PALEMBANG, KOMPAS — Program restorasi lahan gambut yang dicanangkan pemerintah sejak tahun 2016 masih berjalan lambat. Kebakaran hutan, alih fungsi lahan, dan persoalan koordinasi antarlembaga menghambat proses pemulihan kekayaan hayati Indonesia itu.
Pemerintah menargetkan restorasi lahan gambut seluas 2,67 juta hektar. Lahan itu mencakup 106 kesatuan hidrologis gambut di 54 kabupaten. Jumlah ini mencakup 1,78 juta hektar lahan konsesi dan 892.248 hektar lahan nonkonsesi.
Data dari Badan Restorasi Gambut (BRG) menunjukkan, hingga awal tahun 2020, lahan gambut yang telah direstorasi baru 780.000 hektar dari lahan nonkonsesi. Pada akhir 2020, restorasi dilanjutkan pada sekitar 110.000 hektar di lahan nonkonsesi.
”Pekerjaan restorasi di 780.000 hektar tadi belum bisa sepenuhnya selesai pada 2020. Butuh waktu setidaknya belasan hingga puluhan tahun agar pembangunan infrastruktur pembasahan gambut itu sehat kembali,” ujar Kepala BRG Nazir Foead di Jakarta, akhir pekan lalu.
Sementara itu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat, hingga tahun 2019, sebanyak 3,47 juta hektar lahan gambut telah dipulihkan. Pemulihan terpantau melalui sistem informasi muka air tanah gambut 0,4 meter yang menghimpun informasi dan data pemulihan ekosistem gambut dari 68 perusahaan hutan tanaman industri dan 2.012 perusahaan perkebunan dengan titik penataan tinggi muka air tanah sebanyak 10.690 unit.
Sebagai perbandingan, pada akhir tahun 2015, area gambut di Indonesia mencapai 24,7 juta hektar yang tersebar terutama di Sumatera, Kalimantan, dan Papua. ”Dalam prosesnya ada evolusi kebijakan yang cukup panjang. Restorasi gambut tidak bisa serta-merta secara sporadis dan tidak menentu,” ujar Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar.
Perlindungan lahan gambut diatur lewat beberapa aturan. Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLHK MR Karliansyah mengatakan, Peraturan Menteri LHK Nomor 10 Tahun 2019 tentang Penentuan, Penetapan, dan Pengelolaan Puncak Kubah Gambut Berbasis Kesatuan Hidrologis diharapkan mampu meningkatkan aspek keberlanjutan ekonomi dari pelaku usaha untuk mendukung pertumbuhan ekonomi baik pada lingkup regional maupun global dengan tetap memperhatikan ekosistem gambut.
”Tetap memperhatikan aspek keberlanjutan ekologi dari ekosistem gambut sehingga tetap berkelanjutan melalui upaya pembasahan dan revegetasi dengan jenis tanaman lokal atau endemik setempat,” katanya.
Puncak kubah gambut adalah areal pada kubah gambut yang mempunyai topografi paling tinggi dari wilayah sekitarnya yang penentuannya berbasis neraca air dengan memperhatikan prinsip keseimbangan air. Puncak kubah gambut berperan penting dalam menjaga fungsi hidrologis ekosistem gambut dalam suatu kesatuan hidrologis gambut.
Ekosistem rusak
Laporan dari beberapa daerah, seperti di Sumatera Selatan dan Kalimantan Barat, menunjukkan, alih-alih terpulihkan, sebagian ekosistem lahan gambut yang ada justru rusak atau berkurang.
Dari Palembang, Sumatera Selatan, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumsel Hairul Sobri, Sabtu (14/3), mengungkapkan, masih berlangsung pembangunan kanal yang mengeringkan sebagian dari total 1,2 juta hektar lahan gambut di provinsi itu.
”Lahan gambut yang kering menyebabkan kebakaran yang terus berulang, bahkan di lokasi yang sama,” katanya. Dari Pontianak, Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Barat (Kalbar) Nikodemus Alea mengatakan, sebagian besar dari 1,6 juta hektar gambut di Kalbar dalam kondisi kritis.
”Banyak izin usaha ekstraktif, misalnya perkebunan dan hutan tanaman industri di lahan gambut,” katanya. Menurut Direktur Eksekutif Madani Berkelanjutan, Muhammad Teguh Surya, target rencana aksi pelaksanaan restorasi gambut tahun 2016-2020 gagal diterjemahkan. Pemerintah lambat dalam mengupayakan hal tersebut. Koordinasi masih belum baik antara KLHK dan BRG.
Tumpang tindih kebijakan juga terjadi, bahkan cenderung saling berlawanan. Ukuran untuk menghitung target capaian lahan gambut yang direstorasi masih belum sama. (DAN/ESA/DIV/TAN)