Gempa bermagnitudo 4,9 mengguncang Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, Selasa (10/3/2020) pukul 17.18. Sejumlah bangunan rusak akibat gempa yang berpusat di darat pada 23 kilometer di timur laut Palabuhanratu tersebut.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
SUKABUMI, KOMPAS — Gempa bermagnitudo 4,9 mengguncang Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, Selasa (10/3/2020) pukul 17.18. Sejumlah bangunan rusak akibat gempa yang berpusat di darat pada 23 kilometer di timur laut Palabuhanratu tersebut.
Gempa berkedalaman 10 kilometer itu tidak berpotensi tsunami. Hasil monitoring Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika menunjukkan adanya gempa pendahuluan (foreshock) dengan M 3,1 pada pukul 17.09 serta gempa susulan (aftershock) M 2,4 pada pukul 19.15.
Berdasarkan lokasi episenter dan kedalaman hiposenternya, gempa merupakan jenis gempa dangkal akibat aktivitas sesar lokal. Hasil analisis mekanisme sumber menunjukkan gempa memiliki mekanisme pergerakan mendatar.
Kepala Pusat Data Informasi dan Komunikasi Kebencanaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Agus Wibowo menyampaikan, sejumlah rumah rusak akibat gempa. Belum ada laporan korban jiwa akibat gempa itu. Tiga warga terluka akibat terkena material rumah yang ambruk.
Sejumlah rumah yang rusak berada di Kecamatan Kalapanunggal sebanyak 1 unit, Parakansalak 2 unit, Kabandungan 1 unit, dan Kecamatan Cidahu 1 unit. Daerah-daerah itu berjarak antara 100 kilometer dan 115 kilometer dari Kota Bandung. Hingga Selasa malam, tim Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Sukabumi masih mendata dampak kerusakan lainnya.
Guncangan gempa dirasakan dalam skala IV-V Modified Mercalli Intensity (MMI) di Kecamatan Cikidang, Ciambar, Cidahu, dan Kecamatan Kalapanunggal. Sementara di Kecamatan Citeko, gempa dirasakan dengan skala II-III MMI.
Sejumlah rumah rusak akibat gempa. Belum ada laporan korban jiwa akibat gempa tersebut.
Gempa juga dirasakan di Kota Sukabumi, Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kabupaten Lebak (Banten), hingga Jakarta. BPBD Kabupaten Bogor melaporkan 10 rumah rusak akibat gempa tersebut.
Peneliti Pusat Penelitian Mitigasi Bencana Institut Teknologi Bandung, Nuraini Rahma Hanifa, mengatakan, gempa di darat dapat memicu guncangan lebih besar dibandingkan dengan gempa di laut dengan kekuatan yang sama. Selain itu, kekuatan guncangan juga dipengaruhi kondisi batuan di lokasi gempa.
”Kondisi geologi di sana umumnya tersusun oleh aluvium dan endapan rombakan batuan gunung api muda berumur kuarter. Jenis batuan ini bisa mengamplifikasi guncangan gempa,” ujarnya.
Akan tetapi, faktor kerusakan bangunan tidak hanya dipengaruhi oleh kekuatan gempa dan jenis batuan. Faktor lainnya adalah kekuatan bangunan terhadap guncangan.
”Kualitas bangunan tahan gempa di Indonesia masih menjadi pekerjaan rumah. Padahal, ini sangat penting untuk meminimalkan dampak gempa,” ujarnya.
Nuraini menuturkan, Sukabumi memiliki ancaman gempa yang bersumber di laut dan darat. Dalam beberapa kejadian gempa, pusat gempa berada di Samudra Hindia serta Sesar Cimandiri dan sekitarnya.
”Sumber gempa kali ini posisinya berada di utara Sesar Cimandiri. Namun, diperlukan analisis lebih lanjut untuk memastikan sumbernya,” ucapnya.
Nuraini mengatakan, Sukabumi sudah beberapa kali diguncang gempa darat. Beberapa di antaranya gempa M 5,5 pada 1982 serta gempa M 5,1 dan M 5,4 pada 2000.