Begitu besar arti ternak bagi masyarakat Aceh Besar. Sudah sepatutnya pemerintah mendampingi peternak rakyat setiap waktu agar ternak mereka sehat dan roda perekonomian tak terganggu.
Oleh
Zulkarnaini
·5 menit baca
Dalam era modern hadir berbagai tawaran bentuk investasi bagi masyarakat. Namun, warga Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh, masih setia berinvestasi dalam bentuk beternak sapi secara tradisional. Keahlian merawat sapi seperti harta pusaka yang diwariskan kepada anak-cucu. Permintaan tinggi membuat sapi lokal pun ibarat anak emas bagi masyarakat Aceh Besar.
Tangan Abdul Bakri (61) mengusap kepala anak sapi yang dipelihara di lahan kosong tepian Krueng (Sungai) Aceh, Desa Miruek, Kecamatan Krueng Baroena Jaya, Aceh Besar, Kamis (20/2/2020). Saban hari, saat jam istirahat kantor tiba, Bakri bergegas ke kandang sapinya. Dia memelihara lima sapi berusia antara 2 tahun dan 10 tahun. Sapi lokal khas Aceh berbadan tidak gemuk, tetapi tegap.
Dua betina dewasa sedang bunting. Sapi itu sepenuhnya mengonsumsi pakan alami atau rumput. ”Sapi yang makan rumput dagingnya lebih enak, manis,” jelas Bakri. Bakri adalah peternak paruh waktu. Maksudnya, pekerjaan utamanya adalah pegawai negeri sipil (PNS). Namun, keahlian beternak sapi telah dia kuasai sejak masih remaja. Dulu, kakek dan ayahnya juga peternak sapi.
Sapi ini seperti tabungan, sekali jual uangnya besar. Kalau gaji bulanan habis untuk belanja dapur.
Setelah beranak, induk sapi yang tidak produktif dijual dan anaknya dirawat hingga cukup umur untuk dijual juga. ”Walaupun sudah bekerja sebagai PNS, peternak sapi tidak akan saya tinggalkan,” kata Bakri. Sebagai pegawai negeri golongan rendah, penghasilan Bakri Rp 4,6 juta per bulan hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Adapun biaya pendidikan anak, membangun rumah, dan membeli kendaraan bermotor, dia mengandalkan hasil menjual sapi.
Empat anaknya sudah menjadi sarjana berkat hasil beternak sapi. Kini, putri bungsunya sedang menempuh pendidikan keperawatan. ”Biaya masuk kuliah dengan menjual sapi,” ujar Bakri. Dua bulan lalu, saat perayaan Maulid Nabi Besar Muhammad SAW, Bakri kembali menjual dua sapi, masing-masing seharga Rp 35 juta dan Rp 20 juta. Uang itu untuk merenovasi rumah. ”Sapi ini seperti tabungan, sekali jual uangnya besar. Kalau gaji bulanan habis untuk belanja dapur,” kata Bakri.
Menguliahkan anak
Dari hasil beternak sapi, Bakri mampu membeli tiga petak tanah, membangun rumah, dan menguliahkan anak-anak ke perguruan tinggi. Dalam setahun dia menjual dua-tiga sapi. Biasanya dia jual saat hari meugang (tradisi makan daging menjelang puasa dan Lebaran). Bakri piawai merawat sapi. Pagi dikeluarkan dari kandang dan ditambatkan di lahan rumput yang subur untuk makan.
Siang hari, sapi-sapi diberi minum dan sorenya kembali dikandangkan. Setiap hari kandang dibersihkan dan dibuat perapian agar sapi tetap hangat juga untuk mengusir nyamuk. Begitu sapinya tampak kurang sehat, dia langsung memanggil petugas pusat kesehatan hewan (puskeswan) untuk mengobatinya.
