Mantan Bendahara KPU Lamongan Selewengkan Dana Hibah Pilkada 2015 Rp 1,2 Miliar
Mantan bendahara Komisi Pemilihan Umum Lamongan, Jawa Timur, Irwan Setyadi, didakwa menyelewengkan dana hibah pemilihan kepala daerah 2015 senilai Rp 1,2 miliar.
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI
·4 menit baca
SIDOARJO, KOMPAS - Mantan bendahara Komisi Pemilihan Umum Lamongan, Jawa Timur, Irwan Setyadi, didakwa menyelewengkan dana hibah pemilihan kepala daerah 2015 senilai Rp 1,2 miliar. Kasus ini hendaknya dijadikan pelajaran berharga bagi penyelanggaraan pilkada serentak tahun ini agar lebih berhati-hati, transparan, dan akuntabel dalam mengelola anggaran serta mencegah penyimpangan.
Dakwaan terhadap Irwan Setyadi disampaikan oleh jaksa penuntut umum Kejaksaan Negeri Lamongan dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Surabaya, Rabu (11/3/2020). Sidang dipimpin oleh majelis hakim yang diketuai Tjokorda Gede Arthana.
Pemilihan umum Bupati dan Wakil Bupati Lamongan diselenggarakan 2015. Untuk melaksanakan kegiatan tersebut, Pemkab Lamongan menyiapkan anggaran yang bersumber dari APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun berjalan sebesar total Rp 34,3 miliar.
Terdakwa juga menggunakan sisa dana hibah dan pajak yang belum disetor ke kas negara untuk keperluan pribadi dan pengeluaran tidak tercantum dalam rencana kebutuhan belanja. Total nilai dana yang diselewengkan Rp 1,2 miliar (Ali Prakoso)
Dasar penggunaan anggaran itu adalah penandatanganan naskah perjanjian hibah daerah (NPHD) antara Pemkab Lamongan dengan KPU Lamongan yang dilakukan sebanyak dua kali. Pada penandatanganan NPHD tahap pertama yang dilakukan 30 Maret 2015, nilai yang disepakati sebesar Rp 27,8 miliar.
Karena ada tambahan, kebutuhan anggaran, KPU Lamongan mengajukan revisi ke Pemkab Lamongan dan dilakukan addendum NPHD menjadi Rp 34,3 miliar pada 28 Agustus 2015. Anggaran itu dicairkan dalam dua tahap yakni Rp 11 miliar dan Rp 23 miliar.
Adapun peruntukannya antara lain honorarium seluruh penyelenggara sebesar Rp 19 miliar, pelayanan administrasi perkantoran Rp 3,3 miliar, dan biaya penerangan/sosialisasi Rp 2,1 miliar, serta belanja barang cetakan dan pengadaan Rp 1,6 miliar.
Untuk keperluan pencairan dana, terdakwa selaku bendahara KPU Lamongan menyusun laporan bulanan pertanggungjawaban keuangan yang ditandatangani oleh Muhadjir selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA).
Tanpa surat perintah
Namun, berdasarkan hasil penyidikan ditemukan indikasi pelanggaran yang dilakukan oleh terdakwa Irwan Setyadi. Indikasi itu antara lain membayar tanpa surat perintah bayar yang ditandatangani oleh PPK (Pejabat Pembuat Komitmen) dan tanpa pengujian atas kebenaran hak tagih, nilainya Rp 727 juta.
Jaksa juga menemukan fakta, terdakwa membukukan belanja sebesar Rp 157 juta atas kegiatan yang tidak dilaksanakan, dan serta membukukan lebih tinggi Rp 89,4 juta dari pengeluaran sebenarnya. Selain itu terdakwa tidak menyetorkan pajak yang dipungut atau dipotong sebesar Rp 227 juta ke kas negara.
“Terdakwa juga menggunakan sisa dana hibah dan pajak yang belum disetor ke kas negara untuk keperluan pribadi dan pengeluaran tidak tercantum dalam rencana kebutuhan belanja. Total nilai dana yang diselewengkan Rp 1,2 miliar,” ujar Ali Prakoso.
Atas perbuatannya tersebut, terdakwa didakwa dengan tiga dakwaan sekaligus. Dakwaan primer, melanggar Pasal 2 Ayat 1 Juncto Pasal 18 Undang Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 64 Ayat 1 KUHP. Dakwaan subsider, melanggar Pasal 3 Juncto Pasal 18, atau melanggar Pasal 8 UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Menanggapi dakwaan jaksa, terdakwa melalui kuasa hukumnya Sihrul Bahi Al Haidar mengatakan pihaknya akan mengajukan nota keberatan atau eksepsi. Materinya antara lain terkait dengan uang oleh terdakwa yang hanya Rp 200 juta dan tidak sebesar yang didakwakan oleh jaksa Rp 1,2 miliar. Selain itu menurut Sihrul, pihak yang paling bertanggungjawab dalam penggunaan anggaran adalah KPA (Kuasa Pengguna Anggaran) dan bukan kliennya.
Sementara itu dosen hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus Surabaya Ahmad Sholikhin Ruslie mengatakan, kasus penyelewengan dana hibah pilkada 2015 lalu hendaknya menjadi pelajaran bagi penyelenggara pilkada terutama yang menggelar hajatan demokrasi tahun ini.
Hal itu disebabkan, dana operasional KPU memang rawan diselewengkan karena sistem pengawasannya masih lemah. Pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah daerah dan DPRD kabupaten/kota tidak optimal bahkan terkadang sarat kepentingan apalagi jika incumbent mencalonkan diri.
Ruslie menambahkan, persoalan dana hibah penyelenggara pilkada tidak hanya terletak pada saat penggunaan. Kerawanan terjadi sejak proses penganggaran (penyusunan anggaran) karena sarat konflik kepentingan dari berbagai pihak. Untuk meminimalkan penyelewengan, masyarakat harus dilibatkan dalam pengawasan sejak dini.
Caranya, KPU bisa menggunakan sistem penyusunan dan pelaporan anggaran secara daring (e-budgeting) sehingga masyarakat bisa mengawasi penggunaannya secara terus-menerus. Hal itu menuntut komitmen tinggi dari penyelanggara pilkada sebab butuh kejujuran (transparansi) dan sumber daya manusia yang memadai.