Turis Sepi, Pengelola Wisata di Kawasan Gili Terpukul
Pengusaha hotel di Gili, Lombok Utara, NTB, terdampak sepinya wisatawan pascapenutupan akses kapal cepat dari Bali ke kawasan tersebut. Selain itu, warga lokal yang membuka usaha kecil pun ikut terpukul.
Oleh
ISMAIL ZAKARIA
·4 menit baca
PEMENANG, KOMPAS — Pengusaha hotel di Gili, Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, mulai memberlakukan pengurangan jam kerja bagi karyawan. Hal itu dilakukan karena sepinya wisatawan pascapenutupan akses kapal cepat dari Bali ke kawasan tersebut.
Meski demikian, Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) menegaskan tetap menutup akses tersebut untuk mengantisipasi masuknya Covid-19 yang justru akan berdampak lebih buruk. Hal itu mengemuka dalam pertemuan yang dihadiri Gubernur NTB Zulkieflimansyah dan Bupati Lombok Utara Najmul Akhyar dengan para pengelola hotel di kawasan Tiga Gili (Trawangan, Meno, Air) di Gili Trawangan, Rabu (18/3/2020). Turut hadir Kepala Kepolisian Daerah NTB Inspektur Jenderal Tomsi Tohir.
”Saat ini, kawan-kawan di Gili sudah memberlakukan shifting (pengaturan jam kerja) untuk karyawan. Hal itu tentu mengakibatkan masyarakat yang bekerja di kawasan tiga Gili terdampak secara ekonomi,” kata Najmul.
Ketua Gili Hotel Association (GHA), atau asosiasi yang membawahkan hotel-hotel di tiga Gili, Lalu Kusnawan membenarkan hal itu. Menurut dia, hampir semua hotel di kawasan Tiga Gili memberlakukan pengaturan jam kerja.
”Jadi, karyawan kami kurangi jam kerja mereka. Sekitar 50 persen. Jadi 15 hari kerja, kemudian 15 hari di rumah,” kata Kusnawan yang memperkirakan, hingga Rabu siang, kurang dari 1.000 wisatawan masih ada di tiga Gili.
Menurut Kusnawan, pengurangan jam kerja menjadi pilihan untuk saat ini. Namun, mereka belum bisa memastikan kondisi pada bulan-bulan berikutnya. ”Tutup total (untuk saat ini) belum ada. Menunggu situasi dan kondisi. Tetapi tidak menutup kemungkinan,” lanjutnya.
Tidak hanya hotel, penutupan akses kapal cepat dari Bali ke Gili yang menyumbang wisatawan terbanyak di kawasan itu juga berdampak pada usaha lain, seperti usaha kuliner. Sejumlah pemilik usaha warung makan memutuskan tutup sementara.
Penutupan akses kapal cepat dari Bali ke Gili yang menyumbang wisatawan terbanyak di kawasan itu juga berdampak pada usaha lain, seperti kuliner.
”Saya memutuskan tutup sejak Selasa kemarin. Sepi. Kalau dipaksa, justru bisa rugi karena tidak ada yang beli. Apalagi, kan, jualan makanan. Kalau tidak ada yang beli, bisa rusak,” tutur Ika Diyanti (33), pemilik warung makan di Gili Trawangan.
Ramli (30) yang setiap malam berjualan olahan ikan di Pasar Seni Gili Trawangan juga memutuskan tidak berjualan. ”Sejak semalam tutup karena sepi. Lima karyawan yang biasa bantu juga dipulangkan,” ucapnya.
Pantauan Kompas, sejak pagi hingga sore, Gili Trawangan terlihat sepi. Kapal penyeberangan umum dari Pelabuhan Bangsal masih beroperasi. Hanya saja, kapal tersebut lebih banyak berisi karyawan atau masyarakat lokal. Sebaliknya, cukup banyak terlihat wisatawan terutama mancanegara yang naik kapal penyeberangan umum ke Pelabuhan Bangsal.
Jalan-jalan di kawasan Gili juga terlihat lengang. Hanya beberapa wisatawan yang lalu lalang, baik berjalan kaki maupun bersepeda. Restoran-restoran di pinggir jalan ada yang masih buka, tetapi tidak ada pengunjung.
Dalam pertemuan itu, para pengelola hotel di kawasan Gili berharap pemerintah daerah memberikan kepastian tentang berapa lama penutupan akses akan berlangsung. Termasuk kemungkinan membuka kembali akses itu, tetapi dengan pemeriksaan yang ketat.
”Kapal cepat merupakan akses terbesar dan paling gampang dari Bali untuk ke Gili. Oleh karena itu, mungkin bisa disiapkan pemeriksaan suhu tubuh terhadap setiap tamu. Dampak jangka panjangnya harus dipertimbangkan, apalagi pembatalan (kedatangan) saat ini sudah ada ribuan,” tutur General Manager Hotel Vila Ombak Gili Trawangan I Gusti Ngurah Arya Wirawan.
Cluster General Manager Jambuluwuk Oceano Resort Gili Trawangan Ni Made Sriasih mengatakan, hidup mereka tergantung dari pariwisata di Gili. Oleh karena itu, dia berharap pemerintah memberikan solusi. Terlebih, hingga Mei mendatang, mereka sudah menerima 1.000 pembatalan.
”Saya cukup down. Belum selesai gempa, sekarang berhadapan dengan kondisi seperti ini,” ujar Ni Made Sriasih.
Menanggapi hal tersebut, Zulkieflimansyah mengatakan memahami apa yang dihadapi para pengelola hotel. Hanya saja, menurut dia, keputusan itu memang akan berdampak secara ekonomi termasuk ke masyarakat. Namun, hal itu sebagai upaya untuk memproteksi masyarakat dari Covid-19.
Oleh karena itu, Zulkieflimansyah menegaskan bahwa Pemerintah Provinsi NTB masih akan tetap menutup akses kapal cepat dari Bali ke Gili. ”Kami jujur, tidak ada yang ditutup-tutupi. Kita berada pada pilihan yang benar-benar susah. Tetapi, kalau kecolongan dan ada yang terjangkit, akan lebih susah lagi,” lanjutnya.
Meski demikian, kata Zulkieflimansyah, kawasan Gili tidak ditutup atau lockdown. Wisatawan masih bisa masuk ke Gili menggunakan kapal penyeberangan umum melalui Pelabuhan Bangsal, sekitar 21 kilometer utara Mataram, ibu kota NTB, baik wisatawan yang turun dari Bandara Internasional Lombok di Praya maupun Pelabuhan Lembar di Lombok Barat.
Meski demikian, mereka harus melalui pemeriksaan ketat. Termasuk di Pelabuhan Bangsal akan ada pengecekan suhu tubuh oleh tim dari Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) Kelas II Mataram.
Zulkieflimansyah berharap, penutupan selama dua minggu menjadi cara untuk memproteksi masyarakat di Gili dari Covid-19. Sejalan dengan itu, upaya-upaya proaktif terus dilakukan. Harapannya, setelah dua minggu, Gili menjadi tempat yang aman dan nyaman untuk wisatawan. Para Rabu siang, misalnya, dilakukan penyemprotan disinfektan di sejumlah lokasi di Gili, baik di Trawangan, Meno, maupun Air.