Namun, selama menjadi peternak, belum pernah sapinya terkena wabah. Dia merawat sapi dengan hatinya. ”Bagi lon leumo aneuk meuh (Bagi saya sapi ini anak emas). Kami hidup dari hasil penjualan sapi,” ujar Bakri. Warga Aceh Besar lainnya, Hasrul (35), juga menjadikan usaha peternakan sapi sebagai sarana berinvestasi. Saat ini sapinya tersisa delapan ekor dan semuanya siap dijual.
Bagi lon leumo aneuk meuh (Bagi saya sapi ini anak emas).
Sapi Hasrul merupakan campuran sapi lokal dan brahman. Dia memanfaatkan bantaran Krueng Aceh di Desa Bakoy, Kecamatan Ingin Jaya, Aceh Besar, sebagai lokasi kandang ternaknya. Hasrul membeli sapi dewasa sehingga dengan masa perawatan setahun langsung bisa dijual.
Satu sapi brahman yang dibeli Rp 20 juta telah ditawar calon pembeli seharga Rp 33 juta. Namun, dia berniat menjualnya menjelang bulan puasa mendatang dengan taksiran harga Rp 45 juta. Berbeda dengan pola Bakri, Hasrul tidak pernah mengeluarkan sapi dari kandang. Pakan alami hanya 20 persen dan sisanya pakan pabrikan. Sapi peliharaan Hasrul lebih cepat gemuk. Keuntungan dalam satu sapi mencapai separuh dari modal.
Bekal menikah
Hendri (30), warga Kuta Cot Glie, Aceh Besar, memelihara dua sapi untuk bekal menikah nanti. Sapi akan dijual untuk membeli perhiasan emas sebagai mahar pernikahannya. Hendri tidak merawat sapi sendirian, tetapi diserahkan kepada orang lain dengan sistem bagi hasil. Bulan lalu, dia menjual satu sapi untuk membeli sepeda motor. Usaha peternakan sapi di Aceh memang memiliki peluang besar.
Masyarakat Aceh biasa mengonsumsi 600 ton daging per tahun, membuat permintaan terhadap sapi, kerbau, dan kambing cukup tinggi. Momen meugang yang berlangsung tiga kali dalam setahun dan maulid menjadi masa panen puncak penjualan sapi, kerbau, dan kambing. Kepala Bidang Peternakan Dinas Pertanian Aceh Besar Eva Fitriani mengatakan, sapi lokal selalu diburu warga Aceh karena memiliki cita rasa yang kuat.
Umumnya sapi lokal hanya diberi pakan alami sehingga dagingnya padat dan manis. Di Aceh Besar, sebagian besar keluarga memelihara sapi sebagai usaha sampingan. Adapun populasi sapi di Aceh Besar mencapai 78.000 ekor. ”Bagi warga di Aceh Besar, sapi itu merupakan tabungan. Kalau perlu uang baru dijual,” ujar Eva. Sektor peternakan adalah sektor unggulan bagi Pemkab Aceh Besar.
Sudah saatnya peternakan di Aceh diterapkan sistem modern.
Pada 2019, pendapatan asli daerah (PAD) sektor peternakan mencapai Rp 275 juta dan ditargetkan menjadi Rp 500 juta pada 2020. Untuk menambah populasi, pada 2020, Aceh Besar dibebankan akseptor inseminasi buatan (IB) untuk sapi sebanyak 12.700 ekor dan kawin alam 1.000 ekor. Dekan Fakultas Kesehatan Hewan Unsyiah Muhammad Hambal menuturkan, pemerintah perlu lebih serius mengembangkan sektor peternakan.
Warga masih dibiarkan beternak secara tradisional. Padahal, pasar daging di negara-negara tetangga bisa dimanfaatkan oleh peternak Aceh untuk memasok daging. Selain itu, peternak masih kesulitan modal dan pakan harus dipesan dari luar. ”Sudah saatnya peternakan di Aceh diterapkan sistem modern. Kalau sekarang peternakan masih dianggap usaha sampingan,” kata Hambal.
Begitu besar arti ternak bagi masyarakat Aceh Besar. Sudah sepatutnya pemerintah mendampingi peternak rakyat setiap waktu agar ternak mereka sehat dan roda perekonomian tak terganggu.