Di tengah perkembangan Kota Balikpapan dan wacana pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan Timur, masih banyak warga Balikpapan yang mesti berjibaku demi mendapatkan air bersih.
Februari 2020 ini Balikpapan genap berusia 123 tahun. Baliho bertuliskan ”Balikpapan Nyaman, Penyangga Ibu Kota Negara” terpampang di berbagai sudut kota. Meski ibu kota negara belum resmi pindah ke Kaltim, Balikpapan merayakan rencana pemindahan tanpa embel-embel ”calon” di depan frasa ”penyangga ibu kota negara” dalam jargon itu.
Saat mengumumkan rencana pemindahan ibu kota negara, Presiden Joko Widodo menyatakan, ”Lokasi ibu kota baru yang paling ideal adalah di sebagian Kabupaten Penajam Paser Utara dan sebagian di Kabupaten Kutai Kartanegara di Provinsi Kalimantan Timur.”
Wajar jika wacana pemindahan disambut gegap gempita warga Kaltim. Banyak proyek strategis nasional akan dibangun di Kaltim, tak terkecuali Balikpapan yang berbatasan langsung dengan Penajam Paser Utara. Bahkan, setelah pengumuman lokasi calon ibu kota negara baru, berbagai seminar dan diskusi bertema pemindahan ibu kota dilaksanakan di hotel-hotel Balikpapan.
Balikpapan akan kebagian cuan dari megaproyek ini. Ditinjau dari jarak, Kelurahan Pemaluan, Kecamatan Sepaku, Penajam Paser Utara, yang dikunjungi Presiden, Desember lalu, berjarak sekitar 100 kilometer dari Balikpapan. Untuk menuju ke sana, orang dari luar kota melewati Balikpapan karena pasti turun di Bandara Sultan Aji Muhammad Sulaiman Sepinggan Balikpapan.
Di luar hiruk pikuk wacana pemindahan ibu kota, warga Balikpapan banyak yang masih dipusingkan masalah akses air bersih. Dahlan (59), warga RT 010, Kelurahan Baru Ulu, Balikpapan Barat, tak peduli apakah ibu kota negara resmi pindah atau tidak ke Kaltim. ”Saya memikirkan air saja susah. Harus begadang setiap malam untuk mengecek apakah air mengalir atau tidak,” katanya sambil melongok tandon air 1.200 liter di belakang rumahnya, Rabu (26/2/2020).
Dahlan bisa bernapas lega karena tandonnya penuh oleh air dari perusahaan daerah air minum (PDAM). Namun, keesokan harinya, ia harus tetap begadang untuk memastikan lagi air PDAM yang biasanya mengalir ke rumahnya pukul 01.00-04.00 Wita. Posisi rumahnya berada di perbukitan yang dikenal sebagai Gunung Bugis, sekitar 30 meter di atas permukaan laut. Posisi itu membuat air sulit mengalir ke rumahnya.
Selain itu, sebelum air sampai di rumahnya, air itu sudah dipakai warga lain yang bermukim di kawasan rendah dan dekat dengan sumber air. Praktis, Dahlan dan lima anggota keluarganya hanya bisa menikmati aliran air kala warga lain terlelap dan tak membuka keran air. Tidak jarang ia begadang sia-sia karena air sama sekali tak mengalir.
Beli dari truk tangki
Saat air PDAM sama sekali tak mengalir, warga terpaksa membeli air dari truk tangki yang dijajakan pihak swasta dan PDAM. Tansar (60), warga RT 038, misalnya, membayar PDAM setiap bulan Rp 500.000 untuk lima rumah yang dikontrakkan. Di luar biaya itu, ia harus membeli air tangki yang dijajakan keliling Rp 250.000 untuk mengisi tandon air 5.000 liter miliknya.
”Saat musim kemarau panjang, harga air tangki keliling bisa sampai Rp 100.000 untuk mengisi tandon kapasitas 1.000 liter. Padahal, kalau hari-hari biasa, harganya Rp 50.000- Rp 70.000,” katanya. Saat membeli air, Tansar juga harus bersusah payah. Jarak rumahnya dari tepi jalan raya sekitar 200 meter.
Rata-rata rumah penduduk di Gunung Bugis terletak di gang-gang kecil yang tak bisa dilewati mobil. Pembeli air seperti Tansar harus menyediakan selang tambahan untuk mengalirkan air ke tandon di rumahnya karena penjual hanya menyediakan selang 100 meter. Penyaluran air bersih oleh PDAM Balikpapan hanya mengalir rata-rata 12 jam per hari ke 103.000 rumah warga.
Dari sekitar 680.000 penduduk Balikpapan, sekitar 80 persen berlangganan PDAM. Beberapa perumahan mengandalkan water treatment plant yang dikelola pengembang perumahan. Sisanya, warga mengandalkan air tanah dengan membuat sumur bor. Itu pun sulit mendapatkan air yang bersih. Dari kebutuhan 2.000 liter per detik, PDAM hanya mampu memenuhi 1.600 liter per detik.
Artinya, Balikpapan masih defisit air bersih 400 liter per detik. Air bersih yang disalurkan PDAM Balikpapan bersumber dari Waduk Teritip berkapasitas 250 liter per detik, Waduk Manggar berkapasitas 1.200 liter per detik, dan 23 sumur dengan kapasitas 150 liter per detik.
Bangun embung
Sekretaris Daerah Kota Balikpapan Sayid MN Fadli mengatakan, pemerintah tengah membangun instalasi Embung Aji Raden berkapasitas 150 liter per detik. Saat ini, proyek masih dalam proses pembebasan lahan. Proyek itu ditargetkan selesai 2021. Untuk memenuhi kebutuhan air dalam jangka pendek, pemkot memaksimalkan sumur bor sambil menunggu embung yang sedang dibangun.
Selain itu, pemkot dalam waktu dekat akan melelang proyek desalinasi air laut berkapasitas 50 liter per detik. Sedangkan untuk menekan harga air tangki keliling yang melambung pada musim kemarau, PDAM Balikpapan melakukan intervensi dengan menyalurkan air tangki keliling dengan harga Rp 50.000 untuk 5.000 liter air.
”Itu harga untuk pelanggan PDAM. Kami sediakan berapa saja, sesuai kebutuhan,” kata Direktur Teknik PDAM Balikpapan Arief Purnawarman.
Di tengah kebanggaan menjadi calon penyangga ibu kota negara itu, apakah pemindahan ibu kota negara kelak bisa membuat warga Balikpapan lebih mudah memperoleh hak dasar mendapatkan air bersih? Semoga saja.