Jalan Berliku Memberantas Truk Obesitas
Persoalan truk bermuatan dan berdimensi lebih harus diselesaikan. Secara regulasi, pengemudi belum terlindungi. Pengemudi seharusnya punya hak untuk menolak mengoperasikan kendaraan yang muatan dan ukurannya berlebih.
Operasi penertiban kendaraan dengan muatan dan ukuran berlebih akhirnya terhenti. Satu truk tronton mogok di timbangan portabel. Sejumlah truk yang semula mengantre di belakang pun, kemudian berlalu tanpa ditimbang.
Truk sontak mogok ketika menginjak timbangan. Timbangan berbentuk persegi berjumlah empat buah. Begitu ban menginjak timbangan, otomatis bobot kendaraan terpantau melalui monitor.
”Ini mobil Eropa. Kalau mati tiba-tiba, ya, mati semua mesinnya,” ujar Saprowi (37), sopir truk, kepada petugas di area peristirahatan Kilometer 208 Jalan Tol Palimanan–Kanci, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Rabu (26/2/2020). Operasi penertiban truk bermuatan dan berdimensi lebih (overdimension and overload/ODOL) pun buyar.
Baca juga : Truk ODOL Dilarang Menyeberang Merak-Bakauheuni dan Ketapang-Gilimanuk
Dari timbangan ban depan, muatan truk tercatat sekitar 23 ton. Idealnya, muatan truk keseluruhan sekitar 42 ton. Namun, petugas tidak melanjutkan pengukuran karena truk mati total dan tidak bisa diderek.
Petugas sudah berupaya mengutak-atik mesin truk. Namun, tidak ada tanda-tanda mesin bisa dihidupkan. Agenda operasi yang berlangsung sejak pukul 09.00 hingga 12.00 WIB pun dihentikan lebih dini setengah jam. Petugas membubarkan antrean truk tanpa menimbangnya.
Akal-akalan
Manajer Pelayanan Lalu Lintas PT Jasa Marga Cabang Jalan Tol Palikanci Agus Hartoyo curiga, mogoknya truk hanya akal-akalan sopir agar operasi berhenti. Istilahnya, satu truk berkorban agar truk lain tidak terhambat operasi penertiban. ”Dulu, saat alat timbangan masih berupa per (pegas), truk besar sengaja menginjak timbangan dengan keras. Akibatnya, timbangan seharga Rp 50 juta per alat itu rusak dan akhirnya, operasi batal,” tutur Agus.
Namun, Saprowi membantahnya. Beberapa kali ia menelepon mekanik untuk mengetahui cara menyalakan mesin truk. Ketika diminta menelepon video, dia langsung melunak dan berkata, ”Percuma saja. Nanti sore, mekaniknya datang ke sini dari Semarang (Jawa Tengah).” Saprowi malah mengeluhkan operasi penertiban truk bermuatan dan berdimensi lebih tersebut. Menurut dia, perjalanannya ke Bogor, Jawa Barat, bakal molor sehingga pendapatannya dipastikan berkurang.
”Kalau sesuai jadwal, saya bisa dapat untung Rp 700.000 sampai Rp 900.000 per Minggu. Kalau terlambat, ya, bisa nombok karena jadi tanggung jawab sopir,” ujar bapak tiga anak ini. Selama ini, perusahaannya menerapkan sistem borongan. Artinya, dia hanya menerima uang saku sekitar Rp 4,5 juta untuk bensin, makan, bayar tol, hingga ’biaya’ di jalan dari Surabaya ke Bogor.
Jika surplus, sisanya menjadi milik sopir. Sebaliknya, kalau kurang, sopir menanggungnya sendiri.Baru kali ini ia terjaring operasi. Truk yang dikendarai kelebihan muatan hingga 15 ton dari bobot ideal, yakni 24 ton. Surat izin mengemudi pun ditahan polisi dan stiker penanda kendaraan melanggar batas muatan menempel di truk.
”Kalau Indonesia, maklumlah. Di luar negeri, muatan kendaraan 32 ton, ya, 32 ton,” ungkap Sujono, yang sempat menjadi sopir 3 tahun di Arab Saudi. Agus mengatakan, tidak ada alasan mengendarai kendaraan bermuatan atau berdimensi lebih. Aturan itu tercantum dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan serta Peraturan Pemerintah No 74/2014 tentang Angkutan Jalan.
Kelebihan muatan dan dimensi truk, katanya, merusak jalan. Tahun lalu, pihaknya mengeluarkan biaya pemeliharaan jalan 26,3 kilometer sebesar Rp 51 miliar, turun dari Rp 67 miliar tahun 2018. ”Itu berkat operasi ODOL yang kami lakukan. Tetapi, ongkos pemeliharaan masih tinggi. Idealnya, Rp 10 miliar per tahun,” lanjutnya.
