Talud dan Utang Warung di Miangas
Pedagang di Miangas bermodal kecil. Belum ada juga Gerai Maritim dibuat di Miangas. Kapal-kapal Sabuk Nusantara adalah solusi yang pas bagi penyaluran logistik ke Miangas.
Tungkele masuk ke warung Mamak Rose Passe (64). Pria 50-an tahun itu lalu meminta rokok. Mamak Rose menghardik, ”So berapa tahun ngana nyanda bayar ngana pe utang pa kita (Sudah berapa tahun kamu tidak bayar utang kepada saya!”
Tungkele tertegun, kemudian menggerutu pelan. Mamak Rose menghardik lagi, ”So mabok ngana, pulang jo! Salah-salah kita siram ngana deng aer (Sudah mabuk kamu, pulanglah! Salah-salah kita siram kamu dengan air),” seru Mamak Rose, Selasa (3/3/2020) sore, di Dusun 1 Desa Miangas, Kecamatan Khusus Miangas, Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara.
Tanpa protes, si pemabuk itu berbalik lalu meninggalkan warung kelontong. Mamak Rose sebenarnya cukup sabar berurusan dengan para pengutang. Total piutang warung kelontongnya sudah melampaui Rp 30 juta ia rekam dalam empat buku catatan, lengkap dengan nama peminjam uang. Ada utang yang bahkan belum terbayar sejak 2010.
Baca juga : Pelabuhan Lama Miangas Direvitalisasi
Namun, dari semua pengutang, Mamak Rose paling tidak suka pada yang mabuk. ”Kalau sudah mabuk terus mereka ambil rokok, besoknya mereka tidak merasa berutang waktu kita tagih. Terus harus bagaimana?” ujarnya. Meski begitu, Mamak Rose masih bersyukur karena tokonya masih surplus. Ia pun terus memberikan utang. Senin (2/3) siang, seorang ibu berutang Rp 72.000 untuk membawa pulang hairspray dan sebungkus rokok.
Ia, bahkan, masih meminjam Rp 100.000 dari Mamak Rose. ”Begini kehidupan di sini. Kalau enggak ngutang, susah,” kata wanita itu. Warung Ana Maria Jordan (49), yang jauh lebih kecil dan sederhana daripada milik Mamak Rose, juga tak lolos dari utang. Dalam dua tahun perjalanan bisnisnya, total piutang sudah Rp 10 juta. Wanita berdarah Miangas-Filipina ini tak suka memberi utang, tetapi ia kerap tidak sampai hati kepada warga Miangas.
Warga terpaksa berutang karena mahalnya harga kebutuhan pokok dan barang penting lainnya di Miangas.
”Akhirnya saya kasih bunga, misalnya Rp 2.000 per hari. Tapi enggak mungkin juga mereka bayar kalau enggak ada uangnya. Yang katanya mau bayar nanti sore akhirnya jadi bulan depan,” katanya. Warga terpaksa berutang karena mahalnya harga kebutuhan pokok dan barang penting lainnya di Miangas. Semua barang yang didatangkan dari Bitung, Tahuna (Kepulauan Sangihe) dan Melonguane atau Lirung (Kepulauan Talaud) sudah terkena ongkos kirim di kapal perintis Sabuk Nusantara 69, 70, dan 95, yang melayari jalur dari Bitung ke Miangas melalui beberapa pulau.
Beras, misalnya, yang dijual Rp 10.000-Rp 12.000 per kilogram di Bitung akan melonjak jadi Rp 15.000 per kg di Miangas. Harga telur naik dua kali lipat menjadi Rp 3.000 per butir, gula dari Rp 12.000 per kg menjadi Rp 20.000 per kg. Demikian pula harga tomat, naik dari Rp 8.000 per kg menjadi Rp 20.000 per kg.
”Bagaimana tidak mahal? Kami pedagang kecil, sekali belanja cuma bisa tiga karung beras 25 kg, satu karung gula 50 kg, 10 kardus air mineral, dan kardus isi makanan atau bahan lainnya dalam saset. Ongkos kirimnya mahal, bisa Rp 750.000-Rp 1 juta,” kata Ana Maria.
Upah belanja
Ongkos kirim yang ditanggung Ana Maria terdiri dari upah sopir bentor (bendi motor) di Melonguane sebesar Rp 200.000 untuk belanja dan mengangkutnya ke kapal di dermaga. Biaya bagasi kapal sekitar Rp 200.000, ditambah upah Rp 150.000 untuk anak buah kapal (ABK) yang diminta menjaga barangnya.
Lain lagi biaya yang ditanggung Mamak Rose dari Bitung yang lebih jauh. Jika barang pesanannya sangat banyak, biaya kirim dengan kapal sekitar Rp 500.000, belum termasuk upah untuk ABK. Sesampainya di Pelabuhan Miangas, dua sampai lima buruh akan menurunkan barang dengan upah masing-masing Rp 100.000. Terakhir, upah mengantar barang ke warung juga sekitar Rp 100.000 untuk setiap buruh.
