Bapak Proklamasi Indonesia Soekarno menciptakan jejak sejarah yang tak pernah lekang oleh waktu. Ia menulis naskah sandiwara, membentuk kelompok tonil, dan mendapatkan cinta pujaan hatinya, Fatmawati.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·5 menit baca
Selama dalam pengasingan di Bengkulu pada periode 1938-1942, Bapak Proklamasi Indonesia Soekarno menciptakan jejak sejarah yang tak pernah lekang oleh waktu. Ia menulis naskah sandiwara, membentuk kelompok tonil, dan mendapatkan cinta pujaan hatinya, Fatmawati.
Ageng Kaloko (30) tampak antusias melihat setiap bagian di Rumah Pengasingan Bung Karno yang terletak di Jalan Soekarno-Hatta, Kelurahan Anggut Atas, Kota Bengkulu, Jumat (7/2/2020). Di rumah yang menjadi museum itu, ia melihat beragam karya dan cerita jejak ”Putra Sang Fajar”.
Ageng datang dari Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah. Ia datang membawa serta istri dan dua anaknya. Ia tampak terkesima dengan kisah yang ada di dalam rumah tersebut. ”Di Kalimantan Tengah, tidak ada yang seperti ini. Jadi, saya memang sudah merencanakan untuk berkunjung ke sini,” kata Ageng.
Saat mengunjungi rumah itu, Ageng merasa kembali ke masa lalu. Foto hitam putih tergantung di dinding. Sejumlah buku karya Bung Karno serta pakaian untuk pemain kelompok sandiwara atau tonil bernama Monte Carlo tersusun rapi di sebuah lemari kayu. Semua benda bersejarah itu masih tersimpan dengan baik.
Sejarawan Universitas Bengkulu, Agus Setiyanto, mengatakan, pemerintah kolonial Belanda memindahkan pengasingan Soekarno ke Bengkulu karena saat diasingkan di Kota Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur (1934-1938), Soekarno mengalami sakit malaria yang hampir merenggut nyawanya.
Sahabat Soekarno, Muhammad Husni Thamrin, pun mengajukan protes kepada Volksraad (Dewan Rakyat), mendesak agar Soekarno dipindahkan keluar dari Ende. Permintaan itu dikabulkan. Setelah ditolak Karesidenan Celebes (Sulawesi) dan Borneo (Kalimantan), akhirnya Bengkulu yang menjadi tempat pengasingan berikutnya.
Di Bengkulu, Soekarno membawa serta keluarganya, yakni istrinya, Inggit Garnasih, dan anak angkatnya, Ratna Djuami. Diasingkan keluar dari tanah Jawa membuat Bung Karno terpisah dari sahabat-sahabatnya. Namun, di Bengkulu, ia disambut pendukungnya.
Soekarno mendapatkan sahabat baru, antara lain Oei Tjeng Hien dan Hasan Din, yang kemudian ternyata menjadi ayah mertuanya karena Hasan Din adalah ayah dari istri ketiganya, Fatmawati.
Mereka berdiskusi tentang banyak hal, terutama terkait perjuangan dan Islam. Untuk mengisi waktu luang dalam keterasingan, Bung Karno membentuk Tonil Monte Carlo. Melalui kelompok sandiwara ini, Soekarno menuangkan ide-ide pergerakan dan perjuangan melawan penjajah di Bengkulu.
Sebelum tampil, Bung Karno juga menyiapkan segala sesuatunya sendiri, mulai dari kostum, memilih pemain, hingga menyiapkan naskah. Selama dalam pengasingan tercatat ada 17 naskah sandiwara yang ditulis Soekarno.
Sebanyak 12 naskah ditulis di Ende, lima naskah ditulis di Bengkulu. Beberapa naskah sandiwara yang ditulis ialah dr Sjaitan (naskah pertama), Koetkoetbi, Chungking Djakarta, Rainbow (Poetri Kentjana Boelan), dan Hantoe Goenoeng Boengkoek.