Memicu kecelakaan
Truk bermuatan lebih juga dapat berujung kecelakaan maut. Muatan melebihi daya angkut membuat truk melaju sangat lambat, terkadang di bawah 60 kilometer per jam yang merupakan batas minimal kecepatan di jalan tol. Bahkan, terkadang truk tidak dilengkapi penerangan memadai di bagian belakang.
Akibatnya, banyak terjadi kecelakaan lalu lintas tabrak belakang truk di jalan tol saat malam hari. Di Jalan Tol Cikopo-Palimanan sepanjang 116,7 kilometer, 74 orang tewas pada 2019. Sebanyak 42 korban jiwa di antaranya terkait kecelakaan tabrak belakang. ”Kasus tabrak belakang juga sering terjadi di Jalan Tol Palikanci,” ungkap Agus.
Oleh karena itu, penindakan langsung terhadap 17 truk yang kelebihan muatan hingga 20 ton siang diharapkan mengurangi risiko kecelakaan. Namun, ia mengakui, penindakan itu belum cukup. Dengan biaya tilang sekitar Rp 250.000, katanya, belum membuat jera pemilik truk. Lagi pula, muatan truk tidak diturunkan sebagai sanksi atas pelanggarannya.
Nanti, pengukuran muatan kendaraan dilakukan menjelang gerbang Jalan Tol Palikanci. Kalau melanggar, kendaraan tidak boleh masuk jalan tol.
Agus mengatakan, operasi ODOL sebulan dua kali di Tol Palikanci akan ditingkatkan hingga tiga hari sekali menjelang masa mudik Lebaran bulan Mei mendatang. ”Nanti, pengukuran muatan kendaraan dilakukan menjelang gerbang Jalan Tol Palikanci. Kalau melanggar, kendaraan tidak boleh masuk jalan tol,” katanya.
Jika ada yang melanggar hingga tiga kali, pihaknya mengusulkan SIM sopir dan buku KIR kendaraan diblokir. Menurut dia, sanksi itu diperlukan karena pada 2021 pemerintah menargetkan tidak ada lagi kasus kendaraan dengan muatan dan dimensi berlebih. Secara terpisah, Direktur Operasional PT Lintas Marga Sedaya Agung Prasetyo mendukung rencana tersebut.
”Selama ini, kami mengarahkan kendaraan dengan muatan berlebih untuk keluar di pintu jalan tol terdekat. Kalau tidak, denda dengan biaya dua kali jarak terjauh,” ujarnya. Lintas Marga Sedaya adalah pengelola Jalan Tol Cipali.
Lapangan kerja baru
Namun, kebijakan yang dicanangkan Kementerian Perhubungan dan didukung penuh oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat itu belum menemukan titik temu. Kementerian Perindustrian dan pelaku usaha keberatan dengan dalih kebijakan itu akan meningkatkan ongkos logistik sehingga melemahkan daya saing industri.
Padahal, sesungguhnya kebijakan ini dapat menciptakan lapangan kerja baru. Penertiban truk bermuatan dan berdimensi lebih tentu akan menggairahkan penjualan truk berukuran normal. Penambahan armada tentu akan menciptakan lapangan kerja baru pula karena perusahaan logistik merekrut sopir dan kondektur baru.
Ketua Himpunan Profesi Pengemudi Indonesia (HPPI) DPD Jabar Eddy Suzendi menilai, persoalan truk bermuatan dan berdimensi lebih harus diselesaikan komprehensif. Secara regulasi, pengemudi belum terlindungi. Pengemudi seharusnya punya hak untuk menolak mengoperasikan kendaraan yang muatan dan ukurannya berlebih.
Tidak ada salahnya pemerintah mendengar keluhan para sopir seperti Saprowi dan Sujono, bukan hanya pendapat pengusaha.
”Ketentuan itu harus ada dalam perjanjian kerja pengemudi, pemilik kendaraan, dan pemilik barang. Selama ini, kalau sopir menolak, dia enggak dapat uang,” katanya. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, misalnya, nakhoda bisa menolak berangkat jika muatan kapalnya berlebih.
Untuk itu, perusahaan angkutan barang dan penumpang, lanjutnya, memiliki tanggung jawab untuk melindungi pengemudi, termasuk memberikan edukasi. Selama ini, perusahaan angkutan dinilai menerapkan sistem setoran, bukan penggajian. Akibatnya, pengemudi mengejar target dan mengabaikan kondisi tubuhnya.
Tanpa penyelesaian secara menyeluruh, kasus kecelakaan dan lonjakan biaya pemeliharaan jalan akibat muatan dan ukuran kendaraan berlebih akan terus berlanjut. Tidak ada salahnya pemerintah mendengar keluhan para sopir seperti Saprowi dan Sujono, bukan hanya pendapat pengusaha.