Ciu Banyumas Diwacanakan Jadi Bahan Baku Cairan Pembersih Tangan
Bupati Banyumas Achmad Husein berencana memanfaatkan ciu yang diproduksi oleh warga Desa Cikakak dan Wlahar, Kecamatan Wangon, Banyumas, Jawa Tengah, untuk dijadikan bahan baku cairan antiseptik pembersih tangan.
Oleh
WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
·3 menit baca
PURWOKERTO, KOMPAS — Bupati Banyumas Achmad Husein berencana memanfaatkan ciu yang diproduksi oleh warga Desa Cikakak dan Wlahar, Kecamatan Wangon, Banyumas, Jawa Tengah, untuk dijadikan bahan baku cairan antiseptik pembersih tangan. Wacana ini bisa direalisasikan jika ada upaya meningkatkan kadar alkohol dari yang rata-rata 30 persen menjadi 70 persen.
”Di sini ciu super itu kadar alkoholnya 50 persen, tetapi yang umum dipasarkan, kadar alkoholnya 30-35 persen,” kata Kepala Dusun III Desa Wlahar Abas Supriyadi di Wlahar, Banyumas, Jumat (20/3/2020).
Menurut Abas, jumlah pembuat ciu di desanya sekitar 500 orang dengan produksi ciu per hari berkisar 10-15 liter per orang. Harga per liter ciu bervariasi mulai dari Rp 20.000 hingga Rp 35.000 tergantung kadar alkoholnya. ”Warga di sini sudah memproduksi ciu sejak 1942,” ujarnya.
Di sini ciu super itu kadar alkoholnya 50 persen, tetapi yang umum dipasarkan, kadar alkoholnya 30-35 persen.
Jasmadi (70), warga Desa Wlahar yang memproduksi ciu, menyampaikan, setiap 10 hari, dirinya bisa membuat 60-80 liter ciu. ”Bahannya terdiri dari gula jawa dan tapai. Direndam sampai 10 hari, lalu disuling sampai tiga kali,” kata Jasmadi.
Baik Jasmadi maupun Abas menyambut baik wacana pemerintah daerah akan menjadikan ciu tersebut sebagai bahan baku pembuatan cairan pembersih tangan untuk mencegah persebaran virus korona jenis baru. ”Kami berterima kasih kalau ini dikembangkan dan syukur bisa dilegalkan. Jadi, kami tidak kucing-kucingan atau diuber-uber (dikejar-kejar aparat),” katanya.
Hasil fermentasi
Dari pantauan Kompas di industri rumah tangga ciu milik Jasmadi, lebih dari lima drum masing-masing berisi 120 liter air fermentasi gula merah dan tapai mengeluarkan aroma wangi yang menyegarkan. Ketika tutup drum dibuka, tampak cairan kecoklatan dengan buih di permukaannya. Menurut Jasmadi, 60 persen produknya dibeli warga Cilacap dan umumnya dibeli nelayan untuk bekal melaut. ”Paling banyak dibeli orang Cilacap,” ujarnya.
Sebelumnya, Bupati Banyumas Achmad Husein mewacanakan pemanfaatan ciu tersebut untuk dijadikan bahan baku pembersih tangan. ”Satu hari mereka bisa menghasilkan 2.000 liter ciu,” kata Husein.
Kepala Bagian Protokol dan Komunikasi Pimpinan Sekretariat Daerah Kabupaten Banyumas Deskart S Jatmiko menyampaikan, wacana ini masih menjadi bahan pembicaraan, tetapi belum ada keputusan. ”Ada gejala di pasaran hand sanitizer hilang dari peredaran. Dengan hilangnya itu, kami pemerintah daerah sedang memikirkan bagaimana memproduksi dari bahan baku lokal,” kata Deskart. Langkah teknis akan disiapkan organisasi perangkat daerah terkait.
Dihubungi secara terpisah, pengajar pada Departemen Mikrobiologi Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Aris Mumpuni, mengatakan, secara teori ciu tersebut masih perlu ditingkatkan kadar alkoholnya minimal menjadi 70 persen.
Konsekuensinya, biaya produksi menjadi tinggi dan diperlukan subsidi dari pemerintah. ”Kalau pemerintah serius mau memanfaatkan ciu ini, masih perlu adanya sentuhan proses peningkatan kadar alkohol. Ini satu momentum yang baik untuk mengangkat bahwa di Banyumas ada produk yang oleh sebagian orang dianggap begini-begini (negatif), tetapi di satu sisi bisa dimanfaatkan,” tutur Aris.
Aris memberi contoh, dari 200 liter ciu dengan kadar alkohol 30-50 persen yang dibeli dengan harga Rp 30.000 per liter, diperlukan modal sebanyak Rp 6 juta. Kemudian ditambah biaya produksi penyulingan ulang agar mencapai kadar alkohol 70 persen sekitar Rp 500.000. Biaya itu meliputi biaya listrik, bahan bakar minyak, dan tenaga kerja.
Jadi, total modal dan biaya produksi mencapai sekitar Rp 6,5 juta. Sebanyak 200 liter ciu itu setelah diolah bisa menghasilkan produk dengan kadar alkohol 70 persen sebanyak 60 liter saja. Artinya, harga per liternya mencapai Rp 108.333,33. ”Agak tinggi, jatuhnya sekitar Rp 100.000 per liter. Jika wacana ini didukung pemerintah dengan subsidi untuk proses penyulingan, ini bisa jadi solusi,” ucapnya.
Selain itu, lanjut Aris, diperlukan juga sejumlah bahan campuran lain, seperti tambahan komponen pengental atau gel, antimikroba antijamur dan bakteri, dan juga gliserin supaya di tangan tidak terasa terlalu kering. ”(Wacana ini) Masuk akal, tetapi masih perlu diolah dulu,” kata Aris.