Operasi Penyelamatan Buaya di Palu Dihentikan untuk Antisipasi Covid-19
Operasi penyelamatan buaya muara “berkalung” ban di Palu, Sulawesi Tengah, dihentikan terkait antisipasi penyebaran Covid-19. Alasannya, operasi ini menarik perhatian banyak orang dan menguras tenaga tim.
Oleh
VIDELIS JEMALI
·3 menit baca
PALU, KOMPAS - Operasi penyelamatan buaya muara “berkalung” ban di Palu, Sulawesi Tengah, dihentikan terkait antisipasi penyebaran Covid-19. Alasannya, operasi ini menarik perhatian banyak orang dan menguras tenaga tim.
Operasi penyelamatan buaya itu mendapat perhatian masyarakat luas dalam beberapa waktu terakhir. Ahli satwa luar negeri ikut serta dalam upaya itu. Setelah Matthew Nicolas Wright dari Australia, kali ini melibatkan ahli biologi satwa liar Amerika Serikat, Forrest Galante.
“Bukan berarti kegagalan (operasi ini) tetapi tertunda karena alasan situasional menyangkut masalah virus korona,” kata Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulteng Hasmuni Hasmar saat memberikan keterangan yang didampingi Galante di Palu, Sulteng, Senin (16/3/2020).
Penghentian itu terkait kebijakan umum baik nasional maupun lokal yang mengharuskan menghindari kerumunan massa. Ini bagian dari antisipasi penyebaran Covid-19. Selain itu, kondisi kesehatan tim yang terlibat juga bisa terganggu dan bisa memudahkan masuknya virus.
Hasmuni menegaskan, penghentian operasi tidak terkait dengan izin atau kerja sama dengan Galante. Alasannya murni karena mengantisipasi penyebaran Covid-19.
Galante menyebutkan hal sama. Ia menyatakan, dirinya mematuhi kebijakan untuk menghentikan semua kegiatan yang terkait dengan banyak orang, termasuk upaya penyelamatan buaya muara (Crocodylus porosus) malang itu.
“Ada kebijakan shutdown yang juga saya saksikan disampaikan oleh Presiden Jokowi. Itu kami patuhi,” katanya.
Galante tiba di Palu pada Selasa (10/3/2020) lalu. Ia secara teknis baru memulai operasi pada Kamis hingga Minggu (12-15/3/2020). Peralatan yang telah dicoba, yakni perangkap sejumlah dua unit yang dipasang di titik berbeda di Sungai Palu.
Ia sempat menyiapkan penggunaan harpun (mata tombak bergerigi) yang ditembakkan dari alat yang disebut crossbow. Namun, buaya lebih sering memunculkan kepala daripada ekornya di permukaan air. Alat itu hanya bisa ditembakkan pada bagian ekor. Alat itu praktis belum digunakan sama sekali.
Pembawa acara televisi Animal Planet tersebut merencanakan untuk bisa datang lagi. Hal itu sangat bergantung pada situasi terkait penyebaran Covid-19 karena berdampak pada penerbangan antarnegara ke depannya. Ia tak bisa menjanjikan kapan bisa datang lagi.
Galante menegaskan, dalam seminggu terakhir ia telah mempelajari karakter buaya berkalung ban berikut habitatnya di Sungai Palu. “Saya memiliki sejumlah ide baru terkait penyelamatan buaya ini berdasarkan interaksi dengan buaya, lingkungan di sekitar. Saya sudah mempelajari karakter buaya ini, di mana ia sering muncul, seberapa lama ia muncul di permukaan air,” ucapnya.
Ia mengakui, buaya berkalung ban tersebut sangat cerdas. Satwa dilindungi itu sangat menyadari gerakan manusia, karena mungkin sudah sering kali hendak ditangkap. Ia menyiapkan lebih banyak alat untuk bisa menyelamatkan buaya tersebut nantinya. Buaya muara berkalung ban terdeteksi pada pertengahan 2016 atau sekitar 3,5 tahun lalu. Banyak upaya telah dilakukan untuk menyelamatkan buaya malang itu.
Kedatangan Galante sebenarnya memunculkan harapan baru untuk mengakhiri derita buaya berkalung ban. Itu terutama karenaa adanya peralatan baru yang dia gunakan, yakni crossbow. Namun, alat itu tak maksimal digunakan.
Alat itu sebelumnya tak digunakan oleh Wright. Ia menggunakan harpun, tetapi dengan tombak. Penombakan hanya bisa dilakukan dalam jarak dekat. Tiga kali Wright menombak buaya itu, tetapi dua kali harpun tak melekat di kulit buaya. Satu percobaan sempat melekat di kulit buaya, tetapi terlepas saat buaya itu lari.