Menanggul ”Angin” di Tanggulangin
Sepanjang usia 90 tahun, industri kulit Tanggulangin mengalami perjalanan penuh warna karena berkali-kali dihantam ”angin kencang”. Agar tidak tumbang, perajin berjuang ”menanggul” angin dengan strategi beragam.
Berkembang sejak sebelum Indonesia merdeka, industri kerajinan tas koper kulit Tanggulangin di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, punya andil membangun ekonomi lokal dan nasional. Kini, industri rakyat ini kerap mengalami turbulensi. Beragam upaya menanggul ”angin” pun dikerahkan demi eksistensi usaha. Setiap jatuh, selalu bangun lagi.
Tanggulangin sejatinya nama sebuah kecamatan di Sidoarjo bagian selatan. Dikisahkan, nama Tanggulangin berasal dari satu pohon besar di sana, yang dipercayai warga mampu menanggul atau menahan tiupan angin kencang sehingga kawasan ini terbebas dari bencana. Kecamatan Tanggulangin memiliki 19 desa/kelurahan dengan produk unggulan kerajinan tas koper berbahan kulit.
Jumlah perajinnya ribuan orang yang bernaung di 350-an rumah produksi. Mayoritas tersebar di Desa Kludan dan Kendensari. Ada pula perajin di Desa Kalitengah, Boro, dan Kalisampurno. Geografis Tanggulangin yang berupa dataran rendah mendorong mayoritas penduduknya bertani. Kerajinan kulit dengan produksi tas koper baru berkembang era 1930-an.
Baca juga : Industri Penyamakan Kulit Hadapi Tantangan
Versi lain menyebut 1939. Usaha ini dimotori sejumlah pekerja lepas di pabrik tas koper di Surabaya yang ingin berdikari. Bermodal pengalaman kerja di pabrik, mereka memproduksi tas sendiri dan menjual langsung ke pembeli. Tak disangka, produk mereka dapat apresiasi tinggi. Produk Tanggulangin dikenal bahannya berkualitas, desain menarik, dan pekerjaan tangan yang rapi.
Dari para pembeli inilah produk Tanggulangin terkenal luas. Seiring waktu, jumlah perajin bertambah. Perajin senior banyak yang mendirikan usaha sendiri. Demi menjembatani kepentingan yang beragam, dibentuk Koperasi Industri Tas dan Koper (Intako) Tanggulangin pada 1976. ”Dalam wadah inilah, perajin dipersatukan agar mereka tidak mudah dipermainkan pedagang. Harga jual produk jadi lebih stabil karena persaingan usahanya lebih sehat,” ujar perajin yang juga mantan Ketua Koperasi Intako, Airnur Rofiq.
Jumlah anggota koperasi saat ini lebih dari 300 pengusaha. Yang belum bergabung dengan koperasi masih banyak. Satu pengusaha mempekerjakan minimal 10 pekerja. Perputaran uang di sentra industri Tanggulangin minimal Rp 20 miliar per bulan. Nilai itu tergolong besar untuk sebuah sentra industri rakyat. Para perajin tak lagi mengandalkan pembelian eceran.
Mereka menerima pemesanan dalam partai besar dari para pedagang di Surabaya dan Jakarta hingga luar pulau seperti Kalimantan dan Sumatera. Memang tak ada catatan pasti jumlah produksi dan nilai transaksi karena mayoritas perajin mengelola usaha secara tradisional. Namun, data Koperasi Intako, dalam rentang 1986-2000, mereka dapat kontrak membuat tas dan koper jemaah haji Indonesia.
Tas kulit asli sulit diproduksi massal karena dikerjakan secara manual, butuh keahlian khusus, ketelitian, dan modal besar.
Sejak 1997 hingga sekarang, Intako dipercaya memproduksi koper untuk alat musik saksofon dan terompet dari perusahaan alat musik di Jepang. Koper itu diekspor ke Amerika Serikat. Perajin anggota koperasi juga banyak mengerjakan pesanan dari Timor Leste, Australia, dan Italia.
Perajin di Tanggulangin tak hanya terampil menggarap kulit asli, tetapi juga kulit sintetis. Bahkan, perajin kulit sintetis mendominasi, sekitar 80 persen. ”Kemampuan produksi perajin tas berbahan sintetis lebih dari 5.000 tas per hari karena dibantu mesin dalam produksinya. Bahan kulit sintetis lebih mudah diolah dan harganya murah sehingga tidak masalah jika dalam proses produksi ada yang rusak,” ujar Rofiq.
