Polisi Kantongi Nama Pelaku yang Terlibat Perang Suku di Adonara
Polisi sudah mengantongi sejumlah nama yang terlibat dalam kasus pembantaian di Desa Sandosi, Kecamatan Witihama, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Enam orang tewas dalam peristiwa perang suku itu.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·3 menit baca
ADONARA, KOMPAS — Polisi sudah mengantongi sejumlah nama yang terlibat dalam kasus pembantaian di Desa Sandosi, Kecamatan Witihama, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Enam orang tewas dalam peristiwa perang suku itu.
Sebelumnya diberitakan suku Kwaelaga dan suku Lama Tokan, di Desa Sandosi, Adonara, bersengketa tanah. Sengketa itu berujung perang suku pada Kamis (5/3/2020).
Kepala Kepolisian Resor Flores Timur (Flotim) Ajun Komisaris Besar Dennys Abraham yang masih berada di Adonara, Minggu (8/3/2020), mengatakan, proses pemanggilan terhadap saksi dan pelaku belum dilakukan meski korban sudah dimakamkan.
Polisi hingga kini masih fokus menjaga keamanan dan ketertiban warga dua suku yang bertikai, yakni Kwaelaga dan suku Lama Tokan, Desa Sandosi. Pelaku pembunuhan akan diproses setelah selesai hari nebo, atau hari ketiga seusai upacara.
”Sesuai kesepakatan kepala desa, tokoh adat, dan tokoh masyarakat dari kedua pihak, seusai hari nebo atau tiga hari setelah pemakaman, proses hukum akan dilakukan. Senin, 9 Maret, mereka mulai dipanggil untuk dimintai keterangan,” kata Dennys.
Ia mengatakan, kedua pihak sepakat tidak mengulangi pertikaian serupa. Mereka ingin menyelesaikan kasus tanah dengan cara damai.
Kasus tanah itu mulai bergulir tahun 1980. Sudah beberapa kali difasilitasi pemkab, camat, dan kepala desa, tetapi tidak mencapai titik temu. Masing-masing suku, yakni Kwaelaga dan suku Lama Tokan, bersikeras mempertahankan lahan itu.
Ia mengatakan, Kepala Desa Sandosi mengetahui kasus itu. Sudah beberapa kali dilakukan upaya damai, tetapi tidak tercapai. Perselisihan memuncak saat suku Kwaelaga menanam bibit mangga dan kelapa di lokasi yang disengketakan pada Kamis (5/3/2020). Seusai ditanam, datang suku Lama Tokan. Mereka mendesak bibit itu dicabut karena berada di lokasi sengketa. Namun, pihak Kwaelaga menolak mencabut sendiri. Mereka mengizinkan suku Lama Tokan mencabut, tetapi ditolak Lama Tokan.
Kedua pihak lalu saling memaksa mencabut anakan itu. Namun, satu pun tidak berani mencabut. Sesuai kepercayaan masyarakat setempat, siapa yang mencabut anakan tanaman itu bakal mendapatkan kutukan sampai tujuh turunan.
”Kedua pihak ngotot dan beradu argumentasi di lahan sengketa. Sementara masing-masing pihak membawa senjata tajam berupa tombak dan parang. Maka terjadi perkelahian, yang menyebabkan kematian itu,” katanya.
Kedua pihak ngotot dan beradu argumentasi di lahan sengketa. Sementara masing-masing pihak membawa senjata tajam berupa tombak dan parang. Maka, terjadi perkelahian, yang menyebabkan kematian itu.
Dalam perkelahian itu, jumlah peserta dari suku Lama Tokan jauh lebih banyak dibandingkan suku Kwaelaga. Empat orang di pihak suku Kwaelaga meninggal, sedangkan suku Lama Tokan dua orang. Satu orang suku Kwaelaga sempat melarikan diri setelah melihat jumlah lawan lebih banyak, dan empat rekannya telah tewas bersimbah darah di tanah sengketa.
Tokoh masyarakat Adonara, Frans Duli, meminta masyarakat tidak lagi menyebarkan foto-foto keenam korban. Foto-foto itu sangat sadis dan tak berperikemanusiaan.
Penyebaran foto itu mengganggu perasaan dan terus mengusik hati nurani para keluarga korban. Bisa saja foto-foto sadis itu membangunkan kembali dendam kesumat anak dan cucu para korban.
Dosen Fakultas Hukum Undana Kupang, Karolus Kopong Medan, mengatakan, penyelesaian kasus itu secara hukum tetap dijalankan, menyangkut pembunuhan itu karena menyangkut tindak pidana. Namun, kasus sengketa tanah sulit diselesaikan secara hukum formil.
”Saya tetap usul agar penyelesaian tanah yang disengketakan di Sandosi secara hukum adat. Tetapi harus dilakukan tokoh adat yang disetujui dan diakui kedua pihak terkait kapabilitas dan integritas tokoh itu,” kata Kopong Medan.