Warga belum merasakan dampak signifikan dari program tol laut untuk mengatasi disparitas harga di Kabupaten Biak Numfor, Papua. Program tersebut bahkan telah terhenti sejak November 2018.
Oleh
FABIO MARIA LOPES COSTA
·3 menit baca
JAYAPURA, KOMPAS — Warga belum merasakan dampak signifikan dari program tol laut untuk mengatasi disparitas harga di Kabupaten Biak Numfor, Papua. Program tersebut bahkan telah terhenti sejak November 2018.
Hal ini disampaikan perwakilan dari berbagai kalangan masyarakat dan pemerintah daerah setempat di Kabupaten Biak Numfor yang ditemui pekan lalu.
Maria Aap (60), salah seorang warga yang berjualan roti di pasar tradisional di Biak, mengatakan, masuknya tol laut tidak berdampak besar bagi turunnya harga barang kebutuhan pokok, misalnya harga terigu mencapai Rp 10.000 per kg, sedangkan harga gula mencapai Rp 12.000-Rp 17.000 per kg.
Maria menuturkan, kondisi harga barang kebutuhan pokok yang tinggi menyebabkan pembelian bahan baku untuk produk kue buatannya terus menurun. Tahun 2013, Maria dapat menggunakan 20 kg terigu per hari, tetapi sekarang hanya mampu membeli 6 kg terigu per hari.
”Hadirnya tol laut sejak tahun 2017 tidak menyebabkan harga turun drastis. Saya tidak merasa adanya perubahan sebelum dan sesudah adanya tol laut,” kata Maria.
Hendra Loa (40), salah satu pedagang yang pernah menggunakan jasa tol laut, mengaku, penurunan harga barang kebutuhan pokok, seperti beras dan gula, hanya turun maksimal dari Rp 1.000 hingga Rp 3.000. Ia berpendapat, penyebab tol laut tidak berdampak signifikan karena biaya operasionalnya yang tidak berbeda jauh dengan menggunakan jasa angkutan nontol laut.
Hal ini dipengaruhi sejumlah faktor, yakni tidak jelasnya jadwal kapal tol laut, muatan hanya 18 ton dari maksimal 25 ton per kontainer, dan waktu berlayar yang bisa memakan waktu hingga sebulan sebelum berlabuh di Biak.
”Bagi pedagang, faktor waktu berlayar dan jumlah muatan sangat menentukan. Saya lebih memilih jasa angkutan nontol laut karena lebih cepat dan muatannya hingga 25 ton,” kata Hendra.
Hal senada diungkapkan Heriyanto (50), pemilik toko bangunan Mitra di Biak. Ia menuturkan, biaya angkut dengan program tol laut sangat murah, yakni hanya Rp 10 juta per kontainer dengan rute Makassar ke Biak. Namun, minimnya kapasitas angkut menyebabkan kurangnya minat pedagang untuk menggunakan tol laut.
”Selama tidak ada perubahan, kemungkinan hanya sedikit pedagang di Biak Numfor yang terlibat dalam program ini,” ujar Heriyanto.
Lama terhenti
Kepala Seksi Lalu Lintas Angkutan Laut dan Usaha Kepelabuhanan Kantor Kesyahbandaran Otoritas Pelabuhan (KSOP) Biak Numfor Pieter Rumbino mengatakan, selama setahun terakhir, program tol laut tidak terlaksana di daerah Biak.
Adapun barang kebutuhan pokok dan bangunan yang masuk dalam program tol laut di Biak meliputi beras, gula, terigu, minyak goreng, semen, dan besi beton.
”Pemerintah menghentikan program tol laut di Biak untuk mengevaluasinya kembali. Sebab, warga tidak terlalu merasakan dampak dari program ini,” kata Pieter.
Ia menambahkan, KSOP Biak secara langsung berwenang dalam mengawasi pelaksanaan kembali program tol laut di Biak pada bulan ini. Adapun rute tol laut meliputi Biak-Teba-Bagusa-Trimuris-Kasonaweja-Teba- Biak-Bromsi-Biak.
Pemerintah menghentikan program tol laut di Biak untuk mengevaluasinya kembali. Sebab, warga tidak terlalu merasakan dampak dari program ini.
”Kedua rute ini berada di Biak dan Mamberamo Raya. Kapal perintis Mamberamo Foja yang akan membawa barang-barang tol laut ke daerah-daerah tersebut,” katanya.
Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Biak Numfor Yubelius Usior mengatakan, ada enam pedagang yang bersedia terlibat dalam program tol laut tahun ini. Namun, baru tiga pedagang yang mendaftar.
”Minimnya pendaftar karena merasa tol laut tidak berdampak besar untuk menurunkan harga. Diperlukan adanya perbaikan dalam pelaksanaan tol laut tahun ini,” kata Yubelius.