Penyintas tuberkulosis tidak hanya melawan penyakit yang menggerogotinya, tetapi juga dijauhi lingkungan, bahkan keluarganya. Mantan pasien tuberkulosis pun tak tinggal diam dan berupaya menjaga napas para penyintas.
Oleh
Abdullah Fikri Ashri
·5 menit baca
Saliman (35) berjalan pelan saat keluar dari Poli MDR (multidrug resistant atau pasien kebal terhadap obat) Rumah Sakit Daerah Gunung Jati, Kota Cirebon, Jawa Barat, Rabu (18/3/2020). Kakinya bergetar. Kepalanya pusing. Perasaannya mual setelah mengonsumsi obat tuberkulosis.
Ia baru saja memeriksa perkembangan kuman Mycobacterium tuberculosis, penyebab tuberkulosis, di tubuhnya. Pemeriksaan darah dan dahak rutin dilakukan sebulan sekali.
Dalam kondisi tak karuan, Saliman bersiap mengendarai sepeda motor menuju rumahnya di Rajagaluh, Kabupaten Majalengka, sekitar 30 kilometer. Tidak ada yang mengantarnya. ”Saya kasihan dengan orang yang sehat kalau ikut mengantar. Nanti, dia tertular,” ucapnya.
Jangankan orang lain, istrinya saja pergi meninggalkannya saat tahu dirinya menderita tuberkulosis. Anaknya berumur 7 tahun pun diasuh di rumah saudara. Sekitar enam bulan terakhir, Saliman berjuang sendiri dengan meminum obat hingga 22 butir setiap hari. Ia juga disuntik hampir setiap hari selama empat bulan.
Tuberkulosis atau TBC telah merenggut tenaganya sehingga tak mampu lagi bertani. Sawah orangtuanya seluas 1.400 meter persegi terbengkalai. Ajakan menjadi buruh migran di Malaysia dengan gaji sekitar Rp 5 juta per bulan terpaksa ia tolak. Tabungannya selama bertahun-tahun habis untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
”Kebetulan saya masih bisa jalan. Jadi, kadang ke rumah saudara dan tetangga untuk pinjam duit. Kalau masker, saya minta ke petugas puskesmas,” ujarnya dengan suara pelan. Pria berambut pendek dan tubuh kurus ini mengaku ingin berhenti berobat dan pasrah. Namun, ia teringat masa depan anaknya jika dirinya tiada.
”Pak Tatang dan Mas Wildan juga terus mengingatkan saya minum obat dan menyemangati untuk sembuh,” ungkapnya.
Membantu penyintas
Tatang Suparta (50) dan Wildan (27) merupakan mantan pasien dengan kuman TBC kebal atau resisten terhadap beberapa jenis obat anti-tuberkulosis (TB RO) yang kini menjadi pendamping pasien TBC dari Lembaga Kesehatan Nahdlatul Ulama, organisasi yang fokus pada kasus tuberkulosis. Kedua sosok tersebut bak oase di tengah gurun pasir.
Seperti siang itu, Wildan terus menemaninya di Poli MDR. ”Kalau nanti pusing di jalan, berhenti saja Pak, istirahat,” pesan Wildan, mencoba percaya dengan kemandirian Saliman.
Tatang yang berasal dari Kecamatan Sukahaji, Majalengka, juga kerap membagikan pengalamannya yang tidak kalah berat dibandingkan Saliman. Ia mengidap tuberkulosis pada 2018 setelah batuknya tak sembuh lebih dari sebulan. Bobot tubuhnya anjlok dari 65 kilogram (kg) ke 42 kg.
Ia pun harus meminum obat hingga 16 butir setiap hari selama 18 bulan lebih 2 minggu. Ia juga menerima suntikan setiap Senin sampai Jumat selama 7 bulan lebih dari dua minggu. Efek samping, seperti mata berkunang-kunang, badan nyeri, telinga berdengung, dan muntah, kerap ia rasakan.