Baca juga : Wajah Kopra di Miangas dan Morotai
Ana Maria menambahkan, ada risiko lain yang ditanggung pedagang, misalnya barang hilang di kapal. Jika laut sedang ganas atau angin bertiup kencang, kapal terpaksa berlindung di pulau-pulau kecil. Keterlambatan kapal dapat menyebabkan barang, seperti tahu, cabai, tomat, dan rempah-rempah lainnya, busuk, sementara stok barang di warung menipis.
”Miangas cuma satu kampung, warganya sedikit. Kalau kami beli kebanyakan, barang enggak habis dan kedaluwarsa. Kami juga yang rugi,” katanya. Yulfitri Kaemung (48), pemilik warung lain, juga masih memiliki piutang sekitar Rp 10 juta. Namun, setidaknya sejak 2017, warungnya kedatangan lebih banyak orang. Warga Miangas lebih berani belanja dan berutang berkat penyerapan tenaga kerja lokal di beberapa proyek infrastruktur.
Salah satu proyek yang sedang berlangsung adalah pembangunan talud di sepanjang pantai barat pulau. Setidaknya 80 warga Miangas dipekerjakan selama 2017-2019 dengan upah Rp 3 juta per bulan. Lebih dari 40 pekerja dari Jawa Tengah juga pernah didatangkan, salah satunya Susilo (40), yang sekarang jadi pengawas penyaluran bahan bangunan.
”Gaji kami yang dari Jawa Rp 130.000 per hari, yang lain Rp 110.000. Tapi beban kami berat karena harus kirim untuk keluarga di kampung. Akhirnya di sini berutang, termasuk waktu harga rokok Rp 50.000 per bungkus gara-gara stok tipis,” kata Susilo. Di luar proyek infrastruktur, mayoritas warga Miangas mencari ikan cakalang untuk dikonsumsi sendiri, beberapa ekor lainnya dijual Rp 100.000 per ekor kepada warga.
Beberapa lainnya mengusahakan kopra dengan keuntungan sangat kecil karena harga kopra kepada pengumpul hanya Rp 2.500-Rp 3.500 per kg. ”Kehidupan warga sangat sulit di sini,” kata Dirson Lalonsang, anggota Komando Distrik Militer 1312/Talaud.
Di luar itu, talud pun menjadi pembawa konsumen bagi para pemilik warung di Miangas. ”Tapi, enggak tahu kalau nanti talud sudah selesai. Masa depan di sini suram,” kata Ana Maria yang sudah lama berkawan dengan gemerlap Kota Balikpapan, Kalimantan Timur.
Tidak ada program
Di tengah ketidakberdayaan menekan harga, pemerintah pusat berusaha menghadirkan tol laut khusus logistik. Miangas masuk trayek T-5 yang terhubung dengan Bitung dan Tahuna. Ongkos kirim dengan satu peti kemas 20 kaki berkapasitas 18,5 ton sekitar Rp 4,2 juta. Namun, pedagang Miangas yang mayoritas beromzet Rp 500.000-Rp 1 juta per hari tidak mampu menyewanya.
Karena tak ada muatan, Kapal Kendhaga Nusantara 1 yang mengisi rute itu tidak bersandar ke dermaga Pelabuhan Miangas. Sekretaris Desa Miangas Alfred Lalala mengatakan, dirinya justru tidak mengetahui trayek T-5 menyentuh Miangas. Tol laut yang diketahuinya selama ini hanyalah tol laut kapal perintis Sabuk Nusantara 69, 70, dan 95 yang diandalkan pedagang.
Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kepulauan Talaud Habel Salombe mengatakan, Kapal Kendhaga Nusantara 1 yang masuk wilayah Talaud hanya dapat singgah di Melonguane dan Lirung. Miangas tidak dapat disinggahi karena perairan pelabuhan terlalu dangkal bagi kapal ukuran 90 TEU (peti kemas 20 kaki) itu.
Pedagang di Miangas juga bermodal kecil. Belum ada juga Gerai Maritim dibuat di Miangas. Kapal-kapal Sabuk Nusantara adalah solusi yang pas bagi penyaluran logistik ke Miangas. ”Kapal itu yang bisa mampir ke pulau-pulau kecil seperti Miangas, Karatung, dan Kabaruang. Barang yang dulunya tidak bisa sampai ke sana sekarang jadi bisa diantar,” katanya.
Akhirnya, warga desa hanya bisa pasrah menerima harga barang kebutuhan pokok yang sangat mahal. Agus Banera, salah satu warga, memaklumi keadaan itu. Ia sendiri pernah memiliki warung, tetapi bangkrut gara-gara utang warga di tengah harga yang tinggi. ”Hiroshima hancur karena bom, warung hancur karena bon,” katanya sambil terkekeh.