Merajut Persaudaraan di Tapal Batas RI-Timor Leste
Pertemuan tak terduga terjadi di pasar perbatasan Motaain dan Batugade, Timor Leste. Warga dua negara, satu nenek moyang, merajut tali persaudaraan yang sempat retak 20 tahun silam.
Oleh
Kornelis Kewa Ama/ Frans Pati Herin
·4 menit baca
Pertemuan tak terduga terjadi di pasar perbatasan Motaain dan Batugade, Timor Leste. Warga dua negara, satu nenek moyang, merajut tali persaudaraan yang sempat retak 20 tahun silam.
Maria da Nunes (43), warga Batugade, Timor Leste, duduk bersanding dengan saudaranya, Nicolao da Nunes (50), warga Kenebibi, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur. Mereka bertemu dan melepas rindu di pasar perbatasan di Pos Lintas Batas Negara Motaain di Belu, Selasa (18/2/2020).
Dua saudara kandung ini saling menyodorkan sirih pinang, tanda persaudaraan dan kebersamaan. Sambil berbincang, mereka mengunyah sirih, pinang, dan kapur. ”Ini saudara saya. Dia memilih bergabung dengan Indonesia pasca-penentuan pendapat karena ada orang mencurigai dia anggota milisi prointegrasi. Ia pun merasa tidak nyaman, kemudian memilih tinggal di Kenebibi, Belu, bersama istri dan dua anak serta ratusan saudara lain,” kata Maria.
Dua saudara kandung beda kewarganegaraan ini sering bertemu. Setiap tanggal 2 November, yang dalam agama Katolik diperingati sebagai hari arwah, Nicolao dan keluarganya berziarah ke makam leluhur di Batugade. Saat merayakan komuni pertama anak Nicolao, beberapa waktu lalu, giliran Maria dan keluarganya yang berkunjung ke Kenebibi.
Mengingat-ingat masa lalu hanya mengorek luka lama.
Maria sudah puluhan kali mengunjungi Nicolao sambil berbelanja di Belu. Pertemuan keduanya saat itu tak terduga, hanya kebetulan saat berbelanja di pasar perbatasan. ”(Di Indonesia ataupun di Timor Leste) Sama saja. Di sini juga kerja dulu baru makan, di Timor Leste juga sama. Tidak ada rencana balik ke sana (Timor Leste) karena anak- anak sudah betah di Indonesia,” kata Nicolao.
Tak jauh dari keduanya, tampak tiga warga Timor Leste lainnya. Mereka adalah Moses da Crus, Agusto Pareira, dan Jacinta Carvalho. Ketiganya berasal dari Distrik Bobonaro, yakni dari wilayah Batugade, Balibo, dan Atsabe. Kedatangan mereka tidak hanya untuk membeli barang yang dijual di pasar itu, tetapi juga untuk bertemu dan bersilaturahmi dengan kerabat.
Mereka memanfaatkan waktu operasional pasar, yakni pukul 07.00-12.00 Wita. Dalam setiap transaksi antara penjual dan pembeli, ataupun saat bersilaturahmi, mereka tidak pernah membahas kelam masa lalu, saat proses disintegrasi Timor Timur. Bagi mereka, hari ini dan masa depan jauh lebih penting dibahas dan diperjuangkan. Mengingat-ingat masa lalu hanya mengorek luka lama.
Pasar terpadu
Pasar perbatasan merupakan pasar terpadu yang dibangun di kompleks PLBN Motaain. Di pasar seluas 2.000 meter persegi ini dijual beberapa barang, seperti bunga dan buah pepaya, daun singkong, sawi, tomat, daun sirih, pinang kering, kapur, tembakau kasar, telur ayam kampung, hasil kerajinan tenun ikat, dan barang-barang elektronik.
Pasar perbatasan resmi dibuka pada 3 September 2019, atau hampir tiga tahun setelah Presiden Joko Widodo meresmikan PLBN Motaain pada 27 Desember 2016. Setiap dibuka pada hari Selasa, puluhan warga Timor Leste hilir mudik di dalam pasar perbatasan untuk berbelanja berbagai kebutuhan. Mereka bebas berbelanja memanfaatkan fasilitas kartu pas lintas batas (PLB).
Pegawai dan aparat keamanan dari Timor Leste juga sering berbelanja di sana. Bedanya, mereka tidak perlu menggunakan kartu PLB. Hari itu, Erwanto Pareira (30), warga Batugade, membawa anak-anaknya untuk berbelanja makanan ringan dan es krim. Uang 20 dollar AS yang dikantonginya cukup untuk membeli makanan ringan itu.
Di Indonesia, barang seperti pakaian dan elektronik itu murah.
Pria yang sehari-hari bekerja sebagai nelayan tersebut sengaja tidak berbelanja bahan pokok di Pasar Perbatasan Motaain karena harganya relatif lebih murah di Batugade. ”Di Indonesia, barang seperti pakaian dan elektronik itu murah. Di Timor Leste mahal. Ada barang tertentu di Timor Leste murah, tetapi di sini mahal. Demikian pula sebaliknya. Tinggal warga dua negara ini memilih mau belanja di pasar mana,” kata Pareira.
Dengan kartu PLB, warga perbatasan di Timor Leste dibolehkan masuk wilayah Indonesia hingga di Atambua, Belu, sekitar 40 kilometer dari Motaain. Warga Indonesia pun diperkenankan masuk wilayah Timor Leste sampai di Batugade, sekitar 3 kilometer dari PLBN Motaain. Kepala Subdirektorat Administrasi Umum Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan PLBN Motaain MF Rikka mengatakan, kehadiran pasar ini, antara lain, untuk menggerakkan roda ekonomi di perbatasan.
Keberadaan pasar tersebut sekaligus untuk meminimalkan penyelundupan yang berpotensi terjadi di sepanjang titik perbatasan kedua negara. Lebih dari sekadar kepentingan ekonomi, pasar tersebut telah menjelma menjadi ruang interaksi sosial yang kian merekatkan tali persaudaraan warga di tapal batas kedua negara.