Enggang Gading, Burung Eksotik yang Kini Diambang Kepunahan
Enggang gading (Rhinoplax vigil) berperan penting dalam sistem ekologis hutan, bahkan dalam budaya masyarakat Dayak di Kalimantan. Sayangya, burung maskot Kalimantan Barat ini tinggal selangkah lagi menuju kepunahan.
Enggang gading (Rhinoplax vigil), burung maskot Kalimantan Barat itu, sarat dengan kisah legenda. Salah satunya sebagai penjelmaan Panglima Burung. Burung itu juga ”petani hutan” karena menyebar biji-bijian. Namun, burung eksotis itu kini diambang kepunahan karena perburuan.
Alkisah, ada seorang anak muda yang gagah berani. Pemuda itu hendak mendapatkan anak gadis seseorang yang mempunyai kedudukan di Rumah Betang. Namun, si calon mertua bertindak semena-mena.
Merasa diperlakukan tidak adil, pemuda itu mencoba melawan karena ada ketidakadilan yang menimpanya. Dia menebang Rumah Betang yang dihuni calon mertuanya. Bunyi benturan saat ia menebang Rumah Betang milik mertuanya itu ”tang tung tang tung kakakakakakak”. Suara itu merupakan suara yang menyerupai suara enggang gading.
Melihat dia memiliki kepribadian bagus, dia diangkat Yang Maha Kuasa menjadi enggang gading. Dia pun menjelma menjadi enggang gading. Sebab, dia adalah orang yang gagah berani dan tidak menempuh cara-cara yang ”menjilat”. Meskipun calon mertuanya yang berbuat kebatilan, dia tetap melawan. Dia memiliki jati diri.
Ada berbagai legenda yang hidup di kalangan masyarakat Dayak terkait enggang gading. Enggang gading juga diyakini sebagai penjelmaan Panglima Burung. Saat-saat diperlukan ia bisa hadir menjadi Panglima Burung. Mereka adalah orang yang dianggap suci.
”Legenda ini hidup, misalnya di kalangan masyarakat Dayak Uud Danum dan Desa,” ujar Budi Suriansyah, penggagas maskot Kalimantan Barat, Rabu (26/2/2020) malam, dalam diskusi Mencari Enggang Gading. Enggang juga dianggap merupakan kendaraan dewa-dewa. Dia merupakan penyampai pesan dari ”Alam Atas” ke dunia atau perantara.
Bagi kelompok masyarakat Dayak, khususnya Iban, berpandangan, enggang merupakan salah satu satwa sakral. ”Secara mitologi enggang gading berasal dari manusia yang kemudian berubah menjadi enggang. Karena berubah wujud, diterjemahkan sebagai penghubung manusia dengan Yang Maha Kuasa,” kata Krissusandi Gunui’, Direktur Eksekutif Institut Dayakologi.
Baca juga: Mengingat Kembali Teori ”Inovasi yang Mengganggu”
Enggang bisa juga dikatakan raja dari hewan yang lain karena selalu berada di wilayah yang paling tinggi. Enggang membawa benih dari satu tempat ke tempat lain. Dia layak menjadi penghubung kepada Sang Pencipta. Karena enggang dianggap jelmaan orang-orang yang dianggap suci, maka diyakini dia turun dari ”Alam Atas”.
Pada suatu ketika suara enggang gading juga ditafsirkan sebagai pertanda sesuatu. Maka, enggang gading sebetulnya tidak boleh dibunuh. Setiap subsuku Dayak ada mitologinya sendiri-sendiri. Bahkan, kalau dia sakit, harus diobati. ”Namun, ada juga mungkin di kalangan sub-Dayak tertentu tidak meyakininya demikian,” kata Krissusandi.
Enggang gading merupakan keluarga Bucerotidae. Menurut Budi, di dunia, enggang ada di Afrika dan Asia. Enggang memiliki 14 genus (marga) dan 57 spesies (jenis). Di Sumatera ada 10 jenis, Kalimantan 9 jenis, Jawa 3 jenis, Sulawesi 2 jenis, Papua 1 jenis dan Sumba 1 jenis.
