Pada Kolong Jalan Layang Mereka Bergantung Hidup
Banjir di pesisir pantai utara Jawa Barat pada awal tahun ini tak hanya menyisakan lumpur dan sampah. Kejadian berulang itu meluapkan fakta, beratnya beban hidup di salah satu kawasan penyangga vital Pulau Jawa itu.
Sorot mata Nyai (48), warga Desa Mulyasari, Kecamatan Pamanukan, Kabupaten Subang, tajam. Mobil-mobil yang melintas di bawah jembatan layang Pamanukan, Kamis (29/2/2020) sore, ia perhatikan saksama. Matanya berbinar saat ada mobil yang berhenti di bawah jembatan. Nyai langsung mendekati mobil itu, bahkan sampai kerap lupa mengenakan alas kakinya.
”Biasanya ada yang mau memberi bantuan kepada kami,” ujarnya.
Dugaannya tepat. Dari mobil mewah itu, ia mendapat sebungkus nasi dan sebotol air mineral, meski harus berebut dengan warga lainnya. Namun, nasi bungkus itu tak langsung dimakan. Nyai meletakkannya di bangku kayu di samping alas tidurnya. Dia sengaja mengumpulkannya sebelum menyantapnya nanti bersama keluarga.
Baru sebentar duduk, beberapa mobil menepi lagi. Kali ini, Nyai meminta menantunya, Sulistia (21) ikut ”berkompetisi”. Sulistia pun sukses. Sebungkus nasi lainnya jadi ”trofinya” di sore yang muram akibat mendung menghitam. ”Kalau tidak berebut dan hanya diam, yang lapar akan kelaparan,” kata Sulistia.
Mau protes dan marah, tapi kami hanya warga kecil. Beruntung masih diberi selamat.
Tiada dapur umum yang didirikan di sekitar lokasi itu. Beberapa kali dilarang karena lokasinya berbahaya, warga tetap kembali dengan alasan dekat dengan rumah yang terendam banjir. Pada kolong jembatan, mereka bergantung hidup. ”Di sini, selain dapat makanan dari pengguna jalan, bisa sembari melihat rumah apakah banjir sudah surut atau belum,” kata Nyai, penjual sate maranggi keliling itu.
Selain berada di pinggir jalan, lokasi itu memang jauh dari layak. Tak ada sekat pembatas antarwarga. Debu jalan raya beterbangan menyesakkan dada. Ditambah udara lembab, lengkap sudah penderitaan mereka yang tidur beralas tikar. Bahkan, untuk membersihkan diri, sebagian bergantung mandi di tepi Sungai Cipunagara, salah satu pemicu banjir besar di Subang tahun ini.
Menurut Nyai, banjir kali ini terparah setelah kejadian yang sama enam tahun lalu. Saat itu, tinggi air mencapai 150 sentimeter. Ia enggan pindah meskipun daerahnya rawan banjir. ”Mau protes dan marah, tapi kami hanya warga kecil. Beruntung masih diberi selamat,” kata Nyai.
Banjir di Subang hanya secuil kejadian hal yang sama di Pantura Jabar. Di Kabupaten Karawang, hingga Rabu (26/2/2020), banjir melanda sejumlah desa di 26 kecamatan. Di Kecamatan Telukjambe Barat, misalnya, banjir hingga ketinggian 2 meter dipicu hujan deras dan luapan Sungai Cibeet. Sebanyak 1.367 keluarga dan 1.204 rumah terdampak banjir.
Banjir juga menerjang Kabupaten Indramayu dan Cirebon dengan ketinggian nyaris sama. Aktivitas warga terganggu. Jalur transportasi pun mati. Ironisnya, saat musim kemarau, daerah-daerah yang diharapkan jadi pusat pertumbuhan baru itu terdampak kekeringan.
”Panen” bencana
Data rekapitulasi bencana 2014-2019, Badan Penanggulangan Bencana Daerah Jabar mencatat 7.396 kejadian bencana. Tahun 2019 menjadi musim ”panen” bencana, sebanyak 2.057 kejadian. Tanah longsor menjadi yang terbanyak dengan 625 kejadian dan angin puting beliung (489 kejadian), serta banjir (164 kejadian). Sementara sejak awal 2020 hingga Februari, BPBD Jabar mencatat 57 kali kejadian bencana banjir serta 158 bencana longsor.
Longsor terjadi di 22 daerah rawan longsor di antaranya Kabupaten dan Kota Bogor, Kabupaten Majalengka, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Tasikmalaya, serta Kabupaten Garut. Adapun banjir terjadi di wilayah Jabar utara dan tengah antara lain Kabupaten dan Kota Bekasi, Kabupaten dan Kota Bandung, Kabupaten Subang, Kabupaten Karawang, hingga Kabupaten dan Kota Cirebon.
