Berjuang Melawan Bisa Ular Mematikan
Gigitan ular membuat Adila tidak sadarkan diri berhari-hari dan akhirnya ”tidur” untuk selamanya. Pengalaman meliput kasus ini menyadarkan saya tentang pentingnya pengetahuan tentang penanganan gigitan ular yang tepat.
Gigitan ular membuat Adila tidak sadarkan diri berhari-hari dan akhirnya ”tidur” selamanya. Anak perempuan berusia empat tahun itu tak sanggup melawan bisa ular mematikan. Kepergiannya memberikan pelajaran berharga: kuatnya solidaritas di tengah lemahnya pengetahuan tentang masalah tersebut.
Pesan permintaan donor darah golongan B muncul di grup Whatsapp (WA) ibu-ibu sebuah perumahan di Pegambiran, Kota Cirebon, Jawa Barat, Minggu (9/2/2020) pagi. Istri saya salah satu anggotanya. Pesan berasal dari Mutiara, tetangga kami.
Mutiara mengabarkan, anak asisten rumah tangganya yang bernama Adila dipatok ular sehingga kondisinya kritis. Istri saya lalu meneruskan pesan tersebut kepada saya untuk disebar ke grup WA yang berisi para jurnalis. Harapannya, semakin banyak donor.
Beruntung, kebutuhan darah Adila segera terpenuhi berkat bantuan sejumlah donor. ”Alhamdulillah, yang mau donor sudah dapat, bahkan berlebih,” tulis Mutiara dalam pesan WA.
Akan tetapi, masalah belum usai. Adila yang masih koma ternyata tidak terdaftar sebagai peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Artinya, biaya pengobatan dan perawatannya tidak ditanggung pemerintah. Padahal, orangtuanya, Rusmiati (24) dan Mukmin (27), hanyalah asisten rumah tangga dan buruh bangunan.
Mutiara berencana membuka donasi untuk Adila dan sementara waktu menanggung kebutuhan harian keluarga Rusmiati. Saya lalu meminta izin agar keluarga Adila berkenan diwawancara media setempat dan nasional.
Harapannya, semakin banyak pemberitaan tentangnya dapat menggugah kemurahan hati donatur. Dalam kasus ini, wartawan tidak perlu pelit informasi demi eksklusivitas. Sisi eksklusif justru terletak pada cara penulisan, kelengkapan narasumber, dan kedalaman informasi. Akan tetapi, Rusmiati dan suaminya belum bersedia.
Mereka masih kalut dengan petaka yang menimpa anak satu-satunya itu. Adila dipatuk ular pada Jumat (7/2/2020) sekitar pukul 23.30 di rumahnya yang berlokasi di Desa Pamengkang, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon.
Ayam dalam rumah
Berjarak sekitar 13 kilometer dari pusat pemerintahan Kabupaten Cirebon, bangunan rumah Adila hanya berdinding bata dan semen tanpa acian. Spanduk bekas mengelilingi dinding kamar Adila.
Baca juga: Momen Wartawan Pindah Kota yang Penuh Kisah
Lantai kamar berupa tanah dan semen. Di atasnya terhampar kasur tanpa alas dipan. Di depan kamar, seekor ayam terkurung dalam kandang. Kayu bakar menumpuk di sekitarnya. Belakang rumahnya masih berupa kebun dan rerimbunan pohon bambu.
Di pengujung malam itu, Rusmiati dan suami terbangun mendengar tangisan Adila. Tak dinyana, ular berwarna belang-belang hitam dengan bagian bawah tubuh berwarna krem menempel di betis Adila. Setelah ular disingkirkan dan dibunuh, Rusmiati menimang anaknya yang menangis histeris tiada henti.
Ternyata setelah setengah jam, ia menemukan darah bekas gigitan ular bercucuran dari tumit kaki Adila. Keluarga pun langsung mengikat bagian mata kaki Adila dengan harapan racun tidak menjalar ke bagian tubuh lainnya.
Sabtu (8/2/2020) dini hari, di bawah guyuran hujan deras dan genangan air, korban dibawa ke RS Putera Bahagia menggunakan sepeda motor. Korban sempat muntah. Dinilai gawat, dokter yang memeriksa langsung merujuk Adila ke RSUD Gunung Jati. Kondisinya sesak napas dan kritis.