Etnografi
Enggang gading dipilih sebagai maskot Kalimantan Barat salah satunya dilihat dari tinjauan sisi etnografi, yakni dari kisah-kisah legenda. Dari sisi etnografi juga bisa dilihat dari aspek filosofi enggang gading sendiri. Bulu enggang gading bagian atas putih, di tengahnya hitam, di bawahnya putih. Pada bagian atas filosofinya kekuasaan Ranying Hatalla (Yang Tunggal) beserta manifestasi-Nya.
Warna hitam di tengah melambangkan alam kehidupan manusia di dunia (pantai danum kalunen) yang penuh dengan rintangan dan cobaan. Sementara di bagian bawah berwarna putih melambangkan kekuasaan Jatha Balawang Bulau (penguasa alam bawah).
Baca juga:Polda Jawa Timur Mengungkap Kasus Perdagangan Satwa Dilindungi
Enggang juga dikeramatkan. Enggang hanya hidup di tempat tinggi, juga simbol keluhuran dan kepemimpinan. Enggang juga jenis burung yang setia melambangkan kesetiaan dan tanggung jawab. Suaranya yang melengking keras simbol ketegasan, keberanian dan budi luhur. Bersayap lebar dan tebal simbol menaungi, kekuasaan dan kekuatan.
Berekor panjang menjuntai simbol kemakmuran. Enggang yang tidak mencari makan di tanah sebagai simbol kesucian dan tidak serakah. Itulah filosofi enggang gading bagi masyarakat Dayak.
Enggang juga terdapat pada ornamen bangunan, perisai dan mandau. Enggang gading juga direfleksikan dalam tarian, dengan berbagai sebutan, ada yang menyebut tarian sebagai nganjat, ngasai, ada juga purak barik.
Eksotik
Enggang gading dijadikan maskot juga karena keeksotisannya. Enggang gading merupakan jenis Bucerotidae terbesar di Asia. Bentuk perawakan tubuh sangat khas dan elegen. Warna tubu lebih indah, mencolok, dan kontras.
Enggang gading hanya memiliki satu pasangan selama hidupnya. Setiap pasangan enggang gading memiliki daerah teritorial. Hanya enggang gading yang memiliki balung (casque) yang besar dan padat di bagian atas paruh. Fungsi balung untuk bertarung.
Enggang gading penerbang yang tangguh. Ketinggian terbang mencapai 1.000 meter. Suara desingan dan kepakan sayap lebih nyaring dibandingkan jenis Bucerotidae lainnya dan memiliki daya jelajah cukup luas, umumnya pada hutan hujan tropis yang tinggi.
Baca juga: Julang Sang Petani Hutan di Tanah Sumba
Burung ini hanya bisa bertahan hidup pada hutan dataran tinggi yang memiliki tajuk emergen di atas 30 meter, diameter pohon rata-rata di atas 60 sentimeter. ”Ini sebagai indikator kelestarian hutan sebetulnya,” kata Budi.
Enggang gading juga sebagai penyebar biji yang potensial. Dalam sehari memakan 54 jenis buah hutan. Secara ekologis berperan penting menjaga dinamika hutan tropis melalui pemencaran biji buah yang dimakan.
Keeksotisan enggang gading sudah terkenal sejak abad ke-2. Pada masa itu, enggang gading menjadi barang barter para pedagang India yang datang ke Indonesia. Kemudian, menjadi barang perdagangan ke China abad ke-14 masa Dinasti Ming. Permintaan pasar untuk kerajinan di China meningkat pada pertengahan abad ke-16, tepatnya pada masa Dinasti Ching.
Di ambang kepunahan
Budi menuturkan, pada 2014, dengan luas hutan Kalimantan sekitar 29 juta hektar, potensi habitatnya hanya 2,6 juta hektar. Kondisi enggang gading juga terancam. Pada 2013, khusus di Kalimantan Barat, terdapat 6.000 enggang gading mati karena diambil paruhnya.
”Namun, diperkirakan jumlah yang mati lebih dari itu. Karena setiap 1 ekor enggang mati, secara keseluruhan akan ada 3 enggang yang mati, yakni anak dan istrinya. Maka, yang mati sebetulnya bisa lebih dari itu. Setidaknya ada 11.000 ekor yang mati,” kata Budi.
Enggang gading menjadi maskot karena selain dari sisi etnografi dapat pula mewakili kisah di berbagai legenda. Kemudian, mewakili filosofi di berbagai artefak, ornamen, dan simbol-sombil serta eksotis. Keterancamannya tinggi dibandingkan jenis Bucerotidae lainnya.
