Manis Tol Laut Masih Terasa Asam bagi Warga Morotai
Di Morotai, tol laut terasa manis bagi pebisnis, tetapi masih asam untuk warga seperti Moli.
Moli (42) kaget. Harga gula pasir jadi Rp 17.000 per kilogram atau naik Rp 2.000 dibanding pekan lalu. Dengan wajah mendung, ia keluar kios bahan pokok di Pelabuhan Daruba, Pulau Morotai, Maluku Utara, awal Maret.
Kios itu berjarak 40 meter dari tumpukan peti kemas pengangkut barang tol laut di Pelabuhan Daruba. Moli melewati deretan kios pengecer di pusat kota itu sambil mengecek harga gula pasir. Pedagang kompak menjual gula pasir Rp 17.000 per kilogram (kg). Satu karung gula pasir dalam kemasan 50 kg dijual seharga Rp 820.000.
Baca juga : Gerai Maritim, Hampa dan Sunyi di Tengah Kebun
Sementara harga satu karung beras kemasan 25 kg juga naik menjadi Rp 295.000 dibanding dua pekan sebelumnya, Rp 285.000. Beberapa toko besar juga menawarkan harga tak beda jauh. Moli, tukang ojek itu, tak sanggup membeli satu karung. Ia membeli eceran. Hampir semua barang kebutuhan pokok di Daruba, ibu kabupaten, diangkut menggunakan satu kapal, yakni kapal tol laut yang dioperasikan PT Pelni.
Tak ada kapal logistik milik swasta yang melayani pulau terluar yang berbatasan dengan Filipina itu. Sebelumnya ada kapal swasta, tetapi tersingkir seiring kehadiran kapal tol laut. Artinya, hampir semua barang kebutuhan pokok itu disubsidi angkutan dari pemerintah.
Baca juga : Tol Laut Belum Efektif Tekan Harga di Biak Numfor
Tahun 2015, pemerintah menelurkan program tol laut, salah satu tujuannya memotong disparitas harga kebutuhan pokok di daerah tertinggal, terpencil, terluar, dan perbatasan (3TP). Tahun 2020, sebanyak 99 pelabuhan disinggahi dengan 26 trayek.
Tahun 2017, tol laut melayani rute Surabaya-Morotai setelah singgah di beberapa pelabuhan. Secara komersial, tarif satu peti kemas yang diangkut di rute itu Rp 18 juta. Setelah disubsidi, ongkos turun menjadi Rp 10 juta. Data ongkos angkut itu diperoleh dari pemda setempat.
Pemberian subsidi bertujuan agar harga jual barang semakin rendah. Namun, bagi Moli, tetap saja ada pertanyaan. ”Lalu, mengapa sampai
sekarang harga tidak turun?” ujarnya. Penelusuran lapangan, harga tidak turun terkait dengan kuota pengangkutan sebelum barang diangkut dari Surabaya.
Ada pengusaha yang diduga menguasai kuota muatan tol laut. Pengusaha itu dikenal punya kuota angkut yang besar. Menurut salah satu pengelola ekspedisi Bahdin Danodasin, Senin (2/3), pengusaha itu memakai beberapa ekspedisi. Besarnya kuota untuk pengusaha ini juga diakui petugas Kepala Kantor Penyelenggara Pelabuhan Kelas III Daruba dan tenaga bongkar muat.
Sebagai contoh, kapal tol laut pada Februari 2020 membawa 68 kontainer. Dari jumlah itu, 32 kontainer diantaranya milik pengusaha tersebut. Oleh banyak kalangan, ia dianggap sebagai penguasa angkutan tol laut di rute itu, salah satunya karena diduga punya koneksi dengan pejabat lokal hingga kementerian dan lembaga.
Lalu, mengapa sampai sekarang harga tidak turun?
