Dari pelosok Indramayu, pesisir Karawang, hingga pusat Kota Bandung, kalangan rentan terpapar virus korona mencoba mandiri. Mereka saling menjaga diri dari virus yang berpotensi mematikan meski semua tak selalu ideal.
Oleh
Abdullah Fikri Ashri/Melati Mewangi/Machradin Wahyudi R
·4 menit baca
Juwarih (39) menunjukkan 1.000 masker dalam dus yang siap dikirim ke Taiwan, Rabu (4/3/2020). Masker itu diharapkan mengurangi risiko pekerja migran asal Indramayu terinfeksi Covid-19 yang disebabkan virus korona baru.
Sebelumnya, 2.000 masker bantuan Pemerintah Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, sudah dikirim ke Hong Kong dan Singapura. Langkah itu merespons permintaan pekerja migran di Hong Kong yang mengabarkan sulitnya mendapatkan masker. Biaya pengiriman masker sekitar Rp 2 juta diperoleh dari iuran Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) dan pekerja migran asal Indramayu.
Jumlah itu kalah jauh dibandingkan dengan remitansi 23.360 pekerja migran Indramayu pada 2019 yang mencapai Rp 600 miliar. ”Pekerja migran yang tidak punya dokumen kependudukan dan asuransi kesehatan, informasinya, sulit dapat masker. Bahkan, tak banyak yang tahu kondisi mereka. Padahal, jumlahnya bisa seribuan orang. Semoga mereka bisa kita bantu,” lanjut Juwarih, yang juga Ketua SBMI Cabang Indramayu.
Sebagian pekerja migran kabur dari majikan dengan berbagai alasan hingga akhirnya mereka kerja serabutan di sana. Mereka ini yang sulit terpantau kesehatannya. Sebaliknya, kesehatan pekerja migran yang terdaftar bekerja untuk majikan bisa teridentifikasi. ”Istri saya, misalnya, dapat masker dari majikannya. Dia juga dilarang keluar rumah, apalagi ke keramaian,” kata Juwarih.
Jangan bicara penyakit sama nelayan. Lebih berat hidup di laut.
Akan tetapi, tidak semua daerah kantong pekerja migran peduli mengenai hal ini. Di Juntinyuat, Indramayu, kantong pekerja migran lainnya, tak tampak kewaspadaan terkait Covid-19. Jalan raya dari Juntinyuat ke pusat kota Indramayu justru disesaki spanduk orang-orang yang ingin jadi bupati. Kata warga, sangat jarang orang asing ke desa. Pekerja migran pun belum pulang dari luar negeri.
Sejumlah nelayan Pantai Pasir Putih, Karawang, juga terlihat tidak ambil pusing dengan Covid-19. ”Jangan bicara penyakit sama nelayan. Lebih berat hidup di laut,” ujar Salam (50), nelayan yang baru kembali setelah melaut 15 hari. Beberapa nelayan lain mengangguk sepakat meski belum tahu apa itu korona. ”Korona sama dengan meriang, kan?” tanya salah satu dari mereka. Bagi Salam, kandungan protein ikan laut menjadi benteng pertahanan dari terpaan angin kencang dan dingin malam.
Ikan itu dimasak bumbu kuning kaya rempah dan disantap bersama nasi dan sayur. Masker atau gel antiseptik tak masuk daftar yang harus dibawa. Namun, nelayan tetap bisa sakit. Apalagi, mereka kerap berjumpa dengan nelayan dari negara asing ketika menjaring ikan di perairan Kalimantan dan Sulawesi. ”Kalau sakit, makan banyak ikan supaya cepat sembuh dan serahkan kepada Tuhan,” kata Salam.
Pertahanan lansia
Di Pondok Lansia Tulus Kasih, Bandung, kemandirian mencegah Covid-19 tumbuh saat usia penghuninya tak lagi muda. Mindani (73) kini semakin rajin menjaga ketahanan dan kebersihan tubuh. Pada Rabu siang, dia telaten mencuci tangan dengan sabun sekitar 3 menit. Sela jari tak luput dari gelembung sabun. Petugas pondok, mahasiswa, dan pelajar yang sering berkunjung kerap memberikan tata cara mencuci tangan kepada 28 penghuni pondok.
Setiap pagi, penghuni pondok senam pagi bersama-sama dan berjemur. Pola istirahat pun dijaga agar tidak ada yang kelelahan. Pengelola juga menyediakan makanan bergizi dan jus buah. Menurut Ergina Veterani, pengelola Pondok Lansia Tulus Kasih, semua itu dilakukan karena lansia rentan terpapar penyakit menular. Apalagi, sejak awal tahun 2020 dunia dihebohkan korona.
Laporan jurnal berjudul ”Characteristics of and Important Lessons From the Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) Outbreak in China Summary of a Report of 72.314 Cases from The Chinese Center for Disease Control and Prevention” menguatkannya. Di sana ditulis, per 11 Februari 2020, dari 44.672 kasus positif Covid-19 yang telah dikonfirmasi, 87 persen terjadi pada rentang umur 30-79 tahun.
Dalam Journal of American Medical Association disebutkan, pasien berumur lebih dari 80 tahun memiliki kasus kematian hingga 14,8 persen. Merujuk hal itu, Pondok Lansia Tulus Kasih untuk sementara menutup kunjungan dari tamu luar negeri. Padahal, sebelumnya, tamu dari sejumlah negara datang serta berbagi ilmu tentang perawatan dan penanganan lansia.
”Kalau pihak keluarga, kami tidak membatasi. Namun, kami selalu mengingatkan, keluarga pengunjung harus memastikan kesehatannya sebelum ke sini,” ucap Ergina. Kemauan kalangan rentan menjaga diri patut diapresiasi. Namun, mereka tidak bisa dibiarkan sendiri. Pemerintah harus jadi nakhoda piawai untuk melewati badai ini.
Kusniati (40), pekerja Indramayu yang kini ada di Taiwan, saat dihubungi, menceritakan ketatnya penanganan pemerintah setempat. Pengumuman mengenakan masker saat keluar rumah lalu mandi dan mengganti baju saat tiba di rumah terus terngiang. Mereka juga diminta segera ke dokter jika flu, batuk, dan demam. ”Setiap orang mendapat jatah dua masker gratis per minggu. Cairan pencuci tangan juga gratis,” ujarnya.
Hati Juwarih lega saat mendengar cara penanganan kasus Covid-19 di Taiwan. Ia justru khawatir saat istrinya pulang ke Indonesia, Mei mendatang. Mitigasi hingga langkah penanganan virus Covid-19 jelas membutuhkan inisiatif kuat. Tidak cukup mengandalkan kemandirian warga, semuanya membutuhkan perencanaan matang negara.