Jauh sebelum Covid-19 menjadi pandemi, masyarakat Dayak telah memiliki kearifan lokal untuk menghadapi wabah penyakit, yakni berupa ritual Balala’ atau yang disebut juga Bapantang.
Oleh
Emanuel Edi Saputra
·4 menit baca
Jauh sebelum Covid-19 menjadi pandemi, masyarakat Dayak telah memiliki kearifan lokal untuk menghadapi wabah penyakit, yakni berupa ritual Balala’ atau yang disebut juga Bapantang. Dalam ritual ini, warga tidak keluar rumah dalam kurun waktu tertentu untuk mencegah penyebaran penyakit. Orang dan kendaraan dari luar wilayah itu juga tidak diperkenankan melintas.
Ritual Balala’ digelar masyarakat adat Dayak Kanayatn di Ngabang, Kabupaten Landak, Kalimantan Barat, Minggu (22/3/2020) sore, untuk mencegah persebaran Covid-19. Ritual dipimpin pemuka adat dan hanya dihadiri beberapa orang, tanpa ada kerumunan orang.
Ritual diawali dengan Baremah atau membatasi gangguan roh jahat. Doa dilantunkan mengiringi penyiapan sesajian makanan, antara lain daging dan kue tumpi’ yang disimpan dalam wadah khusus dari anyaman. Ritual ini mengandung makna, warga wajib berdiam di rumah dan orang luar tidak boleh melintasi batas wilayah itu. Inilah lockdown dalam lingkup masyarakat adat Dayak.
Balala’ dahulu digelar nenek moyang kami saat menghadapi wabah sampar. Dalam konteks sekarang untuk menghindari penularan Covid-19.
Selanjutnya, sejak Minggu pukul 18.00 hingga Senin (23/3/2020) pukul 18.00, warga di daerah itu tidak boleh keluar rumah. ”Kalau melanggar aturan, ada hukum adatnya,” ujar Timanggong Binua Landak, Vinsentius Syaidina Lungkar.
Sejak Minggu petang, wilayah Ngabang sepi. Pertokoan tutup. Jalan-jalan utama di kota sepi. Pada Senin pagi pun jalan-jalan utama masih sepi, tidak ada yang lalu lalang, kecuali petugas TNI-Polri dan petugas kesehatan yang diberi dispensasi karena mereka menjalankan tugas kemanusiaan.
”Balala’ dahulu digelar nenek moyang kami saat menghadapi wabah sampar. Dalam konteks sekarang untuk menghindari penularan Covid-19. Orang-orang dilarang masuk ke wilayah yang sedang melaksanakan Balala’,” kata Syaidina. Di sejumlah wilayah, lama pelaksanaan Balala’ sangat beragam, ada yang satu hari, ada yang hingga tiga hari. Namun, untuk di Kabupaten Landak hanya berlangsung satu hari.
Balala’ dilakukan bukan hanya untuk kepentingan masyarakat adat Dayak semata, melainkan juga untuk kebaikan bersama seluruh masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut. Jadi, semua diharapkan terhindar dari Covid-19.
Masyarakat adat Dayak di Kabupaten Bengkayang juga menggelar ritual Balala’, tetapi waktunya tidak bersamaan. Sekretaris Dewan Adat Dayak (DAD) Kabupaten Bengkayang Yoseph Erbito mengatakan, daerah Kecamatan Monterado masih merencanakan penyelenggaraan ritual itu. Sementara di Kecamatan Samalantan dan wilayah lain sudah menggelar ritual pada Minggu.
”Balala’ juga bermacam-macam, tidak hanya untuk menghalau wabah. Ada juga Balala’ saat tutup tahun. Kali ini, masyarakat adat merespons apa yang terjadi saat ini. Ritual tersebut digelar untuk melindungi seluruh masyarakat di tempat itu sehingga semua penduduk selamat dari ancaman Covid-19,” ujarnya.
Masyarakat di perbatasan Indonesia-Malaysia di Kampung Segumon, Desa Lubuk Sabuk, Kecamatan Sekayam, Kabupaten Sanggau, juga menggelar ritual serupa yang substansinya sama. Masyarakat setempat menyebutnya Malis.
Selama ritual berlangsung, warga tidak boleh keluar rumah. Warga dari luar pun tidak boleh melintasi wilayah tersebut.
Di wilayah itu lalu lintas masyarakat lintas negara padat. Apalagi, antara warga Dayak di Serawak, Malaysia, dan warga Dayak di Kalbar sangat kuat hubungan kekerabatannya. ”Dahulu ritual Malis digelar karena sering ada wabah sampar. Dalam konteks kini untuk mencegah Covid-19,” ujar Direktur Eksekutif Institut Dayakologi Krissusandi Gunui’.
Ritual digelar tiga hari pada 21-23 Maret. Selama ritual berlangsung, warga tidak boleh keluar rumah. Warga dari luar pun tidak boleh melintasi wilayah tersebut.
Ritual Malis atau menolak bala ini, biasanya juga dilaksanakan per keluarga. Artinya, jika ada salah satu keluarga yang baru menjalankan pengobatan, mereka tidak boleh keluar rumah selama waktu yang ditentukan. Namun, kali ini terkait Covid-19, seluruh warga kampung melaksanakannya.
Pencegahan dan kewaspadaan
Ketua Umum DAD Kalbar Jakius Sinyor menuturkan, pihaknya telah mengeluarkan surat edaran kepada DAD di kabupaten/kota hingga kecamatan untuk mengimbau agar melaksanakan ritual adat Balala’ atau istilah lain sesuai adat di daerah masing-masing. Tujuannya meminta perlindungan kepada Tuhan. Rentang waktu 18-29 Maret. Daerah bebas memilih waktu pada rentang waktu tersebut.
”DAD kabupaten/kota hingga kecamatan dan masyarakat diminta tidak panik serta tidak menyebarkan isu yang tidak benar terkait Covid-19. Warga diminta menjaga perilaku hidup bersih dan sehat agar terhindar dari Covid-19,” ujar Jakius.
Di luar itu, seluruh kegiatan yang mengundang kerumunan warga ditiadakan untuk sementara waktu.