Suara dari Garis Depan Penanganan Covid-19 di Malang
Menjadi tim garda depan atau ”frontliner” penanganan Covid-19 di Rumah Sakit Saiful Anwar, Malang, bukan hal mudah. Mereka harus merawat pasien dan di satu sisi menjaga diri sendiri dari risiko tertular.
Oleh
DAHLIA IRAWATI
·5 menit baca
Menjadi tim garda depan atau frontliner penanganan Covid-19 di mana pun, termasuk di Rumah Sakit Saiful Anwar (RSSA), Malang, Jawa Timur, sungguh tidak mudah. Risikonya besar. Mereka harus merawat pasien sesuai sumpah dan pada saat bersamaan harus menjaga diri sendiri dari risiko terjangkit virus korona tipe baru (SARS-CoV-2).
Sebagai tenaga medis yang menangani penyakit menular, mengenakan alat pelindung diri (APD) juga perjuangan tersendiri. Rasanya gerah di badan. Selain itu, harus selalu mandi keramas setelah menangani pasien dan harus terus memotivasi diri dengan pikiran-pikiran positif setiap hari.
Kalau bukan kami yang menangani, mau siapa lagi. Saya dokter spesialis paru harus siap.
Secuil kisah perjuangan bertaruh nyawa itu dikisahkan dokter spesialis paru Ungky Agus Setiawan SpP, salah satu dokter yang menangani pasien virus korona penyebab Covid-19 di RSSA Malang, Rabu (18/3/2020). Siang itu, ia lebih banyak diam dan menunggu pertanyaan pimpinannya. Saat itu, secara resmi RSSA mengumumkan adanya pasien positif Covid-19 di RSSA Malang.
Dokter berusia 40 tahun itu baru mulai bicara setelah pelan-pelan ditanya mengenai bagaimana cara melindungi dirinya selama merawat pasien terkonfirmasi Covid-19. ”Kewaspadaan frontliner seperti kami ini adalah dengan menggunakan alat pelindung diri yang standar, selalu mandi keramas setelah menangani kasus, dan minum suplemen untuk meningkatkan imun,” katanya sambil tersenyum.
Tak terhitung lagi berapa kali Ungky menyemprotkan hand sanitizer ke telapak tangannya setiap hari dan juga harus berganti-ganti masker setiap saat.
Ketergantungan tenaga medis pada APD itu mutlak adanya. Alat pelindung diri yang kedap udara menjadi salah satu benteng utama dari serangan virus. Sayangnya, dan ini memprihatinkan, jumlah APD yang memenuhi syarat sangat terbatas. Kini, RSSA pun kesulitan mendapatkan APD dan beberapa perlengkapan sejenisnya, yang di antaranya hanya bisa digunakan sekali pakai.
”Jumlah APD memang terbatas. Kami juga berusaha mendapatkannya dari Kementerian Kesehatan. Tetapi tidak semua tenaga medis bisa menggunakan APD karena sejam mengenakannya sudah panasnya luar biasa,” kata Wakil Direktur Pelayanan dan Perawatan RSSA, Malang, Syaifullah Asmiragani.
Meski benteng pertahanan APD terbatas, hal itu tidak kemudian membatasi loyalitas dokter yang sudah sepuluh tahun mengabdi itu. Bagi Ungky, loyalitas untuk kemanusiaan adalah tak berbatas.
Sepanjang kariernya, Ungky sudah sering menangani pasien serangan virus ganas, seperti SARS dan H1N1. Ia dibantu tim garda depan lain, seperti petugas registrasi, perawat, petugas laboratorium, ahli mikrobiologi, hingga cleaning service.
Awalnya, semua perbincangan tentang penanganan kesehatan itu terasa landai. Ungky lebih banyak senyum. Namun, tiba-tiba senyum itu hilang saat ditanya lebih lanjut mengenai bagaimana perasaannya menangani Covid-19 sekarang ini. Ia langsung terdiam.
Beberapa menit berlalu, sebelum akhirnya tetes air matanya mengalir. Dengan cepat, pria yang sebelumnya bekerja di Rumah Sakit Universitas Brawijaya, Malang, itu menghapus tetes-tetes air matanya.
