Pertahanan Negara Kepulauan
Dua masalah mengemuka awal 2020, yakni pencurian ikan dan wabah korona, membutuhkan pemikiran lebih dalam tentang desain pertahanan Indonesia sebagai negara kepulauan. Meskipun tak mudah, persatuan bisa mengatasi.
Dua masalah yang mengemuka pada awal 2020, yakni pencurian ikan dan wabah korona, membutuhkan pemikiran lebih dalam tentang desain pertahanan Indonesia sebagai negara kepulauan.
Masalah pertama, pencurian ikan dan pelanggaran batas zona ekonomi eksklusif (ZEE) di Laut Natuna Utara oleh kapal-kapal ikan China dan pasukan pengawal pantainya. Agresivitas China ini bukan tanpa konteks. Walaupun diperkirakan tidak akan melakukan agresi secara konvensional, China akan terus memperkuat posisinya di Laut China Selatan. Kehadiran China itu, ke depan, diperkirakan memicu konflik-konflik kecil di Laut Natuna Utara.
Masalah kedua adalah wabah virus korona (Covid-19). Dengan penularan yang begitu mudah, negara berbondong-bondong menutup diri sampai derajat tertentu. Hal yang paling dasar adalah menyaring orang-orang yang keluar masuk batas negara.
Untuk negara sebesar dan terbuka seperti Indonesia, hal ini sulit dilakukan. Negara ini memiliki 34 bandara internasional di sejumlah provinsi, pelabuhan-pelabuhan internasional, dan pelabuhan-pelabuhan tikus. Keterbatasan sumber daya manusia dan prasarana untuk memantau manusia yang keluar masuk menjadi titik lemah.
Baca juga: 25.000 Orang Isi Komponen Cadangan
Faktor geografi adalah hal yang menetap dalam menyusun strategi pertahanan sebuah negara. Walau bukan satu-satunya faktor, geografi sebuah negara, seperti formasi, letak, dan iklim, berakibat pada situasi dan kondisi sebuah negara. Akibat tidak langsungnya berkaitan dengan bagaimana negara itu mempertahankan diri. Pemikir strategi Colin S Gray dalam tulisannya Geography and Strategy mengatakan, faktor geografi memberikan kesempatan sekaligus tantangan pada sebuah negara untuk memilih kebijakan dan strateginya.
Faktor geografi adalah hal yang menetap dalam menyusun strategi pertahanan sebuah negara.
Namun, bentuk negara kepulauan tidak serta-merta membuat Indonesia menjadi negara dengan kekuatan maritim. Kekuatan maritim tidak hanya membutuhkan karakter maritim yang melihat ke luar, penuh petualangan, tetapi juga teknologi terkait kapal, pelabuhan, pengolahan ikan, kemampuan menjaga dan mengeksploitasi laut.
Kiprah di laut juga berarti kekuatan di darat sudah mapan karena kekuatan maritim merupakan proyeksi dari pemerintah yang ada di darat. Masalahnya, kondisi darat belum juga mapan, terutama dari sisi keamanan. Oleh karena itu, tidak heran pertahanan RI bersifat melihat ke dalam, di mana TNI lebih banyak menghadapi separatisme dan pemberontakan.
Kesadaran akan identitas sebagai negara maritim menguat. Walaupun realisasinya terhambat, wacana Presiden Joko Widodo tentang Poros Maritim Dunia menggugah kembali pemikiran tentang negara maritim. Bahkan, mantan KSAD Jenderal (Purn) Mulyono tahun 2018 menulis buku tentang Strategi Perang Gerilya Negara Kepulauan. Walau belum spesifik, Mulyono menggarisbawahi tentang perang yang tidak lagi linier serta pentingnya komando gabungan darat, udara, dan laut dalam pertahanan negara kepulauan.
Yang terbaru, Kebijakan Pertahanan Negara 2020 yang ditandatangani Menteri Pertahanan Prabowo Subianto memberi penekanan pada pertahanan laut dan udara. Penguatan kerja sama maritim dalam rangka memperkuat arsitektur keamanan di Laut China Selatan menjadi agenda penting tahun ini, selain upaya mewujudkan zona identifikasi pertahanan udara (ADIZ) dan pemantauan dengan drone.
Indo-Pasifik
Pakar maritim Geoffrey Till di Center for Strategic and International Studies, Jakarta, akhir Januari lalu menyebutkan tentang pentingnya pulau dalam strategi maritim di kawasan Indo-Pasifik saat ini. Strategi ini jelas dilakukan China. Tidak hanya dengan membangun pulau-pulau artifisial, China juga membangun batas maya berupa rangkaian pulau pertama dan kedua untuk mendapatkan kedalaman strategis.
