Pengetahuan Ibu Kunci Atasi Tengkes di NTT
Angelina da Crus (4), warga RT 010 RW 005 Dusun Griya Oebelo Permai, Desa Oebelo, Kecamatan Kupang Timur, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur, makan siang tanpa sayur dan lauk.
Angelina da Crus (4), warga RT 010 RW 005 Dusun Griya Oebelo Permai, Desa Oebelo, Kecamatan Kupang Timur, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur, makan siang tanpa sayur dan lauk. Ibu Angelina, Yunita Luruk (35), menganggap hal itu biasa.
Padahal, sayuran cukup tersedia di sekitar rumah. Yunita lebih suka memberikan makanan siap saji buat Angelina ketimbang menyediakan menu makanan bernutrisi. Minimnya pengetahuan ibu rumah tangga terhadap pentingnya asupan gizi dalam makanan anak untuk tumbuh kembang mereka menjadi tantangan mengatasi tengkes di NTT.
”Angelina sudah terbiasa makan seperti itu. Nanti nasi itu dia makan sampai habis meskipun tidak ada sayur dan lauk. Kalau diberi sayur atau lauk, kadang dia tidak suka makan. Biarkan saja dia makan nasi kosong,” kata Yunita di Oelamasi, Minggu (1/3/2020).
Yunita mengaku, anaknya bukan pemilih makanan. Ia tidak pernah mempersoalkan menu pangan yang diberikan.
Di lingkungan Yunita tinggal belum ada tempat pendidikan anak usia dini (PAUD). Ketiadaan biaya membuat Yunita tak mampu memasukkan Angelina dalam PAUD terdekat dari desa itu yang berjarak 10 kilometer. Ayah Angelina, Albino da Crus (38), adalah seorang pekerja serabutan.
Meski demikian, di samping rumah mereka tumbuh beberapa jenis sayur yang bisa dimanfaatkan, seperti daun singkong, kangkung di selokan rumah, pepaya, pohon kelor, dan jantung pisang. Jenis sayur ini tumbuh di pekarangan rumah atau pagar rumah dan bisa diolah untuk dimakan kapan saja.
Direktur Yayasan Tanahnuwa Timor Eval Dina Pay da Gomes mengatakan, sikap Yunita tidak jauh beda dengan ibu rumah tangga di Kecamatan Amanuban Selatan dan Kecamatan Amanuban Timur, Kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT.
Pada Agustus 2019 hingga November 2019, Dina Pay bersama tim dari Tanahnuwa Timor meneliti kasus gizi buruk yang melanda 18 desa di dua kecamatan itu. Di sana, mayoritas ibu rumah tangga menyajikan biskuit dan mi instan saat anaknya yang lapar minta makan.
”Ibu rumah tangga ini tidak berpikir soal kandungan gizi atau protein dari makanan itu. Terpenting anak kenyang, tenang, dan bermain seperti biasa. Bahkan, tim peneliti pun disajikan biskuit dari kios desa ketimbang pisang atau umbi-umbian yang ada di samping rumah,” ujar Dina. Ia menilai, modernitas mendorong mayoritas ibu rumah tangga di NTT enggan mempertahankan menu makanan lokal warisan nenek moyang. Sesuatu yang baru, hasil pabrik, itu dianggap lebih modern dan mudah disajikan.
Untuk meyakinkan ibu-ibu warga di 18 desa tersebut, tim peneliti Tanahnua selama empat bulan melakukan uji coba terhadap 20 anak. Sebanyak 10 anak diberi menu makanan lokal dan 10 anak diberi menu makanan siap saji. Penelitian dimulai Agustus 2019-November 2019.
”Bulan Desember 2019 dilakukan evaluasi bersama. Ternyata berat badan anak-anak yang diberi menu makan jagung katemak, sayur-sayuran lokal, dan susu sapi murni naik 2-4 kilogram. Berat badan anak yang mengonsumsi mi instan, biskuit, dan manis kental dari kios tidak naik sama sekali, bahkan cenderung turun dan sakit-sakitan,” kata Dina.
