Konflik Berujung Kebun di Sekolah
Konflik agraria antara Pemerintah Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat, dengan ahli waris pemilik tanah berimbas kepada warga sekolah dalam lima bulan terakhir.
Konflik agraria antara Pemerintah Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat, dengan ahli waris pemilik tanah berimbas kepada warga sekolah dalam lima bulan terakhir. Penyelesaian masalah perlu disegerakan agar siswa dan guru —yang tidak tahu-menahu dengan masalah itu—tidak menjadi korban berlarut-larut.
Jam istirahat sekolah bukan waktu yang sama lagi bagi Heruki (9) dan teman-teman sekolahnya. Mereka tidak bisa lagi berlarian mengejar bola saat jam istirahat sekolah. Lapangan di halaman sekolah, tempat mereka biasa bermain, telah berubah menjadi kebun dadakan. Ada pohon pisang, ketela pohon, dan batang kelapa sejak lima bulan lalu.
”Kami ingin kondisi sekolah kembali seperti dulu. Rindu main sepak bola di halaman. Sekarang sempit, tidak nyaman, tidak ada tempat bermain,” kata Heruki, siswa kelas III SD 10 Patamuan, Nagari Tandikek Selatan, Kecamatan Patamuan, Kabupaten Padang Pariaman, Rabu (26/2/2020).
Siang itu, Heruki dan beberapa temannya hanya bermain sepeda. Mereka berkeliling lapangan bulu tangkis yang dicor semen. Hanya lapangan ini yang tak dapat ditanami ahli waris tanah dalam melangsungkan protes.
Saya tak nyaman melihat kondisi sekolah seperti sekarang.
Zulaikha Queen Khaira (11), siswa kelas V, juga merasa tidak nyaman dengan kondisi sekolah saat ini. Selain tidak bisa bermain di halaman, Queen dan kawan-kawan juga tak dapat mengikuti pelajaran olahraga, upacara bendera, senam, dan latihan drumben.
”Pelajaran olahraga hanya diadakan di kelas. Kadang-kadang di perpustakaan. Saya tak nyaman melihat kondisi sekolah seperti sekarang,” kata Queen.
Heruki dan Queen hanya dua dari 159 siswa SD 10 Patamuan yang terdampak konflik antara pemerintah kabupaten dan ahli waris tanah. Para siswa rindu leluasa bermain di halaman sekolah seperti sebelumnya.
Protes
Petaka bagi warga sekolah itu bermula pada Oktober 2019. Petugas dari Kantor Pertanahan Padang Pariaman melakukan pengukuran tanah sekolah untuk proses sertifikasi.
Menurut Camat Patamuan Imran Rafi’i, pengukuran itu tindak lanjut dari Surat Sekretaris Daerah Padang Pariaman. Sekda meminta nagari melalui camat melakukan sertifikasi tanah terhadap fasilitas publik yang merupakan aset daerah, seperti sekolah dan puskesmas.
Pengukuran tanah itu membuat ahli waris pemilik tanah meradang. Sebagai ahli waris, yang masih berhak, mereka tak diberi tahu dan tak dilibatkan.
”Tanpa ada musyawarah, duduk bersama dengan ninik mamak kami. Mereka main ukur-ukur saja untuk sertifikat. Mereka bilang tanah sekolah sudah diwakafkan nagari. Padahal, urusan wakaf dengan kami belum ada yang tuntas,” kata Irma Suryani (42), salah satu anggota keluarga ahli waris.
Kata Irma, ini bukan kali pertama ahli waris diperlakukan tidak adil. Sebelumnya, pihak sekolah pernah hendak menggusur rumah Irma yang persis ada di depan sekolah. Namun, berakhir baik-baik.
Ahli waris yang kadung tersinggung kemudian minta ganti rugi. Suryani mengklaim ada ganti rugi yang belum diselesaikan pemerintah saat membangun SD inpres di lahan itu pada 1977.
Mereka bilang tanah sekolah sudah diwakafkan nagari. Padahal, urusan wakaf dengan kami belum ada yang tuntas.
Irma menceritakan, Kodoh Datuak Tunaro, mamak (tetua) suku Piliang di nagari yang mengizinkan pendirian sekolah itu, mengajukan sejumlah syarat ke pemerintah. Syarat itu, antara lain, mengangkat anggota keluarganya sebagai pegawai sekolah, menguburkan jasad Datuak Tunaro di sekitar sekolah, dan membayar uang silih ganti (sejenis ganti rugi) terhadap puluhan pohon kelapa di lahan 2.330 meter persegi itu.
