Desa Muntialo yang dulu dikenal sebagai penghasil asap dari kebakaran lahan perlahan mulai bertransformasi menjadi desa wisata.
Oleh
Irma Tambunan
·4 menit baca
Ketika dibangun tiga tahun silam, embung di Desa Muntialo, Kecamatan Betara, Tanjung Jabung Barat, Jambi, menjadi sumber pembasahan gambut saat kemarau. Belakangan, potensi embung dilirik tak semata sumber air. Tempat itu dipercantik demi hidupnya pariwisata desa. Tidak heran jika desa yang dulu dikenal sebagai penghasil asap dari kebakaran lahan itu perlahan mulai bertransformasi menjadi desa wisata.
Embung di Desa Muntialo mudah dijangkau karena hanya berjarak 100 meter dari tepi Jalan Jambi-Kuala Tungkal. Jalan masuk desa itu telah dipasangi gapura penanda masuk menuju embung wisata. Para pelintas yang tertarik singgah tidak dipungut biaya. Namun, jika ingin berkeliling embung, mereka dapat menyewa perahu yang tersedia di sana.
Keberadaan embung telah lama didamba masyarakat. Selama ini, mereka kesulitan mendapatkan sumber air saat musim kemarau. Kondisi gambut setempat terdegradasi akibat pembukaan kanal. Lahan cepat tergenang saat musim hujan. Kekeringan pun tak terhindarkan di musim kemarau, bahkan kerap memicu kebakaran lahan.
Saat kemarau yang lalu, air dalam embung masih mencukupi.
Hampir setiap tahun, wilayah itu mengalami kebakaran hebat. Tahun 2015, areal yang hangus lebih dari 50 hektar. Tak hanya kebun masyarakat, kebakaran pun melahap lahan korporasi. Pekatnya kabut asap sampai-sampai memaksa sejumlah warga mengungsi. Kebakaran yang tadinya sulit dipadamkan karena minimnya sumber air mulai teratasi setelah embung dibangun.
Pembangunan dimulai tahun 2017 lewat pendanaan dari Kementerian Desa, Pembangunan Desa Tertinggal, dan Transmigrasi. Nilainya Rp 300 juta.
Masyarakat yang membutuhkan pun dapat mengambil air untuk membasahi lahannya ataupun untuk kebutuhan sehari-hari.
”Saat kemarau yang lalu, air dalam embung masih mencukupi. Bahkan, untuk water bombing (pemadaman kebakaran lewat udara) biasanya memanfaatkan air dari sini,” kata M Nasir, Kepala Desa Muntialo, Kamis (12/3/2020). Keberadaan embung ternyata menarik perhatian masyarakat. Banyak warga, termasuk dari luar desa, singgah. Khususnya pada akhir pekan dan hari libur, embung tampak ramai pengunjung.
Melihat potensi itu, badan usaha milik desa (BUMDes) dikerahkan untuk mengelola. Sekeliling embung ditanami pohon teduh dan tanaman berbunga. Disediakan perahu untuk pengunjung, tempat-tempat menarik untuk berswafoto, serta pondok-pondok kecil untuk tempat istirahat. Saat ini sedang dibangun pula dermaga dan rumah apung di tepi embung.
Sekretaris Desa Muntialo Ahmad Nurdin menceritakan, selain embung, telah dibangun 26 sekat kanal dan sumur bor untuk menjaga air dalam gambut di wilayah itu. Pembangunan didukung Badan Restorasi Gambut. Demi menjaga kepercayaan pemerintah, desa mulai rutin mengalokasikan anggaran demi memelihara infrastruktur gambut tersebut.
”Tahun ini kami anggarkan Rp 10 juta untuk merawat sekat kanal,” katanya. Pemerintah desa pada 2018 juga membuat peraturan desa tentang pencegahan kebakaran dan perlindungan gambut di Desa Muntialo. Ada sejumlah sanksi adat yang dapat dikenakan bagi warga yang sengaja ataupun lalai sehingga mengakibatkan kebakaran.
Namun, aturan itu sempat diprotes warga Muntialo. Mereka mempertanyakan aturan yang hanya berlaku di Muntialo dan belum diterapkan serupa pada desa-desa sekitar. ”Maka, tahun ini, kami coba untuk kembali dibuat aturan serupa yang merupakan surat kesepakatan bersama antardesa,” ujarnya.
Terobosan
Deputi Bidang Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi, dan Kemitraan BRG Myrna Safitri mengapresiasi upaya desa-desa peduli gambut yang kian sadar untuk memulihkan gambut di wilayahnya. Sejumlah desa bahkan mulai membuat terobosan. Pembangunan embung yang dilanjutkan dengan pengelolaan berbasis pariwisata di Muntialo menunjukkan terobosan untuk memberi manfaat ekonomi dan rekreasi bagi masyarakat.
Saat ini, katanya, telah dibentuk 394 desa peduli gambut di tujuh provinsi, yakni Papua, Riau, Sumatera Selatan, Jambi, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Selatan. Terlepas dari masih adanya kekurangan dalam program pemulihan gambut, sejumlah desa telah menunjukkan kepedulian. Misalnya saja, dana desa tak sekadar dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur, tetapi juga untuk pemulihan gambut.
Tahun 2019, BRG menginventarisasi, 143 desa memasukkan program pemulihan gambut dalam APBDes. ”Jika dijumlahkan, seluruh nilai alokasi APBDes pada 143 desa itu mencapai Rp 16,1 miliar,” katanya. Pihaknya mendapati pula desa-desa peduli gambut menyiapkan payung hukum untuk melindungi kawasan gambut dari kehancuran. Hingga kini sudah terbentuk lebih dari 400 payung hukum di tingkat desa.
Bentuknya berupa peraturan desa, surat keputusan kepala desa, hingga surat kesepakatan antardesa untuk bersama-sama melindungi gambut. Jika seluruh kesadaran ini terus meluas, pemulihan gambut tak akan lagi sebatas mimpi. Butuh kepedulian bersama.