Lebih bergizi
Penelitian itu untuk meyakinkan ibu-ibu rumah tangga bahwa makanan lokal jauh lebih bergizi dan sehat dibandingkan dengan makanan siap saji. Makanan lokal tidak boleh ditinggalkan ibu rumah tangga meski dunia sekitar terus mempromosikan makanan siap saji.
Perilaku ibu rumah tangga di NTT memang masih jauh dari mimpi pemerintah daerah menghapus tengkes yang menempati urutan pertama tengkes nasional, yakni 42,06 persen.
Dina menilai, keasyikan ibu-ibu bermain gawai secara tidak langsung melunturkan semangat mereka untuk memasak makanan bergizi di dapur. Makanan instan dan cepat saji, seperti merebus mi dan memasak nasi di penanak nasi elektrik, kini bagai pilihan wajib ibu rumah tangga.
Kegemaran bermain gawai di rumah menjadi tren. Uang belanja dari suami pun terkadang digunakan membeli pulsa data.
Di sisi lain, sejumlah ibu rumah tangga sibuk bekerja di ladang bersama suami dari pagi sampai sore hari. Anak ke sekolah dalam keadaan perut kosong. Pulang sekolah pun tidak ada makanan di rumah. Mereka mencari makan di rumah teman atau anggota keluarga lain.
Koordinator Tim Peneliti Stunting NTT Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Jawa Timur Ahmad Suryawan mengatakan, pusat data Kementerian Kesehatan 2016 menyebutkan bayi berat lahir rendah di NTT mencapai 25,5 persen, anak balita kurang gizi 38,2 persen, dan anak balita pendek 42,06 persen.
”Mengatasi tengkes di NTT dengan pemberian nutrisi, suplementasi, dan edukasi sejak dari kandungan ibu sampai usia anak dua tahun. Ini tidak harus diperoleh di apotek atau pusat perbelanjaan, tetapi cukup diperoleh di sekitar kita. Sumber daya alam yang ada sudah menyediakan itu, tergantung bagaimana kita mengolah menjadi bernutrisi dan bervitamin,” kata Achmad.
Daun kelor atau marungga, sawi, kol, terung, daun singkong, wortel, pepaya, bunga pepaya, dan umbi-umbian yang bisa diolah lebih bernutrisi dan bergizi bagi tumbuh kembang anak-anak. Ibu rumah tangga pun bisa menampilkan menu makan terbaik jika ia memahami fungsi menu harian bagi kesehatan anak-anak.
Kecerdasan anak
Jika tengkes terjadi sejak dari kandungan atau dua tahun setelah lahir, anak tidak harus mengalami kemampuan berpikir yang rendah, tetapi bisa didorong menjadi lebih cerdas dengan makanan bergizi. Dalam pembangunan, yang dibutuhkan bukan soal fisik saja, melainkan juga kemampuan intelektual anak bangsa ini.
Cara mengatasi anak-anak tengkes sejak lahir atau setelah berusia dua tahun bisa dengan pemberian air susu ibu, nutrisi, stimulan, deteksi, imunisasi, sanitasi, dan edukasi. Dengan langkah ini, kemampuan berpikir anak-anak akan kembali normal meski secara fisik memiliki tinggi badan tidak sebanding usia.
Simplicia Maria Angrahini, dokter RSU Yohannes, Kupang, menilai, sebagian orang berpendapat tengkes identik dengan kemiskinan. Ia membantah anggapan itu. Menurut Simplicia, tengkes terjadi karena kesalahan pola asuh anak oleh ibunya.
”Kuncinya ada pada pengetahuan ibu-ibu rumah tangga. Jika mereka paham tentang tumbuh kembang anak dan kecerdasan masa depan anak-anak, ibu-ibu pasti berjuang memberikan menu terbaik buat anak-anak. Masalahnya pada kurang pengetahuan ibu-ibu. Kegemaran ibu rumah tangga bermain gawai bukan masalah utama,” kata anggota IDAI NTT tersebut.