Peran pendamping desa perlu dimaksimalkan untuk membimbing kepala desa mengimplementasikan dana desa sejak perencanaan hingga pelaporan. Kasus penyelewengan dana desa terus terjadi, terakhir di Kabupaten Aceh Tamiang.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Peran pendamping desa perlu dimaksimalkan untuk membimbing kepala desa mengimplementasikan dana desa sejak perencanaan hingga pelaporan. Hal itu dilakukan untuk mereduksi penyelewengan dana desa yang masih saja terjadi.
Kasus terakhir penyelewengan terjadi di Kabupaten Aceh Tamiang, Provinsi Aceh. NH, bekas Kepala Desa Alue Sentang, Kecamatan Manyak Payed, Kabupaten Aceh Tamiang, ditangkap petugas karena diduga melakukan korupsi dana desa. Kepala Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Langsa Inspektur Satu Arief Sukmo Wibowo, yang dihubungi Selasa (10/3/2020), menuturkan, NH diduga melakukan korupsi dana desa dengan kerugian mencapai Rp 378 juta.
”Ada penyelewengan. Dana diambil dari kas desa, tetapi tidak selesai dan ada juga laporan fiktif, kegiatan tidak dilaksanakan,” kata Afief.
Akibatnya, NH pun dijerat Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan ancaman hukuman maksimal 20 tahun penjara.
Ini bukan kasus korupsi dana desa pertama di Aceh. Sebelumnya, pada 2018, di Desa Bumi Suri, Kecamatan Beutong, Kabupaten Nagan Raya, kepala desa melakukan penggelembungan harga dalam sejumlah kegiatan penggunaan dana desa. Sementara di Desa Keude, Kecamatan Darul Aman, Kabupaten Aceh Timur, kepala desa menggelapkan dana desa yang seharusnya digunakan untuk pembangunan infrastruktur desa.
Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Gampong Aceh Azhari Hasan menuturkan, kasus tersebut harus menjadi pelajaran bagi aparatur desa yang ada di Aceh. Dana desa seharusnya dimanfaatkan untuk pemberdayaan warga dan membangun desa, bukan untuk dikorupsi.
Di Aceh terdapat 6.497 desa. Sejak 2015 hingga 2020, total alokasi dana desa di Provinsi Aceh sebesar Rp 24,9 triliun. ”Ini dana yang besar, salah dalam pengelolaan membuka celah untuk disalahgunakan (korupsi),” kata Azhari.
Celah korupsi dapat ditutup dengan cara mendorong penyusunan rencana pendapatan belanja desa (APBDes) tepat waktu sehingga transfer dana juga sesuai tahapan. Transfer dana tepat waktu membuat kegiatan dapat dijalankan sesuai rencana.
Korupsi terjadi bukan lantaran aparatur desa kurang berpengalaman dalam mengelola anggaran, tetapi karena mental yang buruk.
Azhari mengatakan, keterlambatan penyaluran dana ke rekening desa memicu sisa lebih pembiayaan anggaran (silpa). Silpa inilah yang rawan dikorupsi sebab dana sudah di rekening desa, sementara tahun anggaran sudah berakhir. Kondisi ini membuka celah bagi aparatur desa untuk membuat laporan fiktif agar tidak mengembalikan dana ke kas negara.
”Peran pendamping desa harus dimaksimalkan. Mereka harus membimbing sejak perencanaan hingga pelaporan,” ujar Azhari.
Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh Alfian menuturkan, korupsi terjadi bukan lantaran aparatur desa kurang berpengalaman dalam mengelola anggaran, tetapi karena mental yang buruk. ”Penyimpangan dana desa yang terjadi selama ini di Aceh memang sengaja dan direncanakan,” ucapnya.
Beberapa modus korupsi yang sering terjadi dalam pengelolaan dana desa adalah penggelembungan harga, pembangunan fiktif, dan penggelapan. Pelakunya mulai dari ketua pemuda, kepala dusun, hingga kepala desa. Dalam beberapa kasus bahkan korupsi dilakukan secara bersama-sama.
Masyarakat Transparansi Aceh mencatat, sejak 2017 hingga 2018, sebanyak 20 orang aparatur desa di Provinsi Aceh ditetapkan sebagai tersangka korupsi dana desa.
Sebelumnya Direktur Pemberdayaan Masyarakat Desa Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Moch Fachri di Banda Aceh mengatakan, pembangunan infrastruktur dasar di pedesaan selama lima tahun menggunakan dana desa dinilai sudah memadai. Kini saatnya pengelolaan dana desa porsinya lebih besar untuk pemberdayaan warga dan badan usaha milik desa. Dengan demikian, dana desa akan efektif meningkatkan kesejahteraan dan mengurangi kemiskinan.