Genangan Air Meluas, Tanggap Darurat Banjir Sidoarjo Diperpanjang
Masa tanggap darurat bencana banjir di Desa Kedungbanteng dan Banjarasri, Kecamatan Tanggulangin, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur diperpanjang. Banjir selama dua bulan terakhir tak kunjung teratasi, bahkan justru meluas.
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI
·5 menit baca
SIDOARJO, KOMPAS - Pemerintah Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, memperpanjang masa tanggap darurat bencana banjir di Desa Kedungbanteng dan Banjarasri, Kecamatan Tanggulangin. Banjir yang merendam selama dua bulan terakhir tak kunjung teratasi, bahkan meluas ke desa tetangga.
Pelaksana tugas Bupati Sidoarjo Nur Achmad Syaifuddin mengatakan perpanjangan dilakukan karena masa tanggap darurat yang ditetapkan pemerintah pada 19 Februari lalu berakhir pada Selasa (3/2/2020). Pada periode pertama, masa tanggap darurat berlangsung 14 hari atau dua pekan.
“Pemda masih mengkaji perpanjangan masa tanggap darurat, apakah dua pekan atau sebulan. Salah satu pertimbangannya adalah lama waktu yang diperlukan untuk upaya penanggulangan banjir,” ujar Nur Achmad.
Pemkab Sidoarjo tengah menjajaki kerja sama dengan perguruan tinggi untuk penelitian penyebab banjir dan mencari solusi yang tepat.
Pemkab Sidoarjo tengah menjajaki kerja sama dengan perguruan tinggi untuk penelitian penyebab banjir dan mencari solusi yang tepat. Penjajakan dilakukan dengan Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya (ITS) karena mereka pernah meneliti lingkungan di Tanggulangin.
Hingga Senin (3/2/2020), Desa Kedungbanteng dan Banjarasri masih terendam banjir dengan ketinggian air 30-50 sentimeter (cm). Banjir sejak awal musim hujan itu hampir tak pernah surut meski sejumlah upaya penanggulangan sudah dikerahkan oleh Pemkab Sidoarjo. Bahkan, banjir justru meluas ke Desa Banjarpanji
“Sudah dilakukan penyedotan air dengan 12 unit mesin pompa milik BPBD Provinsi Jatim dan BPBD Sidoarjo. Penyedotan dilakukan terus menerus tanpa henti selama dua pekan atau 14 hari masa tanggap darurat pertama,” ujar Nur Achmad.
Selain itu, Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga dan Sumber Daya Air Sidoarjo telah menormalisasi sungai yang melintas di dua desa tersebut untuk meningkatkan daya tampung. Meski begitu, normalisasi belum optimal karena banyaknya bangunan liar di bantaran sungai sehingga menghalangi akses alat berat mengeruk sedimentasi.
Selain itu, badan sungai juga butuh dilebarkan atau dinaturalisasi. Badan sungai ini telah diokupasi bangunan liar milik warga sehingga menyempit. Sungai yang dulu lebarnya 6-8 meter tersisa sekitar 1-2 meter sehingga tak mampu menampung air. Kesadaran warga untuk membongkar bangunan liar sangat rendah.
Kondisi itu diperparah arah aliran air di saluran pembuangan maupun sungai-sungai di kawasan Tanggulangin yang saat ini tidak beraturan. Ketidakberaturan arah aliran air itu disebabkan tanggul lumpur Lapindo seluas hampir 700 hektar yang membentang di Kecamatan Tanggulangin, Porong, dan Jabon.
Nur Achmad menambahkan, genangan banjir merendam sekitar 500 rumah yang dihuni 2.500 jiwa. Genangan banjir itu setiap hari dipompa dan dialirkan ke kolam penampungan darurat lalu dipompa lagi menuju ke sungai agar tidak kembali mengalir ke permukiman.
“Faktanya, air seperti tidak pernah habis. Hujan yang masih mengguyur wilayah Sidoarjo menyebabkan seluruh upaya untuk menguras genangan seakan sia-sia,” kata Nur Achmad.
Hal itu terjadi karena resapan air juga berkurang signifikan karena pembangunan permukiman secara masif. Selain itu, ada proyek pengeboran migas yang juga menguruk lahan untuk keperluan pembangunan infrastruktur penunjang.
Air seperti tidak pernah habis. Hujan yang masih mengguyur wilayah Sidoarjo menyebabkan seluruh upaya untuk menguras genangan seakan sia-sia. (Nur Achmad-Plt Bupati Sidoarjo)
Sementara itu, pakar bencana lingkungan dari ITS Profesor Amin Widodo membenarkan penjajakan kerja sama penelitian dengan Pemkab Sidoarjo. Namun pihaknya belum bisa menyampaikan secara detail bentuk kerja sama karena masih akan dibahas lebih lanjut pekan ini.
Seperti diberitakan sebelumnya, menurut Amin, genangan yang bertahan lama di Desa Banjarasri dan Kedungbanteng, sebenarnya merupakan salah satu indikasi fenomena penurunan tanah. Indikasi lain adalah banyaknya rumah rusak.
“Kerusakan itu bisa beragam, contohnya dinding rumah retak-retak dan pintu rumah bergeser sehingga sulit dibuka,” ujar Amin.
Tanda-tanda lainnya, lanjut Amin, adalah perubahan aliran air permukaan. Semua tanda-tanda fenomena penurunan tanah itu ditemukan di Desa Banjarasri dan Kedungbendo. Dulu desa ini tidak pernah banjir. Sepuluh tahun belakangan, desa ini mulai sering dilanda banjir tetapi biasanya hanya berlangsung 2-3 hari dan cepat surut.
Fenomena penurunan tanah disebabkan semburan lumpur Lapindo. Hal itu karena lokasi Desa Banjarasri dan Kedungbanteng masuk dalam radius kurang dari 6 kilometer dari pusat semburan, tepatnya sekitar 2 kilometer. Selain Desa Banjarasri dan Kedungbanteng, kawasan lain di sekitar pusat semburan yang mengalami penurunan tanah signifikan adalah Desa Pesawahan, Candi Pari, dan Jalan Raya Porong di Kecamatan Porong.
Pemprov Jatim meminta ITS mengkaji kelayakan permukiman di luar tanggul lumpur Lapindo pada 2010. Permintaan itu seiring penurunan tanah yang diikuti semburan gas dan lumpur sehingga merusak sejumlah infrastruktur penting.
“Hasil kajian saat itu menunjukkan kawasan di sekitar tanggul, terutama sisi utara dan barat laut, turun 2-8 cm per tahun,” kata Amin.
Enam tahun kemudian, tepatnya 2016, ITS kembali ditugasi Gubernur Jatim mengkaji kelayakan pengeboran migas di kawasan Tanggulangin. Hasilnya, terjadi penurunan tanah yang signifikan dalam kurun waktu 2010-2016. Penurunan tanah bahkan hingga 50 cm di titik-titik tertentu.
Tidak hanya itu, hasil kajian bawah permukaan tanah, menunjukkan penurunan tanah masih terus berlangsung. Diduga kuat, penurunan tanah ini merupakan proses dinamis di area sekitar pusat semburan lumpur yang masih aktif sampai sekarang.
Idealnya, pemerintah memantau secara rutin fenomena penurunan tanah ini pada area dalam radius 6 kilometer dari pusat semburan. Hasilnya menjadi patokan atau dasar penentuan kebijakan pembangunan di Sidoarjo. Hasil pemantauan itu juga bisa menjadi bahan analisis potensi bencana sehingga kebijakan penanggulangan menjadi lebih tepat sasaran.