Rehabilitasi-Rekonstruksi Rumah akibat Gempa Lombok Belum Tuntas Dikerjakan
Meski masa transisi rehabilitasi dan rekonstruksi telah diperpanjang tiga kali, masih banyak rumah tahan gempa pascagempa Lombok Juli-Agustus 2018 belum tuntas dikerjakan.
Oleh
·4 menit baca
MATARAM, KOMPAS — Meski masa transisi rehabilitasi dan rekonstruksi telah diperpanjang tiga kali, masih banyak rumah tahan gempa pascagempa Lombok Juli-Agustus 2018 belum tuntas dikerjakan. Alasannya, di beberapa kabupaten terdampak terjadi anomali data yang menjadikan uang insentif di rekening kelompok masyarakat tidak bisa dicairkan untuk memulai pembangunan rumah tahan gempa.
”Ada kabupaten-kota yang tengah memvalidasi data. Uang sudah ada di rekening warga terdampak gempa, tetapi untuk pencairannya harus membentuk pokmas (kelompok masyarakat) yang mencairkan uang. Sampai sekarang pokmas belum ada, bagaimana mau mencairkan dananya,” kata Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah NTB Ahsanul Khalik, Jumat (13/3/2020), seusai Rapat Koordinasi Percepatan Penanganan Pascagempa Bumi di Kantor Gubernur NTB, Mataram, Lombok.
Ada kabupaten-kota yang tengah memvalidasi data. Uang sudah ada di rekening warga terdampak gempa, tetapi untuk pencairannya harus membentuk pokmas (kelompok masyarakat) yang mencairkan uang. Sampai sekarang pokmas belum ada, bagaimana mau mencairkan dananya.
Berdasarkan data Review Inspektur Utama BNPB, per 12 Maret 2020, dari tujuh kabupaten-kota terdampak gempa, tercatat rumah rusak berat berjumlah 74.707 unit, meliputi 53.332 unit (71 persen) selesai dikerjakan, 19.424 unit (26 persen) dalam proses pengerjaan, dan 1.951 unit (2,61 persen) belum dikerjakan. Rumah rusak sedang yang belum dikerjakan sebanyak 4.567 unit dan rusak ringan 10.128 unit.
Rumah rusak berat, sedang, dan ringan yang belum dikerjakan terbanyak terdapat di Lombok Utara (1.800 unit) dan Lombok Tengah (75 unit). Padahal, pemerintah memperpanjang masa transisi rehabilitasi-rekonstruksi tiga kali, terakhir selama 31 Desember 2019-31 Maret 2020.
Ahsanul mengatakan, perkembangan rehabilitasi dan rekonstruksi di beberapa kabupaten-kota, seperti Kota Mataram, bisa selesai sebelum masa transisi berakhir karena perkembangannya mencapai di atas 90 persen. Sementara kabupaten lain harus menyelesaikan persyaratan administrasi, pembentukan pokmas, dan lainnya dalam 19 hari masa transisi berakhir.
”Harus optimistis, disertai kerja keras untuk menyelesaikan validasi data dan persyaratan administrasi. Kalau tidak selesai, atau mungkin masa rehabilitasi-rekonstruksi diperpanjang, pembangunan rumah tahan gempa bisa melalui dana hibah, bukan dana siap pakai,” tutur Ahsanul.
Dia optimistis rehabilitasi dan rekonstruksi akan selesai tepat waktu asalkan BPBD kabupaten-kota bersama pokmas, fasilitator, dan aplikator bekerja keras untuk menyelesaikan persyaratan administrasi dan teknis, untuk memanfaatkan waktu 19 hari hingga masa transisi rehabilitasi dan rekonstruksi berakhir. Di beberapa kabupaten-kota yang pencapaiannya di atas 90 persen, pembangunan rumah tahan gempa bisa selesai tepat waktu.
Lambannya penyelesaian itu, seperti dikatakan Kariadi (35), warga Desa Karang Bajo, Lombok Utara, Kecamatan Bayan, Lombok Utara, disebabkan ada warga yang rumahnya rusak berat. Untuk membangun ulang, seluruh bangunan rumah harus dibongkar total meski warga itu menolak dan hanya ingin menerima dana insentif sebesar Rp 50 juta per unit untuk perbaikan rumah rusak berat. Ada juga pencatatan ganda, yaitu satu nama tercatat dua kali dalam daftar penerima insentif.
”Awalnya tercatat 757 rumah rusak berat, sedang, dan ringan. Namun, setelah diverifikasi, hanya 668 unit yang mendapat insentif. Pengurangan jumlah penerima antara lain karena rumahnya dikategorikan rusak berat. Kalau dibangun lagi, agar sesuai persyaratan teknis, seluruh bangunan harus dirobohkan dan ditolak masyarakat. Mereka ingin terima uang saja,” tutur Kariadi. Warga desa itu memilih rumah tahan gempa model Rumah Instan Konvensional, Rumah Instan Struktur Baja (Risba), dan Rumah Instan Kayu (Rika).
Lunasi pembayaran
Deputi I Bidang Koordinasi Kerawanan Sosial dan Dampak Bencana Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Dody HGS mengatakan, pembangunan rumah tahan gempa di NTB yang mendapat gelontoran dana sebesar Rp 5,7 triliun menjadi wujud nyata kehadiran pemerintah di tengah masyarakat.
Namun, dari hasil monitoring dan evaluasi, pembangunan rumah tahan gempa di NTB belum sesuai harapan. Misalnya, adanya anomali data yang kemudian menghambat percepatan rehabilitasi dan rekonstruksi mestinya tidak perlu terjadi.
”Kerja seperti ini bukan berdasarkan kebutuhan dan keinginan. Sepertinya tidak ada kerusakan dan kerugian, namanya terdaftar (sebagai penerima insentif). Tadi juga disebutkan ada yang sudah dapat, kok dapat lagi. Ini anomali data,” ujarnya.
Oleh sebab itu, Dody memberikan delapan penekanan guna menuntaskan rehabilitasi dan rekonstruksi berdasarkan persoalan yang terungkap dalam rapat itu serta monitoring dan masukan di lapangan. Misalnya, kalau ada aplikator yang bekerja dengan benar dan pekerjaannya sudah diverifikasi, mestinya pembayarannya dilunasi.
”Jangan dibayar 80 persen, yang 20 persen belum. Buat apa (pembayarannya ditahan). Terus kalau ada pokmas, aplikator, dan fasilitator yang bermasalah dengan hukum, harus ditindaklanjuti. Tadi, kan, dari Polda NTB menyampaikan ada 11 kasus rehab-rekon yang sedang dalam proses hukum,” tutur Dody.