Yokyok Hadiprakarsa, pendiri dan peneliti utama Rangkong Indonesia, menuturkan, sejak 1999 ia melakukan penelitian enggang gading. Ia menggali informasi di masyarakat dan universitas. Awalnya, di lapangan ia menemukan paruh enggang gading diperjualbelikan.
Baca juga: Diluncurkan, Buku Identifikasi Satwa Kalimantan
Rangkong Indonesia adalah unit dari Yayasan Rekam Nusantara yang fokus pada konservasi rangkong/enggang gading di Indonesia sejak 2013 secara kelembagaan. Namun, secara pribadi sejak 1999. ”Pada 2012-2013, pemburu mendapat 40 ekor dalam seminggu. Paruh enggang gading dijual ke China untuk diukir dan jadi liontin,” ujar Yokyok.
”Yang membeli bisa dikatakan juga orang kaya baru saat perekonomian China meroket. Permintaan besar pada 2012 karena dugaannya banyak orang kaya baru. Yang diketahui hanya dari yang disita Pemerintah Indonesia, Malaysia, dan Amerika Serikat. Totalnya pada 2012-2019 sekitar 3.700 paruh. Terakhir di pengujung tahun lalu di Sarawak, Malaysia, terungkap ada 140-an paruh enggang gading yang diungkap,” ujarnya.
Pada 2012-2013, pemburu mendapat 40 ekor dalam seminggu. Paruh enggang gading dijual ke China untuk diukir dan jadi liontin.
Itu baru ”puncak gunung es”. Diperkirakan bisa lebih dari itu. Populasinya di Sumatera, Kalimantan habitat terbesar, ada juga di semenanjung Malaysia. Populasi kecil di Thailand dan Myanmar.
Di Kalimantan belum diketahui pasti pusat populasi persisnya di mana karena belum ada melakukan penelitian secara detail karena tidak banyak yang tertarik meneliti faktor kendala pendanaan dan sebagainya. Apalagi, daya jelajah enggang gading luas di hutan. Kalau secara umum keberadaannya bisa diketahui, berdasarkan perjumpaan saja.
”Semua enggang gading statusnya dilindungi. Enggang gading satu langkah lagi menuju kepunahan (critical endangered) karena maraknya perburuan. Tingkat krisisnya luar biasa,” ujar Yokyok.
Jika enggang gading punah, hutan Kalimantan akan ”sakit”. Sebab, engganglah yang menyehatkan karena penyebar biji atau petani hutan. Apalagi, sedikitnya 200.000 biji disebarkan enggang gading dalam setahun. Tingkat keberhasilan bijinya tumbuh diperkirakan di atas 60 persen.
Semua enggang gading statusnya dilindungi. Enggang gading satu langkah lagi menuju kepunahan karena maraknya perburuan.
Krissusandi, mengungkapkan, karena enggang gading sakral, sebetulnya tidak ada yang membunuhnya. Namun, dalam perkembangannya, ada krisis ekologis yang terjadi karena hutan primer banyak dibabat untuk alih fungsi lahan ekstraktif. Habitatnya habis.
Baca juga: Air Mata untuk Hutan Kalimantan
Hal itu juga berdampak pada krisis budaya. Hutan sebagai sumber penghasilan masyarakat habis dibabat, sumber penghidupan kurang. Maka, masyarakat cenderung mencari hal instan termasuk menjual balung enggang gading. Hal itu berdampak pada krisis budaya yang dahulu itu dihargai sakral kini perlahan terkikis.
Kemudian, sering pula dijumpai dalam pakaian adat menggunakan balung enggang gading. Sebetulnya dahulu itu tidak boleh sembarangan dipakai. Balung enggang itu diambil hanya dari enggang yang sudah mati, tetapi bukan mati dibunuh. Itu pun hanya orang-orang dianggap bertuah yang menemukan dan boleh memakainya.
Enggang yang mulai habis pertanda alam semakin rusak. Menyelamatkan enggang selain dengan menjaga alam juga hendaknya ada alternatif menumbuhkan kembali sumber ekonomi yang lama redup, misalnya karet. Bisa juga menjaga alam dengan mengembangkan wisata pengamatan enggang melalui ekowisata enggang.
Baca juga: Kaum Muda dan Masa Depan Hutan Kalimantan