Sebaliknya, kemampuan produksi tas kulit asli masih rendah, 200-500 tas per hari. Tas kulit asli sulit diproduksi massal karena dikerjakan secara manual, butuh keahlian khusus, ketelitian, dan modal besar. Harga bahan kulit yang mahal membuat perajin tidak boleh salah dalam pengerjaannya.
Turbulensi tiada henti
Sepanjang usianya 80-90 tahun, industri kulit Tanggulangin mengalami perjalanan penuh warna karena berkali-kali dihantam ”angin kencang”. Mulai dari krisis moneter 1998, krisis ekonomi 2003-2004, semburan lumpur Lapindo 2006, serbuan tas murah dari China, dan krisis ekonomi global, hingga gelombang revolusi industri 4.0.
Akibat hantaman itu, sentra industri Tanggulangin pun mengalami turbulensi. Agar tidak tumbang, perajin berjuang ”menanggul” angin dengan strategi beragam. Pemerintah daerah hingga pemerintah pusat turun tangan. Baru-baru ini, aneka produk kerajinan berbahan kulit, seperti tas wanita, dompet, jaket, ikat pinggang, hingga tas koper dipamerkan di Sidoarjo Industrial Expo 2020 di Lapangan Kedensari, Tanggulangin, Kamis (20/2/2020).
Pada saat yang sama, sejumlah tarian lokal seperti Tari Banjar Kemuning ditampilkan sebagai hiburan. Lapangan yang dulu becek saat hujan dan berdebu saat kemarau panjang, kini menjadi taman budaya yang lebih terawat. Selain ruang pamer bagi beragam produk kerajinan unggulan, taman yang bersih, rapi, dan dipercantik taman bunga beraneka warna itu juga menjadi pusat edukasi dan pengenalan budaya lokal.
Transformasi lapangan desa jadi taman budaya merupakan upaya menanggul ”angin”. Kali ini, angin yang dihadapi adalah revolusi industri 4.0 yang berembus kencang. Taman budaya menjadi bagian dari upaya mengubah sentra industri kulit Tanggulangin menjadi destinasi wisata karena publik tengah menggandrungi hal-hal berbau wisata.
Ada tiga destinasi wisata ditawarkan Tanggulangin. Wisata belanja, wisata budaya, dan wisata pendidikan atau edukasi. Wisata belanja untuk membangkitkan kembali kejayaan sentra industri kulit tas dan koper. Kerajinan sejak sebelum kemerdekaan ini punya nilai sejarah dan sosial, selain ekonomi.
Wisata budaya bertujuan mengenalkan budaya lokal di Tanggulangin, khususnya, dan Jatim pada umumnya sebagai sarana edukasi ataupun hiburan. Adapun wisata pendidikan lebih difokuskan pada workshop produksi tas koper kulit, perjalanan sentra industri Tanggulangin, dan pameran koleksi tas zaman dulu hingga model terbaru.
Bertambahnya obyek wisata di Tanggulangin diharap meningkatkan citra, menarik lebih banyak pengunjung, dan membuat mereka lebih betah. Kementerian Perindustrian mengucurkan Rp 9 miliar di 2019 dan Rp 3 miliar (2020).
Perajin berinovasi
Di tengah upaya pemerintah mengubah wajah Tanggulangin, perajin pun berbenah. Mereka berinovasi menghasilkan produk yang mampu menjawab perkembangan selera pasar, seperti dilakukan Hadi Suratno (48), perajin dari Dusun Wates, Desa Kedensari. Dengan bangga, ia memamerkan aneka tas wanita berbahan kulit yang dipercantik ukiran dan lukisan produk terbarunya.
Demi model tersebut, Hadi memadukan tiga teknik kerajinan sekaligus. Teknik kerajinan kulit, ukir, dan lukis. Untuk kerajinan kulit, kemampuan perajin Tanggulangin tak perlu diragukan karena mereka belajar sejak kecil. ”Namun, untuk kemampuan mengukir di atas kulit, saya harus belajar ke perajin di Yogyakarta,” ujar Hadi.
Ia sadar, selera pasar sangat dinamis. Untuk itu, perajin harus senantiasa berinovasi. Sebelum membuat produk tas kulit ukir berhias lukisan itu, ia buat tas kulit dipadukan batik tulis dan batik lukis. Produknya sempat booming sebelum selera konsumen berputar arah. Demi menghasilkan batik tulis bermutu, Hadi harus belajar ke pembatik atau bekerja sama dengan pembatik.
