Rumah aman penting bagi anak berhadapan dengan hukum. Jangan sampai mereka ditempatkan di lembaga pemasyarakatan bercampur dengan narapidana dewasa. Hal itu akan meninggalkan trauma.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·3 menit baca
CIREBON, KOMPAS — Sebagian besar pemerintah daerah di Kota Cirebon, Kabupaten Cirebon, Indramayu, Majalengka, dan Kuningan atau Ciayumajakunung di Jawa Barat belum memiliki rumah aman bagi anak berhadapan dengan hukum. Akhirnya, mereka ditempatkan di rumah tahanan selama menjalani proses peradilan.
Kepala Balai Pemasyarakatan (Bapas) Kelas I Cirebon Nuridin mengatakan, saat ini hanya Kabupaten Cirebon yang memiliki rumah aman bagi anak yang berhadapan dengan hukum. Sementara pemerintah daerah lain di kawasan Ciayumajakuning belum punya.
”Akhirnya, mereka dititipkan di rumah tahanan (rutan) yang masih satu lingkungan dengan narapidana dewasa,” ujar Nuridin saat bersilaturahmi dengan Bupati Cirebon Imron Rosyadi, Kamis (12/3/2020). Kondisi tersebut dinilai memengaruhi psikologis anak dengan usia di bawah 18 tahun.
Seorang anak, lanjut Nuridin, sebisa mungkin tidak menginjak penjara selama proses peradilan, tetapi berada di rumah aman. Anak yang berada di rutan dapat merasa disamakan dengan orang dewasa yang tersangkut kasus pidana.
Oleh karena itu, pihaknya mengapresiasi Pemerintah Kabupaten Cirebon yang telah menyiapkan fasilitas itu. Rumah aman antara lain diatur dalam Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 15 Tahun 2010 tentang Pedoman Penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum.
”Apalagi, jumlah ABH (anak berhadapan dengan hukum) sangat tinggi sekali di sini,” katanya.
Sejak Januari hingga awal Maret 2020 tercatat sebanyak 47 kasus ABH di wilayah Ciayumajakuning. Sebanyak 25 kasus di antaranya berasal dari Kabupaten Cirebon. Tahun lalu, tercatat 115 kasus ABH, termasuk 30 kasus dari Kabupaten Cirebon. Jumlah ini meningkat dibandingkan pada tahun sebelumnya, yakni 85 kasus.
Kepala Seksi Bimbingan Klien Anak Bapas Kelas I Cirebon Eris Rastiyah menambahkan, sebagian besar kasus ABH terkait tawuran. ”Kasus terbanyak berada di Kota dan Kabupaten Cirebon,” katanya.
Bahkan, awal Januari lalu, Asmail Sevani (15), warga Desa Astana, Kecamatan Gunung Jati, meregang nyawa setelah terlibat tawuran. Anak putus sekolah di bangku SMP itu tersulut emosi setelah saling menantang tawuran dengan kelompok pemuda lain melalui media sosial.
”Penyebab anak berhadapan dengan hukum adalah minimnya pendampingan dan perhatian dari keluarga dan lingkungannya,” kata Eris. Untuk itu, pihaknya akan mengajak tokoh masyarakat berperan aktif mencegah anak tersandung masalah hukum.
Penyebab anak berhadapan dengan hukum adalah minimnya pendampingan dan perhatian dari keluarga dan lingkungannya.
Kepala Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kota Cirebon Iing Daiman mengatakan, pihaknya sudah memiliki rumah aman sejak 2009. Rumah tersebut untuk penanganan kasus kekerasan dalam rumah tangga, termasuk kekerasan pada anak. ”Di sana, kami memberikan pendampingan psikolog hingga dokter,” ujarnya.
Iing mengakui, kasus penganiayaan atau tawuran mendominasi di Kota Cirebon. Untuk mencegahnya, diluncurkan program pekerja sosial go school. Tugasnya mengampanyekan antiperundungan, kekerasan, dan pencegahan kekerasan sosial. ”Kami sudah ke enam sekolah dari berbagai tingkatan. Tahun ini targetnya semua sekolah,” katanya.