Menyusup di Antara Pengungsi
Wartawati ”Kompas” menyamar sebagai pengungsi dan tinggal di pengungsian korban banjir untuk melihat dari dekat keseharian mereka.
Berkaos oblong, celana jins belel, sandal jepit, dan menggendong tas punggung, saya meluncur ke tempat pengungsian di kolong jalan layang Pamanukan, Subang, Jawa Barat, Kamis (27/2/2020). Jaraknya sekitar 50 kilometer dari tempat tinggal saya di Purwakarta.
Setelah membasuh kaki dengan cairan antiseptik, saya pun duduk di atas tikar. Saat mengoleskan minyak kayu putih pada kaki, ada tawaran tak terduga yang diberikan pada saya.
”Neng, silakan diambil rotinya. Besok banjirnya pasti surut,” kata seorang sukarelawan. Ucapan itu membuyarkan lamunan, baru beberapa menit duduk, kamuflase menjadi pengungsi berhasil. ”Haturnuhun, mang,” jawab saya.
Di kolong jalan layang ini, tak ada dapur umum. Penghuninya harus berebut kebutuhan pokok. Saya memperhatikan gerak-gerik mereka. Lalu, saya berkenalan dengan keluarga Ibu Nyai (48), warga Desa Mulyasari, Kecamatan Pamanukan.
Sejak Senin (24/2/2020), dia dan warga lainnya mengungsi di tempat itu. Hari itu, dia bersama Sulistia (21), menantunya, tidur tanpa sekat pembatas dan berdampingan dengan debu jalanan Pantura. Tak sedikit sampah yang terserak di tikar-tikar itu.
Di beberapa sudut, bekas wadah nasi bungkus menimbulkan bau tak sedap. Untuk membersihkan diri, sebagian memilih mandi di tepi Sungai Cipunagara, toko swalayan, atau rumah kerabat. Beberapa kali saya ditawari makan oleh Sulistia, tetapi saya menolaknya. Saya tidak tega mengambil jatah mereka. Mereka memberi dari kekurangannya.
Sekitar pukul 23.30, warga masih usak-usek mencari posisi ternyaman. Mereka tidur beralaskan tikar, sebagian tidur di atas kasur yang masih bisa diselamatkan dari banjir. Tak ada bantal apalagi guling. Hanya lengan yang ditekuk jadi tumpuan kepala.
Sejak awal Januari 2020, banjir menjadi salah satu musibah paling sering melanda sebagian Karawang dan Subang, wilayah liputan saya. Tak terhitung berapa kali saya datang menyambangi berbagai lokasi agar dapat bertemu dengan korban terdampak.
Interaksi dengan mereka tidak berlangsung lama. Saya harus mengambil gambar di beberapa lokasi. Maklum, jarak titik-titik banjir ini cukup jauh, berkisar 37-50 kilometer dari tempat tinggal saya. Manajemen waktu yang baik sangat dibutuhkan agar berita dapat dikirim segera.
Bagi saya, liputan bencana memiliki ketegangan tinggi, khususnya banjir. Ada banyak kekhawatiran di kepala sebelum berangkat, mulai dari takut dipatok ular, menginjak paku, terkena leptospirosis, hingga terpeleset atau hanyut.
Selain berpegang pada kekuatan doa, saya juga menyiapkan amunisi guna meminimalkan risiko tersebut, antara lain vitamin, cairan antiseptik, minyak kayu putih, minyak urang-aring (menghindari gatal), dan pakaian ganti.
Di tengah situasi banjir pasti disertai gerimis. Beberapa hari bolak-balik naik sepeda motor ke lokasi ternyata cukup melelahkan. Ah, raga saya juga manusia biasa, merasa capek, dan kadang ingin sambat.
Saya pun bercerita kepada pimpinan Kompas di Jawa Barat tentang hal tersebut. ”Jauh banget lokasi banjirnya, Mas. Mau nangis aku,” keluh saya.
Kemudian, dia menyarankan agar saya menginap di pengungsian atau penginapan terdekat sementara waktu. Saran itu saya ikuti. Jujur, saya merasa kurang nyaman saat meninjau ke beberapa tempat pengungsian korban banjir.
Namun, di tengah segala keterbatasan, liputan harus terus dilakukan. Selain di jembatan layang, saya berkeliling mengambil gambar di beberapa titik banjir di Kecamatan Pamanukan, Subang, Jawa Barat, Kamis siang. Setelah menceburkan kaki ke banjir setinggi 30-60 sentimeter, saya bergegas mencari tempat pengisian bensin atau toko swalayan sebelum gatal-gatal menyergap.
Apalagi di samping lokasi saya memotret, ada beberapa anak yang bermain-main buang air kecil sambil mencipratkan air ke udara. Kalau selang waktunya lama, kemungkinan bisa semakin gatal ini.
Setiap ada mobil yang berhenti, mereka bergegas mendekat. ”Hukum rimba” berlaku di pengungsian ini. Saya menyaksikan percekcokan antarwarga yang berebut bantuan. Seperti kata Sulistia, ”Kalau tidak berebut dan hanya diam, yang lapar akan kelaparan.”
Hari semakin larut, angin malam dingin menyapa pinggir jalan pantura. Namun, interaksi antara satu keluarga dengan lain seolah menghangatkan. Mereka mengobrol dalam kegelapan–saya di tengah mereka-diiringi gaduhnya kendaraan yang melintas. Obrolan malam itu tertuju pada kekesalan mereka terhadap banjir.
”Mau protes dan marah, tapi kami hanya warga kecil (pasti tak didengar). Beruntung masih diberi selamat,” kata Nyai. Beberapa saat kemudian, saya meninggalkan mereka beralih ke lokasi pengungsian di tempat lain.
Lepas menghabiskan malam di kolong jembatan layang, saya menyaru ke tengah 50-an pengungsi diaAula Gereja Katolik Bunda Pembantu Abadi yang berkapasitas 400 orang. Malam itu, ruangan lebih leluasa, kontras dengan malam sebelumnya ada 450 orang mengungsi.
Belum terbiasa, mata saya terjaga hingga dini hari, hampir setiap jam saya terbangun untuk membetulkan posisi tas yang digunakan sebagai bantal. Sesekali saya mengamati, pengungsi yang terbangun dan kebelet pipis, tetapi persediaan air bersih di toilet habis.
Mereka terpaksa menahan pipis dan kembali tidur. Repot sekali. Menjelang subuh, mereka sudah berkemas untuk kembali ke rumahnya.
Dari balik pengungsian, kegeraman mereka tertutupi ketidakberdayaan. Mereka hanya bisa menyandarkan harapan agar musibah ini tak terulang kembali. Biarkan pemangku kepentingan itu menyelami rasanya jadi korban banjir dan harus mengungsi. Dengan demikian, semoga ada hati yang tersentuh dan mata yang terbuka lebar untuk mencari solusi dari permasalahan ini.