Pencegahan DBD di Cirebon Belum Optimal, Dua Orang Meninggal
Meskipun jumlah kasus penderita demam berdarah dengue cenderung turun, penyakit yang menular dari gigitan nyamuk ”Aedes aegypti” itu masih merenggut korban jiwa di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·3 menit baca
CIREBON, KOMPAS — Meskipun jumlah kasus penderita demam berdarah dengue cenderung turun, penyakit yang menular dari gigitan nyamuk Aedes aegypti itu masih merenggut korban jiwa di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Kondisi ini menunjukkan pencegahan penyakit tersebut belum optimal.
Hingga pekan pertama Maret 2020, Dinas Kesehatan Kabupaten Cirebon mencatat 173 kasus DBD dengan kasus kematian mencapai dua kejadian. Korban berasal dari daerah Plumbon dan Pamengkang. Jumlah tersebut turun dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu ketika masuk siklus lima tahunan, yakni 584 kasus DBD dengan kematian tujuh orang.
Saat ini, kasus DBD terbanyak berasal dari wilayah Puskesmas Kamarang dan Puskesmas Sedong, masing-masing 14 kasus. Daerah lainnya, Susukanlebak dan Sindanglaut, masing-masing 13 kasus. Adapun Puskesmas Babakan dan Puskesmas Pasaleman tercatat masing-masing 11 kasus dan 10 kasus.
Wilayah itu berada di bagian timur Cirebon yang didominasi lahan tebu, bambu, dan sawah. Tumpukan sampah di pinggir jalan menuju daerah itu mudah ditemui. Bahkan, banjir dua kali melanda wilayah Pasaleman.
Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Kabupaten Cirebon Nanang Ruhyana mengklaim penurunan jumlah kasus merupakan bukti keberhasilan pihaknya mencegah DBD. ”Kami sudah bentuk setiap rumah satu jumantik (juru pemantau jentik) yang mencegah munculnya sarang nyamuk,” katanya, Selasa (10/3/2020), di Cirebon.
Program itu, katanya, sudah disosialisasikan di 60 puskesmas. Pihaknya juga sangat intens melakukan sosialisasi ke sekolah. Anak usia sekolah menjadi sasaran sosialisasi pencegahan karena 46,24 persen kasus DBD berusia 5-14 tahun. Adapun usia 15-44 tahun tercatat dalam 39,88 persen kasus DBD di Cirebon.
Terkait jatuhnya korban jiwa akibat DBD, Nanang menampik pihaknya terlambat mencegah penyakit itu. ”Yang telat itu deteksi dini. Warga yang terkena DBD merasa baik-baik saja saat demamnya turun dalam lima hari. Padahal, ini siklus pelana kuda. Demam bisa naik lagi hingga hari ketujuh. Jika terlambat ditangani, bisa menyebabkan kematian,” paparnya.
Untuk itu, pihaknya mendorong masyarakat aktif memeriksa kesehatan jika ada gejala DBD, seperti demam dan nyeri sendi. Warga juga diimbau menanam tumbuhan lavender dan ikan pemakan jentik nyamuk. Pengasapan atau fogging telah dilakukan 25 kali. Namun, ia mengakui upaya itu tidak optimal karena fogging hanya membunuh nyamuk dewasa, bukan jentiknya.
Soedirman (28), warga Pamengkang, mengaku belum mengetahui aktivitas jumantik. ”Setelah ada yang meninggal karena DBD, wilayah kami kena fogging. Selama ini saya rutin membersihkan ember kamar mandi dua atau tiga hari sekali supaya enggak ada nyamuk,” katanya.
Kuwu (Kepala Desa) Pamengkang Kosasih mengatakan, korban meninggal merupakan warga Kota Cirebon, tetapi tinggal di Pamengkang. Desanya dipadati sekitar 11 perumahan yang terpisah tembok dengan permukiman warga. Hal ini menjadi kendala sosialisasi karena penghuni kerap berada di luar rumah. ”Ke depan, kami akan gencarkan sosialisasi,” ucapnya.