Kelangkaan pakaian pelindung diri untuk tenaga medis yang merawat pasien Covid-19 terjadi di mana-mana. Di Palu, sejumlah orang menyumbangkan tenaga dan keterampilannya untuk menjawab masalah itu.
Oleh
Videlis Jemali
·4 menit baca
Di tengah terbatasnya ketersediaan pakaian pelindung diri untuk tenaga medis yang merawat pasien Covid-19, ada tangan-tangan kreatif yang menyumbangkan keterampilan mereka untuk menjawab masalah. Mereka membantu dengan membuat sendiri perlengkapan vital bagi para pejuang di garis depan itu.
Waty (54), dengan santai berdiri memeragakan pakaian berwarna ungu tua. Kecuali mata dan telapak tangan, badannya terbungkus dalam pakaian mencolok itu. “Ini dari kami untuk tenaga medis menghadapi virus korona,” ujarnya, di ruang produksi Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) 5, Palu, Sulawesi Tengah, Selasa (24/3/2020).
Pakaian pelindung diri yang diperlihatkan Waty itu dihasilkan para guru dan alumni SMKN 5. Mereka mulai memproduksi alat pelindung diri (APD) tersebut sejak Rabu (18/3). Total, mereka telah menghasilkan 122 APD dan sudah diserahkan ke pemesan, yakni RSU Undata, Palu, salah satu rumah sakit rujukan untuk penanganan pasien Covid-19 di Sulteng.
Kain yang digunakan disebut spunbond. Kain itu ringan seperti berpori, menyerupai kain masker bedah. Jenis kain tersebut memang sering digunakan dalam dunia medis. Kain yang sama menjadi bahan baku untuk tas atau kantong jinjing pada penggunaan lainnya.
Kain tersebut dijahit sedemikian rupa sehingga menyerupai jas hujan. Ujung tangan dan kaki serta topinya diberi karet untuk bisa dikencangkan. “Kami buat APD ini dengan keterbatasan bahan baku. Contoh, mestinya ritsleting dari atas sampai bawah, tetapi ini hanya setengahnya. Ke bawahnya kami modifikasi dengan jahitan. Itu karena tak ada ritsleting panjang di pasar,” tutur Raja Patta (49), guru SMKN 5 sekaligus penanggung jawab kegiatan itu.
Lima guru ditambah dua alumni SMKN 5 terlibat dalam produksi APD tersebut. Mereka juga tamatan Program Keahlian Kriya Kreatif Batik dan Tekstil, yang hampir semuanya memiliki usaha jasa menjahit di rumah.
Menjahit APD ini lebih sederhana karena lebih banyak polos daripada rajutannya.
Mereka membagi tugas dalam menggarap APD tersebut. Ada guru yang bertugas memotong kain dengan panjang 2,5 meter untuk satu potong APD. Ada yang menjahit bagian tangan, ritsleting, dan seterusnya hingga satu potong terselesaikan.
Menggunakan mesin jahit listrik, mereka rata-rata menghasilkan 25 potong pakaian per hari. “Menjahit APD ini lebih sederhana karena lebih banyak polos daripada rajutannya,” ujar Herlina (52), guru yang terlibat dalam pembuatan APD.
Raja menyatakan, RSU Undata awalnya memesan 200 potong pakaian. Dalam perkembangan, pihak rumah sakit menambah pesanan 50 potong lagi. “Ada banyak yang pesan, termasuk dari luar Sulteng, tetapi kami prioritaskan untuk yang sudah pesan dan jelas maksud penggunaannya,” katanya.
Karena untuk kepentingan tenaga medis di tengah penanganan wabah Covid-19, harga jual per potong pakaian sepanjang 150 sentimeter tersebut hanya Rp 60.000. Harga tersebut jauh dari motif ekonomi.
Sebagai gambaran, untuk menghasilkan satu APD, dibutuhkan 2,5 meter kain yang harga per meternya Rp 15.000, sehingga total biayanya Rp 37.500. Angka itu belum menghitung biaya ritsleting, karet, serta jasa penjahit. “Ini untuk membantu agar cepat selesainya wabah korona,” ucap Raja.
Pihak sekolah bisa menghasilkan APD lebih dari jumlah pesanan. Namun, bahan baku, terutama kain di pasar tekstil, sudah sulit didapat. Jika penyediaan kain terjamin, sekolah bisa menggenjot produksi APD.
Selain SMKN 5, pakaian pelindung diri juga diproduksi oleh SMKN 1. Kedua sekolah tersebut diberi mandat oleh Gubernur Sulteng Longki Djanggola untuk menghasilkan 500 potong pakaian guna didistribusikan ke lima rumah sakit rujukan penanganan pasien Covid-19 di Sulteng.
Ketersediaan APD, termasuk pakaian di rumah sakit rujukan Covid-19, menjadi salah satu keprihatinan penanganan wabah tersebut di Indonesia. Di berbagai media massa maupun media sosial terungkap sangat mendesaknya kebutuhan APD, mencakup pakaian, masker, sarung tangan, hingga kacamata.
Alat-alat tersebut memang cepat habis karena hanya dapat sekali dipakai per satu pasien yang dibesuk atau dirawat petugas medis. Pemerintah mengatasi masalah itu dengan mengimpor APD dari China.
Di Sulteng, kondisi sama juga dialami rumah sakit rujukan. Meskipun baru menangani pasien dalam pengawasan Covid-19, yang jumlahnya saat ini 11 orang, stok APD di rumah sakit dan Dinas Kesehatan Sulteng sangat terbatas.
Direktur RSU Undata I Komang Ade, beberapa waktu lalu, menyebutkan pihaknya membutuhkan banyak APD. “Apakah jumlah tersebut cukup, yang jelas ada stok,” katanya. Waktu itu, ia menyatakan tersedia 50 APD.
Kepala Dinas Kesehatan Sulteng Reny Lamadjido, dalam berbagai kesempatan, juga mengakui hal itu. Suplai dari Kementerian Kesehatan menjadi sandaran sebelum pakaian APD itu bisa dihasilkan di Sulteng.
Kreativitas para guru SMKN 5 dan SMKN 1 menumbuhkan harapan dalam upaya menghadapi wabah yang entah sampai kapan ini. Mereka meringankan tangan untuk membantu tenaga medis mengatasi pandemi Covid-19.