Pekerjaan membuat cobek yang ia geluti selama setahun pun terpaksa ditanggalkan. Tidak ada lagi upah Rp 120.000 hingga Rp 200.000 per hari. Ia hidup dari kemurahan warga setempat.
Dalam kondisi sulit itu, istrinya pergi meninggalkannya bersama dua anak yang masih berusia belasan tahun dan kurang dari 8 tahun. ”Mental saya drop. Rasanya, saya sudah tidak berharga lagi. Kok, takdir saya begini?” kenangnya.
Meski demikian, ia masih bersemangat sembuh ketika melihat mantan pasien tuberkulosis yang mampu pulih. Tatang tak pernah melewatkan jadwal minum obat. Hingga pada 16 Januari tahun ini, dokter menyatakan dirinya sembuh. ”Sebelum itu, saya sudah bergabung menjadi pasien suporter (PS). Saya ingin menyemangati pasien lainnya,” katanya.
Sempat ditolak
Tatang termasuk dalam sembilan PS dari LKNU Cirebon untuk pasien TB RO di Poli MDR RSD Gunung Jati. Selain itu, terdapat kader khusus TB yang merupakan mantan pasien, keluarga pasien, dan orang yang berkomitmen mendampingi pasien TBC.
Menurut Manajer Kasus TB LKNU Cirebon Ahmad Wildan, jumlah kader pendamping pasien TBC di Kabupaten Cirebon sebanyak 35 orang, Kota Cirebon (9 orang), Indramayu (11 orang), Kuningan (15 orang), dan Majalengka (12 orang). Mereka bertugas mengingatkan pasien untuk minum obat, wadah konsultasi, dan mencari jalan keluar atas masalah pasien.
”Awalnya, ada pasien yang menolak didampingi. Mereka bilang, Anda siapa? Tetapi, setelah kami dan perawat menjelaskan maksud pendampingan, mereka menyambut baik,” ujar Wildan. Kepada pasien, ia acap kali menyampaikan pentingnya menggunakan masker di rumah untuk mencegah penularan. Pengecekan dahak keluarga juga perlu dilakukan.
Awalnya, ada pasien yang menolak didampingi. Mereka bilang, Anda siapa? Tetapi, setelah kami dan perawat menjelaskan maksud pendampingan, mereka menyambut baik.
”Gara-gara saya, empat anggota keluarga saya kena tuberkulosis. Nah, pengalaman ini harus dibagi kepada pasien karena tidak semua orang punya pengalaman meskipun ada ilmu dan biaya,” ujarnya. Beruntung, LKNU menyediakan honor bagi pendamping pasien.
Meski demikian, pendamping juga tetap berisiko kembali tertular TBC. Itu sebabnya tidak semua mantan pasien menjadi pendamping. ”Kalau bukan kami siapa lagi? Penularan bisa dicegah dengan cuci tangan, pakai masker, dan lainnya,” ungkap warga Kedawung, Cirebon, ini.
Pasien tuberkulosis membutuhkan dukungan orang di sekitarnya, termasuk pendamping. Apalagi, tidak jarang pasien dijauhi masyarakat, bahkan keluarganya sendiri. Stigma sebagai pembawa penyakit menular membuat pasien merasa benar-benar sendiri.
Akan tetapi, pendamping tidak bisa dibiarkan sendiri menjaga napas pasien tuberkulosis. Biaya pengobatan gratis belum cukup untuk menuntaskan pengobatan pasien meski penderita TB RO menerima uang transportasi Rp 25.000 setiap berkunjung ke fasilitas kesehatan untuk berobat.
”Itu dana bantuan dari luar negeri. Tetapi, pencairannya bisa 3-4 bulan. Padahal, hampir semua pasien berhenti bekerja karena sakit. Pemerintah perlu memberikan bantuan sosial atau kompensasi dari tempat kerja bagi pasien,” ungkapnya.