Indonesia dan Belanda berkomitmen mendorong produksi minyak kelapa sawit yang berkelanjutan. Sengketa dagang Indonesia-Uni Eropa di WTO diyakini tidak mengganggu ekspor sawit nasional.
Oleh
Agnes Theodora / Benediktus Krisna Yogatama
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sengketa dagang Indonesia-Uni Eropa yang masih berlangsung di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) diyakini tidak akan mengganggu ekspor minyak kelapa sawit nasional. Indonesia akan menggenjot produksi minyak kelapa sawit berkelanjutan agar bisa menembus pasar internasional yang menuntut bahan bakar nabati berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Komitmen untuk mendorong produksi minyak kelapa sawit yang berkelanjutan menjadi salah satu poin kerja sama yang dibicarakan Indonesia dengan Belanda selama kunjungan Raja Willem-Alexander dan Ratu Maxima bersama rombongan pada 9-11 Maret 2020. Selama kunjungan persahabatan itu, Indonesia-Belanda membukukan 30 perjanjian kerja sama dengan nilai kontrak 1,5 miliar euro atau sekitar Rp 24,37 triliun.
Deputi Bidang Koordinasi Kerja Sama Ekonomi Internasional Kementerian Koordinator Perekonomian Rizal Affandi Lukman saat dihubungi dari Jakarta, Rabu (11/3/2020), mengatakan, ekspor produk kelapa sawit yang terhambat masuk ke pasar Uni Eropa adalah minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO) dalam bentuk biofuel atau minyak kelapa sawit mentah yang akan diolah menjadi biofuel.
Sementara ekspor minyak kelapa sawit hasil olahan untuk keperluan lain, seperti industri makanan dan kosmetik, tidak terganggu. Dengan demikian, peluang ekspor minyak kelapa sawit Indonesia ke negara-negara Eropa masih terbuka. Untuk meningkatkan kualitas komoditas agar bisa masuk ke pasar Uni Eropa, produk minyak kelapa sawit Indonesia akan diolah secara berkelanjutan (sustainable).
Salah satunya lewat peningkatan kerja sama antara Indonesia dan Belanda untuk menggenjot produksi minyak kelapa sawit berkelanjutan. Meskipun menjadi anggota Uni Eropa, Belanda adalah salah satu importir terbesar minyak kelapa sawit. ”Dengan memperkuat produksi berkelanjutan, minyak kelapa sawit Indonesia bisa masuk ke pasar Eropa dan negara lain seperti Jepang,” kata Rizal.
Sebagaimana diketahui, Indonesia mengajukan gugatan ke WTO terhadap kebijakan Renewable Energy Directive (RED II) UE yang mewajibkan negara-negara anggota UE menggunakan bahan bakar yang berasal dari komoditas yang dapat diperbarui, mulai dari 2020-2030.
Indonesia juga menggugat peraturan turunan RED II, Delegated Regulation, yang memasukkan minyak kelapa sawit ke dalam kategori komoditas yang memiliki risiko tinggi terhadap alih fungsi lahan tidak langsung (indirect land use change). Kebijakan UE itu berdampak pada ekspor minyak kelapa sawit Indonesia ke negara-negara Eropa.
Selain Eropa, ekspor produk kelapa sawit Indonesia juga terkendala masuk ke pasar Jepang karena adanya syarat ketentuan sertifikasi yang merujuk pada Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO). Hal itu menjadi persoalan karena produsen sawit Indonesia masih ada yang menggunakan sertifikat Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) yang tidak diakui secara internasional.
Menteri Perdagangan Luar Negeri dan Kerja Sama Pembangunan Belanda Sigrid Kaag mengatakan, meskipun ada larangan ketat dari Uni Eropa, hal itu masih bisa dinegosiasikan lagi. Apalagi, kebijakan itu masih disengketakan di WTO.
Untuk saat ini, ujarnya, Belanda tetap akan bekerja sama dengan Indonesia untuk memproduksi minyak kelapa sawit secara berkelanjutan. Bentuknya melalui pelaksanaan program pelatihan dan peningkatan pengetahuan serta teknologi untuk petani sawit, khususnya yang berskala kecil.
Sigrid tidak menampik ada kekhawatiran yang beralasan dari UE serta dunia internasional terhadap produksi minyak kelapa sawit yang berkontribusi besar pada polusi serta deforestasi. Namun, ia meyakini ada solusi alternatif yang bisa ditempuh tanpa merugikan Indonesia sebagai salah satu eksportir terbesar minyak kelapa sawit.
”Kami ingin membantu mencarikan solusi alternatif agar ada transisi yang tidak memberatkan Indonesia, khususnya petani kecil. Kami terus berdiskusi dengan Uni Eropa untuk membahas bagaimana cara terbaik melalui transisi ini agar lebih adil untuk Indonesia,” ujarnya.
Menteri Perdagangan Agus Suparmanto mengatakan, untuk sementara ini perjanjian dagang dan urusan ekspor tetap jalan. Meski demikian, ia mengakui, dibandingkan dengan komoditas lain, di tengah kondisi saat ini, ekspor minyak kelapa sawit mentah ke negara-negara Uni Eropa otomatis akan terhambat.
”Namun, ini berjalan terus. Kita lihat bagaimana prosesnya di WTO. Mudah-mudahan ada win-win solution. Belanda sendiri masih positif, Indonesia sama-sama berkepentingan, jadi mereka (Belanda) pun tidak mau ada halangan,” kata Agus.
Belanda pun tidak mau ada halangan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, sejumlah komoditas ekspor Indonesia mengalami penurunan cukup dalam pada Januari 2020. Salah satu penyebabnya adalah wabah Covid-19 yang dipicu oleh virus korona baru yang memukul perekonomian global. Penurunan terbesar pada komoditas lemak dan minyak hewan/nabati, salah satunya minyak sawit mentah atau CPO.
Nilai ekspor minyak kelapa sawit pada Januari 2020 anjlok 65,58 persen menjadi 127,5 juta dollar AS dari realisasi Desember 2019 senilai 370,45 juta dollar AS. Nilai ekspor pada Januari 2020 juga menurun 52,66 persen jika dibandingkan pada Januari 2019, yang sempat menyentuh 269,38 juta dollar AS.
Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Mukti Sardjono mengatakan, saat ini sudah ada komitmen dari para pelaku usaha besar untuk memproduksi minyak kelapa sawit yang berkelanjutan. Namun, perlu ada dorongan dan pendampingan dari pemerintah untuk memastikan produksi minyak sawit di level petani juga dilakukan secara berkelanjutan.
”Kalau memang Belanda punya komitmen untuk membantu kita mengembangkan produksi berkelanjutan, tentu sangat bagus,” katanya.