”Pernah anak buah saya dilaporkan ke kementerian. Waktu itu barangnya belum dibongkar dari kapal dan dia bilang harus segera,” kata Ramli Baide, Pelaksana Harian Kepala Kantor Penyelenggara Pelabuhan Kelas III Daruba. Didatangi di tokonya, yang terletak sekitar 300 meter dari pintu Pelabuhan Daruba, pengusaha itu sedang duduk sambil menekan kalkulator di meja kasir. Ia tampak terusik setelah Kompas mengenalkan diri. ”Kenapa tanya harga barang?” tanyanya.
Belum sempat dijawab, ia menimpali, ”Sudah tahu fluktuasi harga di Jawa, kan?” Ia lalu menyebut harga satu karung gula pasir kemasan 50 kg di tokonya Rp 820.000 serta beras kemasan 25 kg seharga Rp 295.000. Ia masih tampak tak nyaman.
Ia lalu kembali menekan tombol kalkulator dengan keras. Penelusuran Kompas, gula pasir yang diangkut kapal tol laut itu dibeli di Surabaya dengan harga Rp 615.000 per karung. Harga di Surabaya diperoleh dari daftar harga yang ada di gerai Rumah Kita yang dikelola PT Pelni.
Rumah Kita
Di Rumah Kita yang berjarak sekitar 300 meter dari toko milik pengusaha itu, harga satu karung gula pasir Rp 695.000 dan satu karung beras Rp 280.000. Barang di Morotai sama-sama diangkut kapal tol laut.
Pemerintah menghadirkan program Rumah Kita. Rumah Kita ada di bawah kendali PT Pelni yang mengangkut barang melalui kapal tol laut. Kehadiran Rumah Kita itu diharapkan mengimbangi penguasaan pengguna tol laut lain yang enggan menurunkan harga. Rumah Kita bisa menjual barang lebih murah.
Sayangnya, barang-barang di Rumah Kita tidak dijual eceran dengan satuan terkecil seperti per kilogram. Beras dan gula pasir dijual per karung, sedangkan air mineral dan mi instan dijual per kardus. Warga pulau dengan penghasilan minim tidak bisa membeli sebanyak itu.
Mereka hanya bisa membeli dalam ukuran kilogram. Oleh karena itu, hampir semua barang di Rumah Kita diborong pedagang, lalu dijual kembali kepada masyarakat secara eceran dengan harga lebih tinggi.
Kadang pesan sepuluh kontainer, tetapi yang dikirim hanya lima. Rumah Kita butuh tambahan kuota.
La Ode Andan Almubarak, staf yunior perwakilan Rumah Kita Morotai, mengatakan, pihaknya mengingatkan pedagang yang membeli barang di Rumah Kita untuk tidak menjual barang di luar kewajaran. ”Paling banyak untung Rp 10.000 per karung,” ujarnya. Meski begitu, pihaknya tidak memiliki wewenang mengintervensi harga jual di pasaran.
Mereka juga tetap melayani pedagang yang jelas-jelas tidak mendukung semangat tol laut. Saat ini, mereka sedang berkoordinasi dengan pemerintah daerah agar bisa bekerja sama dengan badan usaha milik desa (BUMDes) sehingga harga jual bahan pokok tidak terlalu tinggi. Jika kerja sama itu terealisasi, Rumah Kita memerlukan tambahan kuota barang yang diangkut kapal tol laut.
”Kadang pesan sepuluh kontainer, tetapi yang dikirim hanya lima. Rumah Kita butuh tambahan kuota,” katanya. Kepala Bidang Perdagangan Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi Kabupaten Pulau Morotai Muhammad Takdir menyatakan, pemkab mengawasi dampak tol laut. Hasilnya, harga barang turun.
Ia menyodorkan lembaran daftar harga barang sebelum dan sesudah tol laut beroperasi. Saat disajikan temuan lapangan, Takdir terdiam. ”O... gitu, ya,” ujarnya. Ia bilang belum lama mengisi jabatan itu. Di Morotai, tol laut terasa manis bagi pebisnis, tetapi masih asam untuk warga seperti Moli.