”Sebelum digigit, kakak dan suami saya sempat melihat ular itu di depan dan belakang rumah beberapa hari lalu, tetapi enggak dibunuh,” kata Rusmiati yang tak tahu ular itu berbisa atau tidak.
Penasaran dengan penyebab Adila tak sadarkan diri, Mutiara lalu mengirim foto ular tersebut kepada Slamet, tetangganya yang juga pencinta hewan melata itu. ”Ini ular jenis weling (Bungarus candidus), berbisa,” kata Slamet.
Baca juga: Sensasi Meliput Balap Motor Dunia
Lewat jejaringnya, Slamet menghubungi Tri Maharani, Review Adviser WHO Snakebite Envenoming Working Group. Kepala IGD RS Umum Daha Husada, Kediri, Jawa Timur, itu pun segera ke Cirebon meskipun sedang cuti.
Selasa (11/2/2020) siang, dokter Maha, sapaannya, meninjau rumah Adila sekaligus memberikan sosialisasi kepada warga setempat dan dokter fungsional di berbagai puskesmas terkait pencegahan dan penanganan kasus gigitan ular. Penanganan pertama Adila dengan mengikat dan mengisap darah di lokasi bekas gigitan ternyata tidak tepat.
Seharusnya dilakukan imobilisasi, yakni membuat seluruh bagian kaki yang tergigit tidak bergerak. Caranya, seperti menangani kaki patah. Bisa ular akan cepat menyebar jika bagian tubuh yang digigit bergerak. Setelah itu, korban harus dibawa ke fasilitas kesehatan terdekat.
”Di Cirebon, sejak 2016, sekitar 10 orang meninggal karena gigitan ular berbisa. Jumlah ini bisa lebih besar karena banyak dari korban malah datang ke dukun,” katanya.
Padahal, serum antibisa ular atau SABU bergantung pada jenis ular yang menggigit. Kasus gigitan ular pada Adila, misalnya, diduga kuat merupakan Bungarus candidus khusus Cirebon.
”Hasil uji laboratorium, pembekuan darahnya normal, tetapi trombositnya menurun. Biasanya, Bungarus candidus menyerang saraf dan akhirnya gagal pernapasan. Untuk riset venom-nya (bisa) belum ada di Indonesia, bahkan di dunia,” katanya.
Baca juga: Mengejar WNI dari Wuhan
Menurut dia, kasus Adila bisa menjadi jalan masuk untuk riset baru terkait satwa melata itu. Dengan demikian, SABU bisa dikembangkan. Seperti diketahui, harga serum antibisa ular bisa mencapai Rp 150 juta di luar negeri!
Biaya puluhan juta
Sayangnya, pendidikan terhadap penanganan gigitan ular masih rendah karena pemerintah belum menjadikan kasus tersebut sebagai program prioritas, seperti stunting atau demam berdarah dengue.
Saya pribadi baru sekarang ini tahu tentang penanganan pertama gigitan ular. Berbeda dengan pengetahuan soal stunting yang kerap didengungkan untuk mencapai bonus demografi 2045. Hingga kini, belum ada regulasi khusus tentang penanganan gigitan ular.
Padahal, golden period atau waktu emas penanganan gigitan ular hanya hitungan menit, bahkan detik. Jika penanganannya salah, matilah korban. Tahun lalu saja, menurut dokter Maha, pihaknya mendata 130.000 kasus gigitan ular dengan kematian mencapai 54 orang. Bulan lalu, tercatat 7 orang tewas akibat gigitan ular.
Sementara golden period kematian yang bersumber dari virus atau bakteri bisa berhari-hari, bahkan bertahun-tahun. ”Imunitas kita itu bisa kebal terhadap bakteri dan virus, tetapi tidak pada gigitan ular,” ungkapnya.
Itu sebabnya, negara seperti Thailand dan Taiwan memberikan perhatian besar terhadap kasus gigitan ular. Tidak sekadar mendanai risetnya, mereka juga mengedukasi warga.
