Namun, Wali Kota Palu Hidayat malah ingin memindahkan buaya-buaya di Sungai Palu dengan cara ditangkarkan di Hutan Kota, Kecamatan Mantikulore. Penangkaran bertujuan menjaga populasi sekaligus sebagai sarana wisata dan edukasi.
Rencana itu perlu dipikirkan secara matang karena banyak hal harus diperhitungkan, antara lain salinitas (kandungan garam) air di penangkaran sebagai prasyarat habitat buaya muara dan risiko keamanan. Sebelum rencana itu terealisasi, buaya muara ”berkalung” ban itu perlu segera diselamatkan sembari memperlakukan Sungai Palu lebih ramah terhadap satwa liar dilindungi itu.