Pertumbuhan penduduk dan bertambahnya permukiman membuat defisit air bersih di Kota Balikpapan, Kalimantan Timur, tak terelakkan. Jika pemerintah menyiapkan mitigasi krisis air bersih sejak dini, warga tentu perlu larut dalam pencarian air bersih yang tak pernah usai di kota petro dollar ini.
Suaebah Side (51), warga RT 010 Kelurahan Baru Ulu, Kecamatan Balikpapan Barat, baru saja selesai mengangkat pakaian yang dijemur di pekarangan rumah. ”Kalau panas, jemuran cepat kering, tetapi air sulit. Kalau hujan, air mengalir kecil, tetapi tidak bisa menjemur. Serba sulit,” katanya ketika ditemui di rumahnya, Rabu (26/2/2020). Setidaknya sudah seminggu pasokan air Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Balikpapan tak menyentuh keran rumah Suaebah.
Warga pun harus bersiasat mengirit air. Akhirnya, pakaian dikesampingkan untuk dicuci karena cukup menguras banyak air. Rumah Suaebah, yang berada di perbukitan, membuat suplai air kerap tak sampai. Apalagi rumahnya berada di pinggir Balikpapan yang jauh dari sumber air PDAM, sekitar 36 kilometer dari Bendungan Teritip. Jika pun turun hujan, air hanya mengalir lewat tengah malam dan hanya sekitar empat jam saja.
Suaebah dan suami pun harus begadang bergantian mengisi air bersih ke semua ember dan wadah mereka untuk persediaan beberapa hari. Saat kehabisan air bersih, Suaebah harus membeli dari penjaja tangki keliling. Dalam sebulan, ia membelanjakan Rp 500.000 untuk membeli air bersih keliling tersebut. Sejak masa kolonial Belanda pada abad ke-19 ke sekitar Teluk Balikpapan, Balikpapan memang tumbuh dan aktivitas ekonominya menggeliat.
Belanda menjadikan Balikpapan sebagai kawasan pertama eksplorasi dan pengolahan minyak di Kalimantan. Saat ini, pengolahan minyak di Balikpapan dilakukan Pertamina Refinery Unit V Balikpapan yang merupakan salah satu Unit Bisnis Direktorat Pengolahan Pertamina, yang produknya disalurkan ke kawasan Indonesia bagian timur.
Ibarat magnet, banyak perantau datang mengadu nasib ke Balikpapan. Sayangnya, pertumbuhan demografi Balikpapan tersebut tidak didukung kemampuan menyiapkan kebutuhan warganya, terutama air bersih. Apalagi, jumlah penduduk Balikpapan terus bertambah dari 495.314 orang pada 2004 menjadi sekitar 680.000 orang (2020).
Namun, pertambahan penduduk itu tak diimbangi peningkatan kapasitas produksi air bersih. Saat Bendungan Teritip berkapasitas 250 liter per detik mulai beroperasi pada 2016, ternyata tak juga menyelesaikan masalah air bersih di Balikpapan.
Komersialisasi
Memang bukan hal mudah mendapatkan air bersih di Balikpapan. PDAM Balikpapan kerap mendapati air berbau dan mengandung zat besi tinggi saat mencari sumber air baku. Ada pula warga yang mendapati batu bara di kedalaman 5 meter saat menggali sumur.
”Saat ini, rata-rata setiap rumah hanya teraliri air sekitar 12 jam sehari. Untuk wilayah yang berbukit, kami juga menyalurkan air tangki keliling. Untuk pelanggan PDAM, harganya lebih murah, yakni Rp 50.000 untuk 5.000 liter,” kata Direktur Teknik PDAM Kota Balikpapan Arief Purnawarman.
Pemerintah Kota Balikpapan akan mengoptimalkan air permukaan dengan membendung air hujan dari embung, waduk, atau bendungan. Saat ini pemerintah tengah membebaskan lahan untuk membangun Embung Aji Raden berkapasitas 150 liter per detik.
Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang Kaltim Pradarma Rupang mengatakan, rencana pemindahan ibu kota ke sebagian Penajam Paser Utara dan sebagian Kutai Kartanegara berisiko menimbulkan krisis air yang semakin besar. ”Dampaknya, akan terjadi komersialisasi sumber air bagi warga dan belum tentu krisis air tertangani saat ibu kota negara pindah,” kata Rupang.