Syarat pertama dan kedua dikabulkan, tetapi yang ketiga dianggap belum tuntas.
Menurut Irma, di lahan yang didirikan sekolah, setidaknya ada 50 batang kelapa terimbas. Satu batang kelapa setara dengan satu emas (sekitar 2,5 gram emas). Pohon kelapa termasuk harta berharga pada zaman itu. Namun, praktiknya hanya sekitar tiga emas yang dibayarkan.
Oleh karena silih ganti belum tuntas, kata Irma, sertifikat wakaf tak keluar sampai sekarang. Wali korong atau jorong yang mengurus waktu itu telah meninggal. Keluarga ahli waris tak mempersalahkan itu sebelum akhirnya tersinggung karena merasa dilangkahi ketika pengukuran tanah.
”Kami menanam pohon pisang sebagai bentuk protes. Permintaan ganti rugi tidak digubris. Awalnya cuma tanam sebagian. Karena tak ada tindak lanjut, kami tanami semuanya dengan pisang, kelapa, dan ubi,” kata Irma.
Luas halaman yang ditanami sekitar dua kali lapangan bulu tangkis. Rabu siang, 21 batang pisang, 8 pohon kelapa, dan puluhan ketela pohon masih berdiri. Satu batang pisang sudah berbuah dan siap panen.
Sesekali beberapa siswa mengelilingi ”kebun” itu dengan sepeda. Pagar jaring yang mengelilingi ”kebun” itu sebagian sudah rebah, baik terinjak maupun dilindas sepeda siswa atau karena hujan.
Dampak
Tidak seperti Heruki dan Queen yang masih patuh dengan nasihat orangtua dan guru, siswa lain memilih bermain di luar sekolah. Saat jam istirahat berakhir pukul 11.00, puluhan siswa berbondong-bondong masuk ke pekarangan sekolah.
Ada siswa laki-laki dan perempuan, ada yang bersepeda, ada yang jalan kaki. Sebagian baru kembali dari nongkrong di warung-warung luar sekolah.
Desmawati, guru kelas VI, kewalahan dengan kondisi sekolah saat ini. Bermain di luar sekolah membuat guru tak dapat mengontrol siswa. Sementara guru juga tak bisa melarang siswa ke luar pekarangan karena di halaman tak ada lagi ruang.
Sejumlah siswa yang gerah bermain di sekolah memilih bermain ke sungai, sawah, kebun, surau tua, dan warung. Karena tak terawasi, sebagian siswa kepergok merokok.
”Kenakalan siswa meningkat. Ada kasus siswa duduk di warung, lalu mencuri rokok hingga 20 bungkus. Mereka merokok di surau tinggal atau di tepi sungai. Pemilik warung melapor ke guru minta ganti rugi,” kata Desmawati.
Kehilangan ruang gerak membuat siswa mengalami beban psikologis. Menurut Desmawati, sejumlah siswa yang gerah dengan kondisi sekolah mulai menunjukkan sikap anarkistis.
Ada siswa yang mengubah tangkai sapu menjadi sejenis parang. Siswa menebangi beberapa pohon pisang di halaman sekolah dengan benda. Guru memahami kondisi psikologis siswa meski tak membenarkan perbuatan itu.
”Anak-anak emosional. Kami hanya khawatir jika ini terus berlanjut, anak semakin brutal,” ujarnya.
Heruki mengakui, teman- temannya sering mengamuk dan merusak batang pisang. Sesekali ia ikut-ikutan. ”Saya ingin semua tanaman ini segera dibongkar,” ujarnya.
Leni Marlinda, guru Agama Islam, mengatakan, beberapa orangtua juga khawatir dengan kondisi anak mereka. Sebagian kecil memilih memindahkan anak ke sekolah lain. ”Sebelum ditanami pisang, jumlah siswa kami 161 orang. Sekarang 159 orang,” ujarnya.
Tidak hanya siswa, guru pun mengalami beban psikologis. ”Kebun pisang” di halaman sekolah telah mengganggu proses belajar-mengajar.
Kondisi sekolah yang demikian membuat para guru frustrasi. Apalagi, sejak 30 Januari 2020, kepala sekolah pindah tugas dan belum ada penggantinya. Semua tugas kepala sekolah diemban bersama-sama para guru.
Para guru tak tinggal diam. Beberapa hari setelah penanaman pisang, ada yang memilih mogok kerja. Mereka berharap permasalahan tanah sekolah segera diselesaikan. Aksi itu hanya berlangsung sehari karena mengingat nasib siswa.