Tak perlu pergi jauh, sebab di Sidoarjo banyak sentra batik tulis, salah satunya di Kelurahan Jetis. Tinggal bagaimana mewujudkan inovasi dan kreasi baru. Inovasi produk jadi keniscayaan perajin, meskipun mereka pandai mengamati produk lain, meniru, dan memodifikasinya. Pada awal berdirinya sentra industri tas koper kulit Tanggulangin, produk yang dihasilkan hanya tas koper, baru merambah tas wanita yang perkembangan modenya paling dinamis.
Saat ini, varian produknya kian banyak, seperti dompet, jaket, ikat pinggang, tas golf, tas alat musik, tas kerja, hingga suvenir. Sandal, sepatu, dan topi juga diproduksi. Namun, hal itu ternyata belum cukup. Perajin yang juga Ketua Koperasi Intako Mahbub Junaedi mengatakan, pelaku usaha harus meningkatkan kemampuan sumber daya manusianya, membuat rencana kerja jangka panjang, menyusun manajemen keuangan yang layak dan strategi memenangkan persaingan.
Sebelum tahun 2015, mayoritas produk yang dipajang di gerai-gerai koperasi maupun perorangan adalah produk tiruan merek global. Masih minim perajin yang memproduksi barang dengan merek sendiri, karena khawatir tidak laku. Baru belakangan, perajin Tanggulangin membuat merek sendiri dan percaya diri memasarkan. Kesadaran itu muncul setelah gencar sosialisasi larangan menggunakan merek lain karena melanggar hak cipta dan bisa diproses hukum.
Pengalaman adalah guru
Pengalaman menghadapi beragam terpaan ”angin kencan” jadi guru bagi perajin. Saat krisis moneter dan krisis ekonomi, misalnya, para perajin relatif mudah mengatasi turbulensi penurunan daya beli. Itu karena perajin mengandalkan modal sendiri sehingga tak terpengaruh suku bunga perbankan. Mereka juga menggunakan bahan baku lokal sehingga tak terdampak kenaikan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS.
Turbulensi terbesar saat lumpur panas menyembur di Porong. Meski lokasi sentra industri tak terendam, aksesnya terdampak. Utamanya akses wisatawan dari Malang yang biasa singgah membeli kerajinan Tanggulangin. Tol Surabaya-Malang ruas Porong-Gempol terendam lumpur. Ratusan bus pariwisata yang biasanya berlalu lalang mendadak hilang meninggalkan kesunyian di lapak para pedagang.
Transaksi belanja yang biasanya ramai mendadak sepi, memutus nadi ekonomi perajin. Perputaran uang yang pernah menyentuh Rp 20 miliar per bulan pun seret, nyaris berhenti. Perajin di Tanggulangin benar-benar terpukul. Ratusan gerai di sepanjang Jalan Raya Kludan hingga Kedensari mati suri. Sebagian gerai dijual.
Tak ingin terus terpuruk, perajin berupaya bangkit. Dengan sisa dana, mereka mencari terobosan pemasaran. Jika dulu menunggu, strategi diganti jadi mendatangi pembeli. Mahbub Junaedi mengatakan, para perajin membawa produknya dari satu kota ke kota lain. Bahkan, luar pulau.
Mereka patungan meringankan biaya transportasi. Tujuannya tak semata jual produk, tetapi mengabarkan kepada masyarakat bahwa industri tas koper Tanggulangin masih eksis. Pada kondisi seperti itu, perajin sadar mereka harus bersatu, bahu-membahu, dan menguatkan peran koperasi. Jika bukan mereka, siapa lagi yang membangkitkan Tanggulangin dari keterpurukan?
Atas segala usaha itu, Tanggulangin bangkit. Namun, angin kencang kembali datang. Salah satunya gempuran tas murah dari China. Sebagian perajin sempat berhenti produksi, beralih jadi penjual barang dari China. Gerai yang dulu dipenuhi produk Tanggulangin berubah jadi ruang pamer produk China. Pengunjung kecewa. Kekecewaan itu jadi pelajaran berharga bagi perajin.
Mereka akhirnya sadar, produk Tanggulangin masih dinanti pembeli. Mengembalikan kejayaan industri Tanggulangin memang tak semudah membalik telapak tangan. Apalagi jika badai kerap datang. Namun, kerja keras dan inovasi membuat sentra industri kerajinan rakyat ini tak sebatas eksis, tetapi berkembang melintasi zaman.