Baca juga: Dilumat Ombak hingga Tersesat di Surga Kecil yang Jatuh ke Bumi
”Di Thailand, ada 25 jenis ular berbisa dengan 7.000 kasus per tahun dan tidak ada kematian sejak 2016. Sementara di Indonesia, ada 77 jenis ular berbisa, tetapi belum jadi program prioritas,” ungkapnya.
Akibatnya, masih banyak kasus seperti yang menimpa Adila. Sejak Adila dirawat di rumah sakit, orangtuanya memimpikan ia kembali sadar dan alat bantu pernapasan serta berbagai monitor detak jantung dilepas dari tubuhnya. Keduanya juga masih pusing bagaimana cara melunasi biaya perawatan Adila yang sudah lebih dari Rp 37 juta.
Saya kembali mendorong Rusmiati dan suami berkenan diwawancara media. Keduanya kemudian menyetujui dengan catatan tidak banyak wartawan. Selain takut salah ngomong, mereka juga masih trauma karena beberapa komunitas sempat masuk ke ruang perawatan anak intensif dan memotret wajah Adila.
”Padahal, mereka enggak izin dan langsung masuk ruangan. Katanya, fotonya mau disebarkan untuk donasi,” ujarnya.
Saya pun meyakinkan, wartawan tidak akan mengambil foto Adila seperti yang tersebar di media sosial entah oleh siapa.
Setelah diliput media setempat dan nasional pada Rabu pagi, kasus Adila mewarnai sejumlah layar kaca stasiun televisi. Rabu petang, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Cirebon Eni Suhaeni berjanji pemda akan menanggung biaya perawatan dan pengobatan Adila.
Baca juga: Mendadak Natuna
Mendengar hal itu, Mutiara dan Rusmiati sujud syukur. Paling tidak, beban pikirannya tentang biaya Adila berkurang. Rusmiati sendiri belum berani pulang ke rumah akibat trauma. Lantai dingin rumah sakit yang beralas tikar menjadi tempat istirahatnya.
Sayangnya, kebahagiaan sejenak Rusmiati berganti duka beberapa jam kemudian. Sekitar pukul 20.30, Adila yang tidak sadarkan diri selama lima hari ”tidur” selamanya. Hujan deras malam itu seakan menandai kesedihan Rusmiati dan Mukmin. Bisa ular membuatnya tidak bisa berbuat apa-apa.
Mutiara dan suaminya mengajak saya dan istri menengok Adila dan keluarga di rumah sakit. Kami berenam, termasuk dua anak yang berusia dua tahun, menembus malam. Saat keluar kompleks, melalui cahaya lampu mobil, ular sebesar jari kelingking orang dewasa dengan panjang sekitar 20 sentimeter melintas.
Ular itu lalu menghilang di rerumputan. Kami bergegas menemui Rusmiati yang beberapa kali terduduk lesu. Kantong matanya menghitam sembab dikuras air mata. Kami hanya diam sambil mengurus administrasi ambulans pengantar jenazah Adila.
Di rumahnya, tenda dan kursi sudah terpasang. Lantunan ayat suci Al Quran terdengar. Setelah kepergian Adila, ayam masih tampak di depan kamarnya. Batang kayu yang dapat menjadi tempat persembunyian ular pun masih menumpuk di depan dan belakang rumah Rusmiati. Orangtua Adila tidak punya waktu membersihkannya. Mereka malah masih pusing mencari kain kafan hingga Kamis dini hari.
Setelah pemakaman Adila pagi hari, Romi, suami Mutiara, memberikan sejumlah uang kepada warga setempat untuk membersihkan tempat-tempat yang berpotensi menjadi tempat persembunyian ular di sekitar rumah Adila dan lingkungan mereka. Jangan sampai muncul korban baru.
Baca juga: Menyaksikan Letusan Krakatau dari Ketinggian
Sementara Kuwu (Kepala Desa) Pamengkang meminta warga bergotong royong menjaga kebersihan lingkungan. Namun, ia mengakui, berdirinya sekitar 11 perumahan di desanya turut memicu berkurangnya habitat ular.
”Kalau ada yang kena gigitan ular atau kalajengking, di sini ada orang yang bisa menyembuhkan pakai batu. Nanti, bisa ular keluar dan menempel di batu,” katanya.
Hm, sepertinya perjuangan menyebarkan pengetahuan tentang penanganan gigitan ular masih panjang.