Terkungkung Samudra, Nelayan Pulau Miangas Tidak Berkembang
Berada di tengah samudra, nelayan di Pulau Miangas, Kepulauan Talaud, Sulut, kesulitan berkembang. Selain kendala pemasaran, kondisi samudra yang sering tidak ramah membuat ikan tangkapan tidak banyak.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
KEPULAUAN TALAUD, KOMPAS — Nelayan tangkap di Pulau Miangas, Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara, kesulitan berkembang. Terkungkung samudra luas, nelayan di pulau terluar itu tak mampu mencapai pasar ikan di wilayah lain. Belum ada satu pun pengusaha mengambil ikan dari Miangas, sedangkan pemerintah kabupaten belum dapat memfasilitasi pemasaran.
Kepala Bidang Penangkapan, Tempat Pelelangan Ikan, dan Izin Usaha Perikanan Dinas Perikanan Kabupaten Talaud Ronald Bee mengatakan, puluhan nelayan Miangas hanya menggunakan perahu kayu bercadik berukuran kecil dengan mesin motor (pump boat). Alat tangkap yang digunakan juga sederhana, yaitu pancing (handline).
”Dinas hanya bisa menyediakan kapal berukuran kecil di bawah 3 GT (gros ton). Sarana penangkapan ikan yang paling memadai di sana adalah pump boat. Kami pernah menyediakan kapal besar tipe pajeko (kapasitas sekitar 500 kilogram), tetapi hancur karena gelombang,” kata Ronald di Melonguane, Selasa (17/3/2020).
Tidak ada kapal penampung ikan masuk ke Miangas yang terletak di tengah lautan lepas.
Hasil tangkapan tiap nelayan rerata hanya lima cakalang, jenis salmon, dan tengiri setiap harinya. Hanya segelintir nelayan pemilik jaring yang mampu menangkap hingga 20 ekor per hari. Hasil perikanan itu tidak pernah dapat dipasarkan ke luar pulau seluas 3,2 kilometer persegi di ujung utara Indonesia itu.
”Kami semua cuma nelayan kecil, hasil tangkapan sangat sedikit,” kata Irwan Mamoga (50), salah satu nelayan di Miangas, pekan lalu.
Menurut Irwan, hasil tangkapan nelayan utamanya untuk konsumsi rumah tangga sendiri. Jika ada lebih dari dua ekor, para nelayan menjualnya kepada sesama warga Desa Miangas yang berpenduduk 800 orang itu. Seekor cakalang dibanderol Rp 100.000, sedangkan jenis lainnya pada kisaran Rp 40.000 hingga Rp 80.000.
”Dulu harga bensin di sini Rp 20.000, bahkan Rp 30.000. Makanya, harga cakalang jadi Rp 100.000. Untungnya sekarang penjualan dikontrol Pak Kepala Desa (Jan Pieter Lupa), jadi Rp 10.000 per liter saja. Tetapi, harga ikan tidak turun,” katanya.
Menurut Sersan Kepala Buntomo Sampe, petugas Pos Angkatan Laut Miangas yang juga warga Miangas, harga Rp 100.000 sebenarnya relatif murah bagi warga di luar Miangas. Sebaliknya, warga Miangas kerap mengeluhkan harga tersebut. ”Itu sudah mahal buat warga, tetapi mereka tidak punya pilihan selain membeli,” katanya.
Di tengah keadaan itu, ikan tangkapan nelayan Miangas tidak dapat dijual ke luar pulau itu. Nelayan lokal lain, Yunus (30), mengatakan, tidak ada kapal penampung ikan masuk ke Miangas yang terletak di tengah lautan lepas.
Hasil perikanan Miangas pun tak dapat menyentuh pusat perikanan di Kepulauan Talaud, seperti Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu di Kecamatan Lirung, Pulau Salibabu, yang berjarak 183 kilometer. Tidak ada pula kapal dari Bitung, sentra industri pengolahan ikan terbesar di Sulut, yang jaraknya 483 km dari Miangas.
”Jarak kami dengan pulau-pulau lain adalah kendala utama. Kalaupun ada kapal yang mau menampung, risikonya sangat besar. Bisa-bisa kapal hilang,” katanya.
Keadaan laut di Miangas bisa berubah sewaktu-waktu. Beberapa waktu lalu, kapal tongkang pembawa material untuk membangun talut sekeliling pulau terpaksa dilepas dan dibiarkan hilang karena gelombang besar.
Hal itu membuat jumlah hasil tangkapan ikan dari Miangas tidak pasti. Sugono Lupa (52), nelayan lain, mengatakan, ombak besar dan angin kencang membuat nelayan tidak berani melaut. Beberapa nelayan telah mengalami terbawa ombak dan terkatung-katung di tengah Laut Sulawesi.
Terkait hal ini, baik pemkab maupun pengusaha perikanan Talaud sebenarnya memiliki kapal mini pure seine berukuran 10 GT yang dapat menampung ikan. Namun, kata Kepala Bidang Penangkapan Dinas Perikanan Kepulauan Talaud Ronald, kapal akan sulit bertahan di laut lepas sekitar Miangas. Tidak ada tempat bagi kapal untuk berlindung ketika cuaca buruk.
Di sisi lain, belum ada pengusaha penangkapan ikan dari daerah lain yang berniat menampung ikan segar dari Miangas. ”Saya belum pernah dengar ada yang minat. Selain karena hasil tangkapan sedikit, belum ada pula sarana sistem rantai dingin untuk membekukan ikan di Miangas akibat keterbatasan listrik,” kata Ronald.
Pada 2015, Dinas Perikanan Talaud pernah menghibahkan kotak pendingin (cold storage) berukuran 600 liter, tetapi ditolak kelompok nelayan Miangas. Karena itu, kata Ronald, pihaknya mempertimbangkan penghibahan cold storage yang lebih kecil, sekitar 200 liter, untuk setiap rumah nelayan.
Tidak yakin
Sekretaris Camat Miangas Nelly Loeppa mengatakan, tidak mungkin Miangas bisa menjual ikan ke luar pulau. Selain jumlah hasil ikan tangkap di Miangas terlalu sedikit, para nelayan juga tidak memiliki kotak pendingin pembeku ikan.
”Jumlah ikan kami terlalu sedikit. Desa Miangas juga belum punya badan tertentu untuk mengelolanya,” katanya.
Sejak 2019, Miangas masuk dalam trayek tol laut T-5 yang menghubungkannya dengan Bitung dan pulau-pulau di Kepulauan Sangihe serta Kepulauan Talaud. Namun, pengiriman dengan kapal Kendhaga Nusantara 1 yang mengisi trayek itu tidak dimungkinkan. Terakhir kali kapal itu merapat di Miangas pada Mei 2019. Tidak ada pengusaha ataupun nelayan yang mampu menyewa peti kemas seharga Rp 4,2 juta.
Menurut Ronald, para nelayan Miangas bisa menggunakan kapal perintis Sabuk Nusantara 69, 70, dan 90 yang merapat di pulau itu setiap dua pekan atau feri Watunampato milik pemkab yang merapat sebulan sekali. Namun, para nelayan harus menyediakan kotak pendingin sendiri di kapal.