Terkait banjir, Stasiun Geofisika Bandung melaporkan bahwa puncak musim hujan di Jabar sudah terlewati sehingga curah hujan berkurang dan bersiap menyambut musim kemarau mulai Mei mendatang. Hidrolog Universitas Padjadjaran, Chay Asdak, mengatakan, banjir yang melanda wilayah pantura Jabar tidak hanya disebabkan tingginya curah hujan. Alih fungsi lahan dan buruknya perencanaan memperparah banjir di kawasan itu.
Di pantura, banyak sawah beralih fungsi menjadi permukiman, industri, dan infrastruktur lainnya seperti jalan tol. Imbasnya, daya dukung lingkungan melemah sehingga banjir semakin sering terjadi. Selain itu, drainase tidak berfungsi dengan baik sehingga menghambat membuat aliran air. ”Jadi, penyebab banjir di pantura merupakan kombinasi curah hujan tinggi, alih fungsi lahan, dan saluran air yang tidak optimal,” ujar Chay.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, sawah di Jabar pada 2015 seluas 912.794 hektar. Jumlah itu menyusut dibandingkan dengan 2005 seluas 925.900 hektar. Chay mengatakan, selain sebagai lahan pertanian, sawah juga berfungsi menjadi parkir air saat musim hujan. Karena luas sawah terus berkurang, tempat menampung air semakin sedikit sehingga memperbesar potensi banjir.
Jadi, penyebab banjir di pantura merupakan kombinasi curah hujan tinggi, alih fungsi lahan, dan saluran air yang tidak optimal.
Pembangunan infrastruktur, menurut Chay, seharusnya tidak mengabaikan potensi bencana. Oleh sebab itu, penyusunan rencana detail tata ruang (RDTR) wajib mempertimbangkan faktor hidrologi di sekitarnya. ”RDTR yang buruk berpotensi menyebabkan banjir. Jadi, harus direncanakan dengan baik tanpa menyampingkan dampak dari pemanfaat lahannya,” ujarnya.
Selain sebagai lahan pertanian, sawah juga berfungsi menjadi parkir air saat musim hujan. Alih fungsi lahan di bagian tengah Jabar juga memicu banjir di pantura. Sebab, sejumlah sungai yang mengalir ke pantura, seperti Cimanuk dan Citarum, berhulu di kawasan tersebut. ”Banjir di pantura akan semakin parah jika terjadi rob. Untuk mengatasi hal ini, perlu dibangun polder dan memaksimalkan penggunaan pompa,” ucapnya.
Normalisasi sungai
Gubernur Jabar Ridwan Kamil mengatakan, upaya untuk mengatasi banjir di pantura Jabar adalah dengan normalisasi sungai dan pembangunan sejumlah bendung. Banyaknya sampah dan sedimentasi menyebabkan pendangkalan di sungai sehingga tidak mampu menampung debit air.
Di Subang, solusi jangka panjangnya membangun Bendungan Sadawarna yang dianggap mampu mengendalikan debit air yang mengalir ke 12 kecamatan di wilayah Subang Utara. Sementara di Karawang akan dibangun tiga bendung, di Ciawi, Sukamahi, dan Cibeet.
Saat ragam rencana dibahas dalam rapat pemerintah, pasangan suami-istri, Daryoni (51) dan Istiqomah (51), warga Pamanukan, masih saja ditampar cemas. Bersama cucu yang baru berusia 10 hari, mereka tinggal di aula gereja. Hingga hari berganti, mereka belum bisa memejamkan mata.
”Semoga ini adalah banjir terakhir pada 2020. Jangan sampai harus mengungsi lagi dan merepotkan orang lain,” ujarnya, Kamis (27/2). Total ada 51 pengungsi di aula gereja itu. Tidur beralas tikar di lantai dingin. Tidur tak pernah nyenyak. Hampir setiap jam, selalu ada yang terbangun. Mulai dari membetulkan posisi tas yang berfungsi sebagai bantal hingga buang air di toilet yang minim air bersih.
”Tidak ada tempat senyaman rumah sendiri. Sulit tidur karena ingat rumah dan barang-barang, apakah airnya sudah surut atau belum,” ucap Sri Musola (44), pengungsi asal Desa Pamanukan Kota. Hal itu juga yang membuat Sri tak ingin berlama-lama di pengungsian. Saat pagi datang, ia langsung sudah berkemas tepat saat azan subuh berkumandang.
Dia mendengar air sudah surut di rumahnya. Sebelum pulang, dia dan pengungsi lain membersihkan tempat pengungsian dengan menyapu dan mengepel lantai aula rumah ibadah itu. ”Kami datang ke sini bersih, pulang juga harus bersih. Namun, tetap saja harapannya kami tidak kembali ke sini. Banjir harusnya cukup sampai tahun ini saja,” kata Sri.
Banjir relatif lebih mudah diprediksi ketimbang bencana alam lainnya. Banyak parameter yang bisa digunakan memprediksi kedatangannya. Namun, saat semua dianggap tak berguna, banjir akan selalu datang menjadi bencana bagi siapa saja di sekitarnya.