Situs Masa Lalu di Lahan Bandara Kediri Akan Dikaji
Petirtaan di masa Kerajaan Kediri diharapkan tak dihilangkan saat Bandara Kediri dibangun. Petirtaan itu bahkan bisa menjadi daya tarik Bandara Kediri.
Oleh
DEFRI WERDIONO
·3 menit baca
KEDIRI, KOMPAS — Situs arkeologi di lahan calon Bandara Kediri di Desa Grogol, Kecamatan Grogol, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, akan dikaji. Situs berupa struktur batu bata yang diperkirakan petirtaan di masa Kerajaan Kediri itu mesti dilestarikan, tidak hilang oleh pembangunan bandara.
Arkeolog Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Timur, Nugroho Harjo Lukito, Jumat (6/3/2020), mengatakan, pihaknya telah bertemu tim konsultan dari pihak investor mengenai tindak lanjut keberadaan situs yang belum memiliki nama itu. Seperti diketahui, Bandara Kediri dibangun oleh PT Gudang Garam dan menjadi salah satu proyek strategis nasional.
”Kemarin dengan konsultan perusahaan akan diupayakan untuk dikonsultasikan ke pihak Gudang Garam guna dilakukan kajian, ekskavasi pada struktur itu agar lebih jelas. Untuk menampakkan lebih jelas (bentuk fisik situs), potensinya seperti apa,” kata Nugroho di Mojokerto saat dihubungi dari Malang.
Situs yang berjarak sekitar 300 meter dari permukiman itu diperkirakan merupakan saluran air pada zaman dulu yang kemudian menjadi petirtaan. Di bagian ujungnya menyerupai bilik separuh dengan dinding penyekat di sisi kanan dan kiri. Di bagian depan situs terdapat reruntuhan tanah dan batu.
Melihat ukuran dimensi batu bata penyusunnya, situs di Grogol identik dengan situs lain di wilayah Kediri, seperti situs di Wates, Gurah, maupun petirtaan di lereng sisi timur Gunung Klotok.
Menurut Nugroho, di tempat itu terdapat dua struktur bangunan masa lalu. Salah satu struktur berbentuk kecil memanjang. Struktur ini tidak bisa diidentifikasi lagi sehingga skala nilai pelestariannya kecil. Sementara struktur lainnya berukuran cukup besar sehingga masih bisa dilestarikan (dipertahankan).
Dilihat dari lokasinya, situs yang berada di tepi Sungai Jumblengan itu sebenarnya berada di pinggir lahan bandara. Di seberang sungai terdapat permukiman masyarakat yang tidak terkena proyek pembebasan lahan.
”Karena di tepi lahan, kemungkinan besar dia (situs) tidak tergusur oleh landas pacu (runway) atau bangunan utama bandara lainnya. Justru keberadaan Sungai Jumblengan ikut membantu. Bandara membutuhkan sungai itu sebagai drainase air,” ucapnya.
Disinggung kemungkinan potensi adanya situs lain di kawasan itu, Nugroho mengatakan sejauh ini belum ada data. BPCB Jawa Timur belum pernah mengeksplorasi kawasan di lereng timur laut Gunung Klotok tersebut.
Sejarawan dari Universitas Negeri Malang, M Dwi Cahyono, yang juga telah melihat keberadaan situs tersebut, mengatakan, konsentrasi temuan batu bata ada di sekitar aliran Sungai Jumblengan. Area sebaran yang lain—karena wilayah bandara luas—belum diketahui.
”Memang sempat dicek di sekitar lokasi landas pacu, bukan struktur, tetapi seperti serpihan gerabah kecil. Itu juga belum pasti serpihan yang terbawa air atau bagaimana, belum jelas. Jadi konsentrasi sementara (situs) masih di sekitar sungai itu saja,” ujarnya.
Lokasi situs, menurut Dwi, berada di dekat gedung terminal bandara sehingga posisinya relatif aman dan tidak terusik oleh bangunan lain. Meski begitu, keberadaannya perlu dilindungi, diekskavasi, dan kalau perlu dipugar untuk pelestarian.
”Karena berada di dekat terminal, situs itu sebenarnya bisa menjadi ’bonus’ semacam ’taman’ bagi penumpang yang ingin melihat sejarah dan jejak budaya masa lampau nantinya,” ujarnya.
Bandara Kediri akan dibangun mulai April 2020. Sebelumnya, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengatakan pembangunan bandara ini ditargetkan selesai dalam waktu dua tahun sehingga 2022 sudah bisa digunakan.
Budi Karya menyampaikan hal itu seusai rapat bersama Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono, Sekretaris Kabinet Pramono Anung, pemerintah daerah, dan PT Gudang Garam di Kediri, 15 Februari lalu.
Total luas lahan yang telah dibebaskan mencapai 390 hektar di empat desa di tiga kecamatan, yakni Kecamatan Banyakan, Grogol, dan Tarokan. Sisa tanah seluas 1,5 hektar (0,6 persen) diselesaikan melalui konsinyasi. Bandara yang dibangun dengan dana Rp 10 triliun ini diperkirakan mampu mengangkut 2,5 juta orang pada pembangunan tahap I dan 9 juta-10 juta orang pada tahap II.