Bupati Waropen, Yermias Bisay ditetapkan sebagai tersangka dugaan gratifikasi dari 15 orang selama 10 tahun terakhir. Pemberi gratifikasi berlatar belakang anggota legislatif dan pengusaha.
Oleh
·3 menit baca
JAYAPURA, KOMPAS — Kejaksaan Tinggi Papua menetapkan Bupati Waropen Yermias Bisay sebagai tersangka. Yermias diduga menerima gratifikasi Rp 19 miliar dari 15 orang.
Asisten Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Papua Alexander Sinuraya mengungkapkan hal ini di Jayapura, Papua, Kamis (5/3/2020). Alexander mengatakan, pihaknya menetapkan Yermias sebagai tersangka berdasarkan keterangan 15 saksi pemberi gratifikasi dan bukti aliran dana dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Dari hasil penyidikan terungkap, Yermias diduga menerima gratifikasi dari 15 orang selama 10 tahun terakhir. Pemberi gratifikasi berlatar belakang anggota legislatif dan pengusaha. Sementara dari keterangan para saksi, Yermias diduga menerima gratifikasi dalam bentuk uang tunai ataupun lewat transfer ke rekeningnya berulang kali.
”Yermias diduga menerima gratifikasi Rp 19 miliar sejak menjabat wakil bupati hingga menjabat bupati di Waropen. Kami akan mendalami kepentingan di balik pemberian gratifikasi,” ujar Alexander. Ia menuturkan, Yermias dijerat dengan Pasal 12, Pasal 5, dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Terhadap penetapan status tersangka tersebut, juru bicara Yermias, Kaleb Vanen Berd Woisiri, menyesalkan langkah Kejati Papua. ”Seharusnya ada penundaan penanganan kasus tindak pidana korupsi bagi calon kepala daerah. Hal ini bertujuan agar penanganan kasus tidak dipolitisasi dan dimanfaatkan untuk menggagalkan pencalonan pihak tertentu dalam pilkada,” ucap Kaleb.
Pemkot Medan
Di Medan, Sumatera Utara, Wali Kota Medan (nonaktif) Dzulmi Eldin didakwa jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menerima suap Rp 2,15 miliar dari 24 kepala dinas dan direktur utama badan usaha milik daerah. Uang itu di antaranya membiayai dua anaknya yang ikut Dzulmi dalam kunjungan kerja ke Jepang dan biaya operasional lain yang tidak ditanggung APBD Kota Medan.
Dakwaan dibacakan jaksa KPK, Iskandar Marwanto, di hadapan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Medan yang diketuai Abdul Azis, di Medan, Sumatera Utara, Kamis. Dzulmi hadir mengenakan kemeja lengan panjang putih dan celana panjang hitam, didampingi delapan pengacara.
Iskandar mengatakan, Dzulmi mengumpulkan Rp 2,15 miliar dari para kepala dinas dan direktur utama BUMD sejak Juli 2018 hingga Oktober 2019 melalui Kepala Subbagian Protokol Pemkot Medan Samsul Fitri. Iskandar menjelaskan, pada Juli 2018, Dzulmi meminta Samsul mengumpulkan Rp 200 juta untuk menutupi biaya saat menghadiri kegiatan Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia di Kota Tarakan, Kalimantan Utara.
”Terdakwa memberikan arahan untuk meminta uang kepada pejabat eselon II dan dijawab, ’Siap, Pak’ oleh Samsul,” kata Iskandar. Di hadapan Dzulmi, Samsul membuat daftar nama kepala dinas dan direktur utama BUMD untuk dimintai uang total Rp 240 juta. Daftar itu pun disetujui Dzulmi. Namun, realisasinya, Samsul hanya mendapat uang Rp 120 juta dari enam kepala dinas dan Direktur Utama RSUD Pirngadi.
Jaksa mendakwa Dzulmi menerima hadiah atau janji yang bertentangan dengan jabatannya sebagaimana diatur dalam Pasal 12 Huruf A dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Atas dakwaan itu, tim pengacara Dzulmi, yang diketuai Junaidi Mantondang, menyatakan akan mengajukan eksepsi.
Perizinan rumah sakit
Sementara berkait perizinan, anggota Kepolisian Resor Bogor menetapkan dua aparatur sipil negara (ASN) Pemerintah Kabupaten Bogor, Jawa Barat, sebagai tersangka suap perizinan rumah sakit dan vila. Polisi menangkap keduanya pada Selasa (3/3).
Kepala Polres Bogor Ajun Komisaris Besar Roland Ronaldy, didampingi Kepala Satuan Reserse dan Kriminal Polres Bogor Ajun Komisaris Benny Cahyadi, di Bogor, Kamis, mengungkapkan, kedua tersangka adalah IR, Sekretaris Dinas Perumahan Kawasan Pemukiman dan Pertanahan (DPKPP) Kabupaten Bogor, dan FA, staf bidang reklame DPKPP.
Menurut Roland, kedua tersangka diduga meminta uang kepada pihak swasta untuk izin pembangunan rumah sakit di Cibinong dan vila di Cisarua. ”FA berperan membantu IR. Selebihnya nanti masih pengembangan dan butuh proses penyidikan lebih lanjut,” ujar Roland yang merupakan mantan penyidik KPK.