Berbagai surat dan permohonan agar ada solusi dari pihak terkait telah dilayangkan. Kepala dinas pendidikan, anggota DPRD Komisi I, dan kepala satpol PP di Kabupaten Padang Pariaman juga pernah berkunjung ke sekolah.
”Sampai saat ini kondisi sekolah masih seperti ini. Kami tak tahu harus berbuat apa lagi,” ujar Desmawati.
Sementara itu, Irma mengaku, sebenarnya ia prihatin dengan kondisi ini. Apalagi salah satu putrinya juga bersekolah di SD 10 Patamuan. Meskipun demikian, Irma dan keluarganya telanjur sakit hati, terutama dengan tidak adanya tanda-tanda akan mendapat ganti rugi.
”Bagaimana lagi? Cara mereka tidak pas. Ibarat luka sudah menjadi tukak. Payah mengobatinya. Kami yang punya tanah, kami pula yang diatur-atur,” kata Irma.
Irma tak takut diperkarakan dalam kasus ini. Ia merasa yakin bahwa tanah itu masih hak keluarganya. Tanah itu memang tidak punya sertifikat karena termasuk pusaka tinggi atau harta yang diwariskan melalui keturunan perempuan secara adat. Walakin, keluarganya punya ranji yang lengkap sebagai bukti pewarisan tanah.
Irma hanya berharap pemkab segera membayarkan ganti rugi agar masalah ini tidak berlarut-larut. Namun, jika permintaan ahli waris tak kunjung dituruti, Irma dan keluarga akan berbuat lebih besar.
”Kalau tidak kunjung selesai akan kami tambah. Bangun kandang sapi, ayam, kandang itik pun di situ,” ujarnya.
Sertifikasi ulang
Kepala Dinas Pendidikan Padang Pariaman Rahmang mengatakan, pemkab sedang mengurus penerbitan ulang sertifikat tanah sekolah. Dinas Lingkungan Hidup, Perumahan dan Kawasan Permukiman, dan Pertanahan Padang Pariaman sudah mengumumkan melalui media massa terkait sertifikat yang hilang.
”Sudah lima hari diumumkan. Butuh waktu sebulan setelah pengumuman agar Kantor Pertanahan Padang Pariaman bisa menerbitkan sertifikat baru,” ucapnya.
Awalnya, pemkab tidak tahu tanah sekolah telah disertifikasi. Oleh sebab itu, petugas melakukan pengukuran. Seiring konflik dengan ahli waris, pemkab mengetahui tanah itu telah disertifikasi tahun 1997 atas nama Pemerintah Daerah Tingkat I Provinsi Sumbar.
Rahmang mengatakan, informasi itu disampaikan kepala sekolah terdahulu. Sayangnya, sertifikat itu tidak ditemukan sehingga diuruslah penerbitan sertifikat pengganti.
Dengan sertifikat itu, pemkab punya dasar kuat. Penegak hukum juga punya pegangan dalam eksekusi lahan.
Pemerintah kabupaten, kata Ramang, tak mungkin memberikan ganti rugi. Dengan telah terbitnya sertifikat, berarti proses perpindahan kepemilikan tanah sudah tuntas.
”Kami sangat prihatin dengan situasi ini. Aktivitas siswa di luar kelas dan proses belajar- mengajar jadi terganggu. Kami terus mengupayakan agar ahli waris mau mencabut pohon yang mereka tanam,” ujarnya.
Barozen, pelapor kehilangan sertifikat sekaligus pegawai bidang administrasi pertanahan Dinas Lingkungan Hidup, Perumahan dan Kawasan Permukiman, dan Pertanahan Padang Pariaman, mengatakan, tanah itu sudah dihibahkan pemiliknya kepada pemda sejak 1975 dan bersertifikat sejak 1997.
Menurut dia, permintaan ganti rugi ahli waris sebanyak 90 batang kelapa tidak berdasar. Tidak ada dokumen yang menguatkan soal perjanjian itu.
”Masalah ganti ruginya dulu kami tidak tahu. Surat perjanjiannya juga tidak ada. Namun, tidak masuk akal juga ada pohon kelapa 90 batang di atas tanah 2.330 meter persegi. Tidak mungkin dibayar karena dasarnya tidak ada,” ujarnya.
Bagaimanapun jalan ceritanya, konflik ini harus segera diakhiri. Jika tidak, situasi belajar bisa semakin tak terkendali. Heruki dan Queen serta Desmawati mengalaminya.