Kegiatan belajar dan mengajar di Sekolah Dasar Negeri Miangas tidak efektif karena kurangnya jumlah guru. Sekolah mengatasinya dengan mencari guru honorer secara mandiri.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MELONGUANE, KOMPAS — Kegiatan belajar dan mengajar di Sekolah Dasar Negeri Miangas, Pulau Miangas, Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara, tidak efektif karena kurangnya jumlah guru. Sekolah mengatasinya dengan mencari guru honorer secara mandiri, tetapi hanya mampu mengupah Rp 200.000 setiap bulan dari dana bantuan operasional sekolah atau BOS.
Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga (Dikpora) Kepulauan Talaud Adrian Taarega mengatakan, jumlah guru memang terbatas di Miangas, pulau terdepan Indonesia yang jaraknya sekitar 108 kilometer dari Melonguane, ibu kota Talaud. Namun, ia mengaku belum mendapat laporan dari Kepala SDN Miangas.
”Sampai sekarang kepala sekolah belum melapor. Kami tidak tahu keadaan di lapangan. Kalau kepala sekolah lapor, pasti kami tindak lanjuti,” katanya di Melonguane, Kepulauan Talaud, Rabu (18/3/2020).
Dari pantauan Kompas di SDN Miangas, Kamis (12/3), sebagian siswa tetap berada di luar kelas sekalipun lonceng penanda istirahat usai telah dibunyikan. Siang itu hanya ada tiga guru yang bertugas menjaga puluhan siswa kelas I sampai VI.
Djois Lanta’a (54), guru yang juga menjabat wakil kepala sekolah, mengatakan, ada setidaknya 17 guru di sekolah tersebut, tetapi 14 guru tidak hadir karena berbagai alasan. Kepala SDN Miangas Elisa Mangoli sedang berada di Melonguane, begitu pula dua orang lain yang sedang mengurus berkas pengangkatan status pegawai negeri sipil (PNS).
Seorang guru lagi minta izin karena alasan kesehatan. Adapun sisanya tidak memberikan alasan absensi. Pada saat yang sama, ada lima guru yang sudah pindah tetapi, belum digantikan guru baru. ”Ada dua guru muda yang menikah setelah mengajar bersama di sini selama dua tahun. Setelah itu, mereka minta mutasi dan dikabulkan,” kata Djois.
Banyak yang tidak betah, makanya cuma sebentar di sini.
Menurut Djois, semua guru yang minta pindah bukan warga asli Miangas. Sebagian dari mereka merasa kesulitan untuk menjalani kehidupan di pulau yang berbatasan dengan Laut Filipina di ujung utara Nusantara itu, sekitar 493,2 kilometer dari Manado. ”Banyak yang tidak betah, makanya cuma sebentar di sini,” katanya.
Dari total 17 guru yang masih terdaftar di SDN Miangas, lima di antaranya berstatus honorer. Djois mengatakan, para guru honorer hanya diberi upah Rp 200.000 per bulan dari dana BOS. Dana BOS yang diterima SDN Miangas setiap tahun, kata Djois, berkisar Rp 10 juta-Rp 11 juta.
Padahal, sekolah tersebut memiliki 60-70 siswa. Bersarakan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 9/PMK.07/2020 tentang Pengelolaan Dana Alokasi Khusus Nonfisik, sekolah mendapat Rp 900.000 per siswa. Sekitar 50 persen dari dana BOS dapat dialokasikan untuk gaji guru honorer.
”Sebenarnya ada dana partisipasi orangtua Rp 30.000 per bulan, tetapi tidak semua orangtua bisa bayar. Kalau ada yang terkumpul dari dana partisipasi, baru kami bisa upah guru honorer lebih,” katanya.
Menurut Djois, upah yang rendah tersebut disebabkan tidak ada guru honorer daerah kabupaten yang betah di Miangas. Sekolah harus mencari guru honorer yang memang warga asli Miangas.
Alhasil, tiga guru yang masih berada di tempat harus berbagi tugas menjaga masing-masing dua kelas. ”Kami kasih tugas di tiap kelas supaya bisa mengontrol kegiatan siswa,” katanya.
Sekalipun Djois mengatakan demikian, kegiatan belajar-mengajar nyaris tak terlaksana. Ia hanya berkeliling untuk menegur siswa agar tidak gaduh. Akhirnya, siswa berada di dalam kelas, tetapi tidak belajar seperti belasan siswa kelas II.
Sebaliknya, tujuh siswa di kelas III berinisiatif sendiri belajar dengan membaca Alkitab bersama-sama. Falen Renvi Waraw (9), salah satu siswa, mengatakan, mereka sudah tidak bertemu wali kelas mereka di sekolah selama dua pekan.
Nanti akan kami konfirmasi juga ke pengawas sekolah. Guru seharusnya tidak meninggalkan tugasnya.
”Bu DM Bawalla sudah lama tidak masuk. Katanya ada urusan keluarga di luar. Jadi, kami tiap hari baca-baca buku sendiri,” katanya, mengacu kepada guru berstatus PNS yang sudah mengajar di sekolah itu selama 24 tahun.
Menanggapi hal ini, Kepala Dinas Dikpora Talaud Adrian berjanji akan menindaklanjuti adanya guru-guru yang meninggalkan tugas. Ia berharap kepala sekolah bisa segera melapor. Masalahnya, Kepala Sekolah Elisa Mangoli sangat jarang berada di sekolah. ”Nanti akan kami konfirmasi juga ke pengawas sekolah. Guru seharusnya tidak meninggalkan tugasnya,” katanya.
Mengeluh
Warga pun mengeluhkan sulitnya warga asli Miangas diangkat sebagai guru berstatus PNS di desa mereka sendiri. Warga desa membicarakan empat pemuda desa yang mengikuti tes CPNS, tetapi tidak ada yang lulus.
Mamak Sari (52), Kepala Dusun 1 Miangas, mengatakan, ”Anak saya lulusan pendidikan guru Universitas Negeri Manado. Sudah dua kali ikut CPNS untuk jadi guru di Miangas, tetapi tidak diterima. Harusnya orang asli daerah dapat prioritas,” katanya.
Di sisi lain, Arunda Lupa (59) mengeluhkan anaknya yang sudah lima tahun mengajar di SDN Miangas, tetapi tidak diangkat sebagai PNS. Honor Rp 200.000 mengecilkan niat anaknya untuk mengajar. ”Daripada orang luar mengajar di sini, lebih baik warga sini yang diangkat. Kalau memang asli sini, pasti mereka menetap,” katanya.
Terkait dengan keluhan ini, Adrian mengatakan, seharusnya guru-guru, terutama yang berstatus PNS, setia pada sumpah yang telah diucapkannya, yaitu siap ditempatkan di mana saja. Ia pun mempertimbangkan usulan untuk mengangkat tenaga asli Miangas sebagai guru di desa tersebut.