Selain menciptakan kelompok sandiwara, Soekarno juga memberikan sumbangsih dalam pembangunan Masjid Jamik Bengkulu. Dia merancang pembangunan masjid tersebut dan memberikan sumbangan dari gajinya. Tindakan ini memikat hati masyarakat Bengkulu.
Menemukan cinta
Selain berhasil merebut hati warga Bengkulu, Soekarno juga memikat hati gadis Bengkulu, yakni Fatmawati, anak sahabatnya, Hasan Din. Fatmawati juga teman Ratna Djuami, putri angkat Soekarno dan Inggit Garnasih. Benih-benih cinta itu muncul saat Soekarno melihat Fatmawati sebagai sosok gadis yang pintar.
”Dia adalah lawan berdialog yang sepadan bagi Bung Karno,” kata Agus.
Putri Soekarno, Sukmawati Soekarnoputri, mengungkapkan, pertemuan kedua orangtuanya terjadi pada periode 1938-1942 di Bengkulu. Saat itu, Soekarno bertemu dengan gadis cantik bernama Fatmawati.
Soekarno pun meminang Fatmawati ketika Jepang menduduki Indonesia. Saat itu, Bung Karno sudah kembali ke Jakarta. Namun, sebelum pindah ke Jakarta, Bung Karno rupanya telah berpesan kepada Hasan Din untuk tidak menikahkan Fatmawati dengan pemuda mana pun.
”Jangan dikasih kepada siapa-siapa. Fat (Fatmawati) adalah takdir untuk saya persunting. Sejak saat itu, Hasan Din tidak berani memberikan kepada pemuda lain,” kata Sukmawati menyampaikan pesan ayahnya.
Soekarno menikahi Fatmawati dengan mengirimkan perwakilan ke Bengkulu. Menjelang tahun 1945, Soekarno juga memberikan tugas kepada Fatmawati untuk menjahit kain merah putih yang dia minta dari Jepang.
”Saat itu Ibu Fatmawati sedang mengandung kakak saya, Guntur,” kata Sukmawati.
Akhirnya kain yang dijahit oleh Fatmawati pun menjadi bendera yang dikibarkan saat Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Bendera itu berkibar dengan diiringi lagu ”Indonesia Raya” ciptaan WR Supratman.
Pada Agresi Militer II, saat tentara Belanda kembali menyerang Yogyakarta tahun 1948, Bung Karno menitipkan bendera pusaka Merah Putih jahitan Ibu Fatmawati kepada seorang musisi, yakni Husein Mutahar.
Dalam pesannya Soekarno berkata, ”Aku tidak tahu apa yang akan terjadi pada diriku. Dengan ini, aku memberikan tugas kepadamu pribadi. Dalam keadaan apa pun, aku memerintahkan kepadamu untuk menjaga bendera ini dengan nyawamu,” kata Sukmawati menirukan ucapan ayahnya.
Setelah kondisi aman, Mutahar mengembalikan bendera ini kepada Soekarno. ”Aku sudah menjaga bendera ini dengan aman, saatnya aku mengembalikan bendera ini,” kata Sukmawati menirukan Mutahar.
Saat kepemimpinan Presiden Soeharto, bendera pusaka dibawa Soekarno. Di kemudian hari, Presiden Soeharto mengirim utusannya untuk mengambil bendera pusaka untuk dikibarkan pada 17 Agustus 1967. Karena kondisi bendera sudah lapuk dan mudah rusak, akhirnya pada kepemimpinan Presiden Joko Widodo, bendera pusaka itu disimpan di Museum Nasional.
Bendera Merah Putih, menurut Sukmawati, ada karena pengorbanan para pahlawan. Karena itu, keberadaannya harus dianggap sakral, keramat, dan terus dijunjung tinggi.
Bengkulu menjadi kota penting dalam peristiwa persiapan kemerdekaan Indonesia. Di sinilah Putra Sang Fajar menempa kemampuannya di tengah keterasingan.