Setelah tenang, ia kembali bersuara dengan terbata-bata. ”Perasaann…tentu sedih. Gimana ya, kita dulu pernah tangani SARS dan lainnya, sudah biasa. Tapi itu perjalanannya cukup cepat,” kata Ungky.
Ia mengakui ada rasa takut, tetapi ia sadar semua demi masyarakat. ”Kalau bukan kami yang menangani, mau siapa lagi. Saya dokter spesialis paru harus siap,” kata Ungky terbata-bata. Untuk satu kasus Covid-19, setidaknya butuh waktu 14 hari hingga pasien tersebut diketahui sembuh atau belum.
Meski kalimatnya terpotong-potong karena menahan tangis, pernyataan Ungky cukup jelas. Ia dan kolega garda depan di RSSA harus bekerja sebaik-baiknya bagi masyarakat banyak. Panggilan tugas kemanusiaan lebih besar ketimbang rasa takut akan virus itu sendiri. Ketakutan itu pun sangat beralasan karena sudah banyak dokter dan tenaga medis menjadi korban keganasan virus penyebab Covid-19 itu.
”Rasa takut itu pasti ada. Bagaimana keluarga kami? Tetapi paling penting kami optimistis. Kerja sesuai porsi. Kalau capek, ya, istirahat. Semua ada batasnya. Memang tidak ada obat dan sebagainya. Tetapi dengan kondisi imun, kondisi tubuh akan membaik,” kata Ungky sambil menghela napas panjang. Setiap hari, suplemen penguat daya tahan tubuh tak pernah lupa diminumnya.
Rasa lelah mengurus pasien Covid-19, seperti kata Ungky, sangat masuk akal. Seorang petugas medis harus mengenakan APD di badan setiap hari. Entah berapa jam dalam sehari.
Mengenakan baju kedap udara itu membuat tubuh terasa gerah dan tidak nyaman. Jika tubuh petugas medis tersebut tidak kuat, justru mereka akan jatuh kelelahan, daya tahan tubuh merosot, hingga akhirnya sakit dan rentan terserang virus yang sama seperti yang menyerang pasien yang sedang mereka coba sembuhkan.
Di RSSA Malang, Ungky dan tim menangani dua pasien Covid-19 sejak pertengahan Maret lalu. Seorang pasien, Ny S (51) tahun, datang dengan penyakit penyerta diabetes dan jantung. Dengan usianya yang tak lagi muda dan kondisi tubuh lemah, pasien itu praktis tak bisa banyak mengurus kebutuhan dirinya. Maka, tim medislah yang akhirnya membantu mengurus.
Selama ini, ia dirawat di ruang isolasi tersebut sebelum akhirnya meninggal sebelum sampel uji labnya keluar. Belakangan, diketahui yang bersangkutan positif Covid-19.
Selain itu, RSSA Malang juga menangani R, pasien Covid-19 berusia 20-an tahun asal Universitas Brawijaya. Karena lebih muda dan masih bisa banyak beraktivitas sendiri, R lebih mudah ditangani.
Saling menyemangati
Meski tidak tahu sampai kapan mereka akan terus menangani pasien-pasien Covid-19 seperti Ny S dan R, semangat tim frontliner RSSA seperti tak pernah surut. ”Kami semua saling menyemangati. Kami harus optimistis setiap hari bahwa ini semua akan berakhir bahagia. Kita harus optimistis,” kata Ungky.
Keresahan yang berlebihan dan membuat tak rasional, kata Ungky, harus disingkirkan karena memperburuk kondisi. ”Berpikir optimistis itu sangat membantu penguatan daya tahan tubuh,” kata Ungky menutup kisahnya.
Dokter yang selama perbincangan mengenakan masker itu, kemudian berlalu, kembali menuju ruang isolasi tempat R dan dua pasien dalam pantauan (PDP) lain.
Saat ini, RSSA Malang masih merawat tiga pasien di ruang isolasi. Salah satu di antaranya positif Covid-19 dan dua pasien lainnya masih dimintakan uji sampel ke pusat.
Di tengah pertarungan melawan Covid-19 di dunia, tebersit harap dan optimisme dari frontliner di rumah-rumah sakit seluruh dunia. Doa kami bersama Anda semua, wahai para pejuang kemanusiaan.