Till juga mencatat, operasi maritim di kawasan Indo-Pasifik lebih banyak didominasi operasi yang dekat dengan garis pantai, tidak lagi di laut bebas.
Teater Indo-Pasifik kini didominasi strategi perang kepulauan. Untuk merespons China, Amerika Serikat dan beberapa sekutunya menggunakan beberapa pulau untuk pangkalan aju. Walaupun perang modern diperkirakan tak lagi linier, terlihat bahwa AS membuat bidang-bidang pertahanan depan. Untuk bisa berhasil, AS yang jaraknya jauh harus bisa membangun rangkaian logistik yang solid.
Salah satu strategi yang digunakan adalah menjalin hubungan diplomasi yang kuat dengan negara-negara di Indo-Pasifik. Ini dilakukan dengan membangun persenjataan berdaya jangkau jauh serta persiapan menghadapi China yang berusaha menutup akses AS di Laut China Selatan dengan strategi anti-access/area denial, terutama dengan gelombang elektromagnetik.
Oleh karena itu, salah satu strategi yang digunakan adalah menjalin hubungan diplomasi yang kuat dengan negara-negara di Indo-Pasifik. Ini dilakukan dengan membangun persenjataan berdaya jangkau jauh serta persiapan menghadapi China yang berusaha menutup akses AS di Laut China Selatan dengan strategi anti-access/area denial, terutama dengan gelombang elektromagnetik.
Indonesia
Realisasi pertahanan negara kepulauan tentu tidak sederhana, apalagi murah. Hal yang esensial adalah teknologi canggih dengan harga yang mahal serta awak yang mumpuni dan adaptif terhadap teknologi.
Kombinasi antara penggunaan hasil industri pertahanan dalam negeri dan pembelian dari luar negeri harus secara teliti dipadupadankan. Seharusnya tidak ada lagi niat korupsi karena orkestrasi matra laut, darat, dan udara kian penting. Reorganisasi TNI sekiranya tidak untuk kepentingan mengisi jabatan semata, tetapi ada penekanan untuk kebutuhan pertahanan juga.
Selain itu, dua masalah pertahanan (pencurian ikan dan wabah korona) menunjukkan, pertahanan bukan hanya tugas TNI, melainkan hasil sinergi banyak pihak. Selain peningkatan kemampuan TNI, perlu juga dibangun pertahanan kepulauan secara komprehensif.
Pembangunan bandara internasional perlu memikirkan juga kepentingan pertahanan dan keamanan. Terlalu banyak gerbang dengan infrastruktur, seperti imigrasi dan bea cukai yang minim meningkatkan risiko yang belum tentu sebanding dengan hasilnya.
Secara ekonomi, pulau bisa menjadi pusat pengolahan sumber daya laut, seperti ikan, migas, dan logam yang ada di landas kontinen. Karena itu, infrastruktur, seperti listrik, harus terpenuhi dengan efektif dan efisien agar berkelanjutan. Begitu juga fasilitas umum dan pendidikan sehingga memajukan masyarakat.
Karena itu, perundingan batas-batas dengan negara-negara tetangga perlu semakin diintensifkan. Sementara, keberadaan masyarakat sipil yang berdaya perlu ditopang pemerintah.
Kedua, pulau terluar adalah lambang berdaulatnya suatu bangsa. Karena itu, perundingan batas-batas dengan negara-negara tetangga perlu semakin diintensifkan. Sementara, keberadaan masyarakat sipil yang berdaya perlu ditopang pemerintah. Misalnya menguatkan nelayan di Natuna dan Laut Aru daripada mendatangkan dari daerah lain.
Baca juga: Pasukan TNI yang Terkonsentrasi di Jawa Bakal Segera Digeser ke Perbatasan
Ketiga, regulasi terkait ruang perlu dibenahi. Contohnya, Deputi IV Kemenko Polhukam Rudianto dalam seminar di Pusat Kajian Strategis TNI, Rabu (26/2/2020), mengatakan, ada 13 kementerian/lembaga yang menangani keamanan laut berdasarkan 15 regulasi yang berbeda. Walaupun omnibus law keamanan laut menjadi usulan solusi saat ini, yang lebih penting adalah menghapus ego sektoral tiap institusi agar bisa bekerja sama dengan efektif dan efisien.
Keempat, gelar pasukan TNI perlu punya mobilitas dan tingkat adaptasi yang tinggi. Doktrin operasi gabungan perlu diuji terus-menerus. Pangkalan terintegrasi yang merupakan pangkalan aju juga perlu segera direalisasikan. Penyiapan sumber daya manusia yang berkualitas juga penting untuk mengisi strategi pertahanan negara kepulauan yang tepat.